Oleh: Imam Nawawi
AMALAN yang tidak bisa dipisahkan dari rangkaian ibadah Ramadhan adalah menjalankan perintah zakat. Begitu urgensinya amanat zakat dalam kehidupan, Allah Ta’ala merangkaikannya dengan perintah yang nilai baik buruknya seorang Muslim sangat bergantung dari komitmennya dalam mendirikan sholat. Berarti, siapa sholat namun enggan zakat berarti ia telah merelakan kerusakan iman di dalam jiwanya.
Kerusakan iman tidak saja menciderai hubungan diri dengan Tuhan (hablum minallah) tetapi juga mendorong terjadinya kerusakan keseimbangan hidup umat manusia (hablum minannas). Kesenjangan sosial, nihilnya pemerataan hingga buruknya pranata sosial dalam kehidupan, bahkan pada tahap paling buruk, rusaknya moral dan adab umat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Abu Bakar Ash-Shiddiq mengambil tindakan tegas terhadap para pembangkang zakat dengan menyatakan perang. Sebab, pada prinsipnya, Muslim yang disiplin mendirikan sholat namun enggan membayar zakat sama saja dengan menolak kebenaran Islam secara mutlak. Dengan kata lain, menunaikan zakat adalah wujud kesalehan diri yang hakiki.
Kesalehan diri tidak akan terwujud tanpa keikhlasan hati menjalankan amanat zakat. Di dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Taubah [9]: 103).
Pada ayat di atas disebutkan bahwa zakat itu membersihkan, mensucikan dan mendatangkan ketenangan jiwa. Membersihkan, sebagian ulama tafsir menjelaskan dengan bersihnya diri dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan terhadap harta benda. Sedangkan mensucikan, zakat itu mampu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati dan memanfaatkan harta benda mereka sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian ketenangan adalah ‘bonus’ yang Allah berikan kepada muzakki (orang yang menunaikan zakat) dengan memerintahkan para amil mendoakan para muzakki.
Hal ini telah diteladankan oleh Rasulullah. “Jika Rasulullah menerima zakat dari suatu kaum, maka beliau mendoakan mereka. Kemudian ayahku menyerahkan zakatnya kepada beiau, maka beliau pun berdoa, “Ya Allah limpahkanlah rahmat kepada keluarga Abi Aufa.” (HR. Muslim).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibn Hudzaifah, dari ayahnya, dari Nabi, bahwa apabila beliau mendoakan kebaikan untuk seseorang, maka doa itu diperuntukkan bagi orang tersebut, anaknya dan cucunya.
Dengan demikian, bisa diharapkan dari zakat yang ditunaikan akan turun anugerah dari Allah berupa kebaikan yang bukan saja untuk diri kita, tetapi juga keluarga dan keturunan kita. Pada saat yang sama, zakat telah ikut serta membuktikan kebenaran iman dalam wujud kemaslahatan bagi kehidupan sesama. Mereka yang dalam kekurangan bisa tersantuni, dan mereka yang papa bisa diberdayakan.
Bahkan lebih jauh, bangsa yang dalam keterpurukan bisa bangkit dengan kesadaran zakat kaum Muslimin. Dalam konteks kekinian misalnya, potensi zakat nasional yang mencapai angka Rp 286 triliuntentu sangat signifikan dalam mendukung segala macam bentuk program mensolusikan masalah umat.Inilah keindahan perintah zakat, dimana kesalehan diri terjamin dan kemaslahatan bersama juga bisa diwujudkan secara sekaligus.
Pengembangan SDM
Kesalehan diri yang diwujudkan melalui kesadaran membayar zakat pada akhirnya akan meningkatkan mutu pribadi dan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) secara bersamaan. Kekurangan bahan makanan dan kemiskinan bisa diangkat secara perlahan namun pasti dengan zakat, yang pada akhirnya bukan saja kemiskinan yang dapat diatasi, tetapi merebaknya tindak kriminal, guncangan kemanan dan kericuhan dapat diminimalisir secara signifikan.
Ketika saya berkesempatan mengunjungi sebuah rumah yang masih beralas tanah di Distrik Muting Merauke Papua, zakat benar-benar terasa manfaatnya bagi pengembangan SDM. Dari rumah trans yang sangat sederhana itu, lahir seorang anak yang berkat dana zakat dari para muzakki mengantarkannya menjadi seorang mahasiswa perguruan tinggi jurusan bahasa Arab di Jawa Barat. Sebagian lagi tumbuh menjadi dai dan ikut menggerakkan dakwah di Kota Rusa itu. Suatu keajaiban tentu bagi keluarga dan anak itu sendiri. Demikianlah zakat mengangkat harkat dan derajat sesama, tidak saja menjadikan mereka cerdas dan berdaya, tetapi juga berdaya dukung terhadap estafet pengembangan dakwah di tanah Papua. Menjadikan yang absurd dapat terwujud.
Kondisi tersebut terjadi dimana zakat masih belum dilakukan secara gegap gempita oleh umat Islam. Bisa dibayangkan bagaimana jika seluruh kaum Muslimin di Republik ini dari rakyat hingga pejabat sadar dan berbondong-bondong membayar zakat. Tentu sebuah lompatan sosial, ekonomi dan budaya akan lahir dan menggerakkan kemajuan bangsa dan negara.Jadi, mari tunaikan zakat kita, karena dengan zakat, kebersamaan, kekuatan, dan ketangguhan kaum Muslimin dapat dibuktikan.
Tetapi, catatan terpentingnya adalah, semua itu tidak akan terlaksana jika kesalehan diri masih jauh dari keseharian. Oleh karena itu, mari perbanyak menunduk, melakukan intropeksi diri, siapakah yang paling kita cintai, paling kita harapkan jadi sandaran dalam hidup ini. Jika harta, maka sungguh zakat itu akan dianggap sebagai penghambat. Namun, jika Allah Ta’ala, maka zakat itu adalah thariqat untuk sampai pada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan diri terlepas dari penyakit wahn (cinta dunia takut mati).
Saleh itu tidak egois, apalagi merasa akan mendapat surga hanya dengan rajin ibadah tanpa peduli sesama. Perlu kita ingat bahwa pertolongan Allah justru hadir bagi siapa saja yang peduli dan mau membantu sesama. “Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR. Muslim).
Sebaliknya, Allah menolak keimanan seorang Muslim jika dalam hidupnya tidak terbesit sedikit pun niat untuk peduli terhada sesama. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. Al Maun: 1-3). Jika zakat dapat menolong anak yatim dan orang miskin, maka siapa yang enggan menunaikannya, maka sungguh tidak ada kesalehan hakiki dalam dirinya. Na’udzubillah.*
Kepala Humas BMH Pusat