HABIB Rizieq Shihab dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tentu dua sosok yang sama-sama dikenal khalayak negeri ini. Namun keduanya jelas berada pada posisi yang tidak sama, baik secara kultur lebih-lebih sikap politik bahkan kiprah kehidupannya.
Ungkapan menarik disampaikan oleh praktisi media Ilham Bintang dalam diskusi ILC pada 26 November 2019 bahwa terhadap keduanya pemerintah belum mampu bersikap adil dan sebagaimana mestinya.
Terhadap Ahok pemerintah memberi karpet merah sementara ada putra bangsa lainnya Habib Rizieq tidak diberi karpet merah. Sampai saat ini kesulitan untuk bisa pulang ke Tanah Air.
Jika ditelusuri secara kronologis sikap pemerintah atau partai pemenang pemilu nampaknya cukup beralasan kala memperlakukan keduanya sedemikian rupa. Karena Ahok adalah bagian dari partai penguasa yang kini menduduki pemerintahan, sedangkan Habib Rizieq justru sama sekali di luar.
Namun, kala partai pemenang pemilu dan koalisi sukses menjadi pemegang pemerintahan, sikap yang mesti diutamakan oleh seluruh eksekutif idealnya berdasar pada Pancasila dan UUD 45, dengan dua dimensi paling penting, yakni keadilan dan kesejahteraan, keduanya bagi rakyat Indonesia.
Tentu saja hal ini tidak ringan, bagaimana mungkin menempatkan seseorang sesuai harkat dan martabatnya pada seseorang yang dinilai pernah menjadi ganjalan kemenangan. Pada saat yang sama bagaimana mungkin mengabaikan sosok yang dianggap berperan begitu saja. Walau katakan logika publik menolak.
Teladan Keadilan
Mengatakan keadilan saat kekuasaan tidak di tangan adalah hal yang ringan. Namun, membicarakan keadilan saat kekuasaan di genggaman bukanlah perkara yang menyenangkan.
Oleh karena itu, Islam mendorong umatnya untuk berperilaku adil dalam hal apapun. Terlebih kala menguasai hajat hidup orang banyak.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran…” (QS An-Nisaa’:135)
Dalam sejarahnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pandang bulu dalam menerapkan hukum dan menegakkan keadilan. Ketika seorang wanita kaya dan keturunan bangsawan mencuri dengan tegas diputuskan, wanita itu dihukum potong tangan.
Spontan pihak famili dan kerabat wanita itu meminta tolong kepada Usamah bin Zaid, seorang di antara Sahabat yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mohon keringanan hukuman.
Apakah kemudian Nabi menerima apa yang disampaikan oleh Usamah bin Zaid. Tidak. Beliau justru marah.
Lantas berpidato, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak lain yang membinasakan orang-orang terdahulu sebelum kalian adalah jika ada orang terpandang di antara mereka mencuri mereka membiarkannya. Dan jika orang yang lemah di antara mereka mencuri mereka menetapkan hukuman atasnya. Demi Zat yang Muhammad berada di tangan-Nya, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya.”
Prinsip keadilan sebenarnya sederhana, tempatkan manusia sesuai dengan apa yang harus dipertanggungjawabkannya.
Jika seseorang mencuri maka mestinya semua sadar dan rela hukuman harus diterima. Jika seseorang pernah bersalah maka jangan perlakukan ia pada posisi yang strategis yang berkenaan dengan hajat hidup orang banyak. Kalau pun dianggap perlu memaafkan maka tempatkanlah pada tempat yang tepat, sesuai latar belakang, keahlian, dan ruang yang tak menentukan warna bangsa ini.
Sebaliknya, terhadap anak bangsa yang tidak bersalah, tidak korupsi, justru dicintai masyarakat dan dirindukan oleh masyarakat, sikap terbaik adalah dengan memberikan hak dasarnya. Karena menyengsarakan manusia tanpa kesalahan yang jelas dan tidak dapat dibuktikan merupakan ketidakadilan.
Sungguh, kekacauan hukum, keriuhan ruang publik belakangan sulit dipadamkan bukan karena masyarakat hobi bermusuhan, tetapi karena sumber keadilan itu belum mengalir ke semua sisi kehidupan masyarakat, sehingga dahaga akan keadilan belum teratasi sampai saat ini.
Hidupkan Sila V Pancasila
Sekarang mari saling melihat ke dalam, tidak boleh ada yang merasa lebih baik, lebih berjasa, dan lain sebagainya. Sebab pada dasarnya tugas kita semua, baik duduk di pemerintahan, swasta maupun menjadi rakyat biasa adalah bagaimana mewujudkan Sila V Pancasila, yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Hukum hendaknya berdiri tegak sesuai koridor dan mekanismenya berjalan. Jangan ada intervensi atas nama interes apapun. Demikian pula ekonomi dan pendidikan, biarkan semua berjalan untuk mewujudkan percepatan kesejahteraan rakyat.
Kata Muhammad Said Didu di ILC 26 November 2019 jangan kalah dengan mafia. Kita sebagai rakyat harus memberikan kesempatan pemerintah bekerja, membuktikan komitmennya sembari terus mengawasinya dengan baik agar pemerintahan tidak keluar jalur keadilan, baik secara hukum, ekonomi, maupun lainnya.
Sebab jika kedua pihak besar ini tidak saling menyadari, bukan tidak mungkin keadaan lebih negatif akan terjadi dimana pemerintah memandang rakyatnya sebagai gangguan, pada saat yang sama rakyat kehilangan kepercayaan pada pemerintahan yang ada. Kondisi ini harus sama-sama kita antisipasi, jangan sampai terjadi. Dan, karena itu mari semua harus saling siap untuk mendapatkan saran dan kritik demi tegaknya keadilan.*
Imam Nawawi | Aktivis Pemuda