Oleh: Herry Mohammad
GUNA mengimbangi media arus utama yang cenderung berbuat tidak adil terhadap Islam dan umatnya, diperlukan adanya Kantor Berita Islam. Didirikan secara berjamaah, mengedepankan Islam, dan berjalan menuju Allah.
Jumat (12/08/2016) sore pekan lalu, sebuah tulisan pendek yang mengingatkan pentingnya umat Islam Indonesia punya Kantor Berita Islam (KBI), penulis kirim ke grup-grup WA. Usulan tersebut guna merespon kekecewaan sebagian besar umat Islam Indonesia atas pemberitaan media (televisi, radio, koran, majalah, dan dot.com) arus utama di Indonesia yang, melihat dengan sebelah mata tentang berbagai informasi yang bermuatan Islami.
Respon positif bermunculan. Puluhan orang, dari berbagai profesi yang peduli pada media Islam, memberikan dorongan melalui saluran pribadi penulis. Dari puluhan yang masuk itu, satu diantaranya datang dari seorang dokter yang doktor yang sejak tahun 1980-an sudah mendakwahkan Islam Kaffah di bumi pertiwi ini. “Dik, ini memang rumit, kita masuk pada dilema ayam atau telur…”
Apa pun respon para Sahabat yang peduli pada media, penulis ucapkan banyak terima kasih. Minimal tidak merasa sendirian dalam berjuang di medan media ini. Tentang mengapa KBI dirasa mendesak, sedikitnya empat hal dibawah ini bisa menjadi pijakannya.
Pertama, perlu dipahami, bahwa semua media arus utama dimiliki oleh para pengusaha. Kalau toh awalnya dia seorang jurnalis, ketika sudah memiliki media, ia berfikir dan bertindak sebagai seorang pengusaha. Apa yang dipikirkan oleh seorang pengusaha? Medianya mesti laku, dan dia harus punya untung, agar bisa bertahan dan berkembang. Idealismenya sebagai seorang jurnalis gugur, hitungannya hanyalah untung-rugi.
Bahkan, tidak jarang, jika sang pengusaha ikut tender tertentu, jamak menggunakan medianya untuk menghajar pihak lawan, lewat berbagai laporan ‘investigasi”-nya. Hitung-hitungannya bukan ini merugikan atau menguntungkan Islam, tapi, kami dapat apa? Dalam kasus-kasus pilkada maupun pilpres, hitungan pragmatis itu sangat nampak di depan mata kita.
Kedua, Sebagian besar pemilik media arus utama, berfikiran liberal-sekuler. Apa yang bisa diharapkan dari mereka? Rata-rata mereka tidak ingin Islam menjadi pedoman dari jalannya pemerintahan di republik ini. Ditambah lagi, dengan jaringan pengiklan dari komunitas kafir, mereka sangat berhati-hati. Lebih baik tidak menampilkan aktifitas ke-Islam-an daripada kehilangan kue iklan.
Pernah ada seorang aktifis Muslim mau beriklan di media arus utama, ditolak. Padahal itu murni untuk pasang iklan. Rupanya, jika sang aktifis pasang iklan, maka para pemasang iklan dari perusahaan-perusahaan milik kaum liberal-sekuler,menarik iklannya. Mereka (kelompok liberal-sekuler) tidak ingin iklan sang aktifis bersebelahan atau bersamaan harinya dimuat dengan iklan-iklan milik orang liberal-sekuler tersebut.
Bukan hanya itu, suatu hari, sebuah koran yang dipersepsikan korannya orang Islam menulis berita tentang aktifitas sebuah Ormas Islam yang dipersepsikan sebagai Ormas yang “Galak”, para pemasang iklan dari kelompok liberal-sekuler mencabut iklannya di koran tersebut. Koran “Islam” itu pun akhirnya tunduk dengan kehendak pasar.
Ketiga, kebijakan redaksi dari media arus utama, 95 persen mesti menyesuaikan dengan kehendak pemilik modal yang lebih dikenal dengan Sang Maha Berkehendak. Bagi umat Islam yang kaffah, Yang Maha Berkehendak hanyalah Allah; bagi industri pers yang pemilik modalnya kaum liberal-sekuler, Yang Maha Berkehendak adalah para pemegang saham mayoritas yang liberal-sekuler, itu.
Keempat, para jurnalis yang bekerja di media yang dimiliki oleh pemilik modal yang liberal-sekuler, mereka hanyalah perpanjangan tangan dari pemilik modal. Ini berpengaruh pada kebijakan politik redaksinya. Mereka yang nampak sebagai Islam kaffah, akan dihadang karir jurnalistiknya. Kalau toh ada yang dulunya seorang aktifis pers kampus berbasis masjid, misalnya, begitu jadi pemimpin redaksi, fikiran kemasjidannya sudah tergerus. Yang ada adalah fikiran liberal-sekuler pemilik modal, bahkan lebih dari itu. Dia hanya menjadi boneka, dan, jika ada persoalan, dia dipakai alat untuk “menghadapi” kelompok Islam Kaffah.
Lalu, apa yang bisa kita harapkan dari kondisi seperti itu? Jurnalis yang punya jaringan luas dikalangan komunitas Islam justru dicurigai sebagai bagian dari kelompok yang sering disebut sebagai “teroris”. Inilah pembunuhan karakter yang sering dialami oleh jurnalis Muslim di lingkungan media-media arus utama.
Maka, jika para ulama, ustadz, cendekiawan muslim kecewa berat terhadap media-media arus utama, lebih-lebih para jurnalis muslim yang bekerja di media-media tersebut. “Kami lebih kecewa lagi,” kata seorang jurnalis muslim yang mencoba bertahan di media arus utama itu.
Ada lagi komentar seorang jurnalis muslim yang bekerja di koran besar milik kafirin. “Lha, kami ini dikuasai kafirin, kok Anda mau kami Islami. Kamu mimpi,” SMS ini ditujukan kepada seorang aktifis Muslim yang meminta agar menulis beritanya secara adil terhadap Islam dan umatnya.
Para jurnalis Muslim yang diketahui atau terindikasi menjadi seorang Muslim Kaffah, karirnya akan dihambat dari atas. Sebagaimana diketahui, karir seorang jurnalis itu paling tinggi adalah redaktur pelaksana (Redpel). Redpel itu setingkat dibawah Pemimpin Redaksi (Pemred), membawahi para penanggungjawab rubrik, para penulis, dan para reporter.
Adapun seseorang menjadi pemimpin redaksi atas kehendak politis dari para pemilik modal. Karena itu, jangan berharap, seorang jurnalis yang Islamnya Kaffah bisa menjadi pemimpin redaksi di sebuah media arus utama yang liberal-sekuler. Bisa menjadi seorang Redpel saja sudah luar biasa, luar biasa istiqomahnya, luar biasa kesabarannya, dan luar biasa ujian serta fitnah yang mengiringi karirnya.
Dengan kondisi poin 1 sampai 4 tersebut, penulis sampai pada kesimpulan bahwa, tidak ada jalan lain kecuali kita, umat Islam, secara berjamaah, mendirikan KBI yang dikelola secara Islami, baik konten maupun manajemennya. Produk-produk KBI ini bisa dijadikan sumber rujukan oleh media-media Islam (TV, Radio, Koran, Majalah, maupun on-line) secara gratis. Hanya dengan cara seperti ini, perlahan namun pasti, kita akan membuat keberimbangan berita dengan media-media arus utama yang cenderung liberal-sekuler, itu.
Perlu Nafas Panjang
Cita-cita pendirian Kantor Berita Islam itu sebenarnya bukan barang baru. Pada tanggal 1-3 september 1980, di Jakarta, diselenggarakan The International Islamic Mass Media Conference yang melahirkan Deklarasi Jakarta. Dari delapan butir deklarasi tersebut, salah satunya adalah pentingnya didirikannya kantor Berita Islam Dunia yang akan dimanajemeni oleh Rabithah Alam Islami.
Tapi, gagasan ini tak juga kunjung terealisasi. Pada tanggal 3-5 Desember 2013, Kemenag bekerja sama dengan Rabithah Alam Islami menyelenggarakan Konferensi Media Islam yang diselenggarakan di Hotel Shangri-La Jakarta, dengan tema Media and Social Responsibility, yang menghadirkan sejumlah nara sumber dari berbagai negara Islam.
Salah satu rekomendasinya adalah adanya usulan terbentuknya televisi Islam Internasional yang berada dalam naungan Rabithah Alam Islami (Liga Islam Dunia). Konferensi ini adalah lanjutan dari konferensi yang digelar di Jakarta pada tahun 2011, dan menghasilkan rekomendasi serupa.
Jika usulan televisi Islam Internasional atau KBI dunia tak kunjung terwujud, maka kita bisa mulai dengan pendirian KBI skala Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, kita mestinya mampu mewujudkannya.
Saat ini, masing-masing Ormas dan Orpol Islam, punya media internal, apakah itu bentuknya tv, radio, koran, majalah, maupun on-line. Tapi skupnya kecil, untuk memasok komunitasnya saja tidak memadai. Kecil-kecil, kurang profesional penanganannya, kurang mampu mendatangkan iklan, tidak dilirik oleh komunitas lainnya. Masing-masing berjalan menuju kelompoknya.
Saatnya kita berjamaah. Kita buat KBI yang non-ormas dan non-orpol, tapi semua ormas dan Orpol terwakili di dalamnya. Ini adalah KBI murni perjuangan untuk Islam dalam koridor ahlus Sunnah wal jamaah.
Cita-cita membuat Kantor Berita Islam Internasional sudah berusia 36 tahun, tak juga kunjung terealisir. Ketika Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) lahir pada akhir 1990-an, salah satu rekomendasinya adalah mendirikan koran Islam berskala nasional, Republika. Dalam perjalanannya, ketika B.J. Habibie tak lagi berada di pemerintahan, koran ini pindah tangan, sahamnya dijual ke pengusaha Erick Tohir. Pelan-pelan marwahnya sebagai koran Islam meredup, dan menjadi koran yang pragmatis.
Medan Jihad
Dalam Al-Qur’an, dalam berbagai bentuknya, kata jihad disebut sebanyak empat puluh satu kali. Kata jihâd terambil dari akar kata jahada, yajhudu, jahd au juhd yang punya arti bersungguh-sungguh atau berusaha keras sepenuh hati. Kata jahd atau juhd artinya tenaga, usaha, kekuatan yang tentunya meletihkan.
Jihad adalah ujian dan atau cobaan pada seseorang atau kelompok orang untuk diketahui kualitas keimanannya. Jika seseorang atau sekelompok orang berhasil mengarungi ujian dan atau cobaan, maka hadiahnya adalah surga.
سَيَقُولُ ٱلسُّفَهَآءُ مِنَ ٱلنَّاسِ مَا وَلَّٮٰهُمۡ عَن قِبۡلَتِہِمُ ٱلَّتِى كَانُواْ عَلَيۡهَاۚ قُل لِّلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ يَہۡدِى مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬ (١٤٢)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 142).
Dan berjihad itu, dilakukan dengan harta, jiwa, dan lisan, sebagaimana Sahabat Anas radhiyallahu anhu menarasikan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, “Perangilah orang-orang musyrik dengan harta, jiwa, dan lisan kalian.” (Shahih Sunan Abi Dawud: 2186 dan Shahih An-Nasa’i: 2900)
Berjihad dengan lisan bisa dimaknai dengan tulisan. Dan itulah jihadnya para jurnalis Muslim. Bagi seorang Muslim yang berkiprah di dunia jurnalistik, melakukan pencarian, menggali, dan menulis berita sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an Surah Al-Hujurat 6 dan apa yang pernah ditauladankan oleh para perawi hadits. Yakni, mengkonfirmasi dan memverifikasi, tidak hanya substansi beritanya, tapi juga pada orang-orang yang terlibat dalam putaran arus informasi tersebut. Dari sini akan didapatkan sebuah berita yang tepercaya dan adil.
Dan karena itu, mendirikan KBI menjadi salah satu bentuk jihad media bagi siapa saja yang punya kepedulian terhadap informasi yang diperlukan oleh umat Islam. Jika sekarang sedang trend tentang “Gaya Hidup halal”, maka, “informasi halal” adalah produk dari Kantor Berita Islam. Wallahu A’lam.*
Penulis adalah praktisi media