Oleh: Bagus Riyono
DEWASA ini isu Hak Asasi Manusia (HAM) semakin marak dan menyentuh hampir semua aspek kehidupan kita. Ada hak perempuan, hak anak, hak murid, hak istri, hak untuk kebebasan berekspresi, dan bahkan belakangan ada yang menuntut hak untuk memilih jenis kelamin sendiri dan hak berzina.
Bagi kita yang terbiasa berpikir logis tentu akan mengernyitkan dahi dan hampir tidak percaya hal ini bisa terjadi. Namun demikianlah kenyataannya. Mereka yang menuntut hak menentukan jenis kelamin sendiri dan hak berzina bahkan merasa benar dan bangga dengan “perjuangannya” itu.
Apa sih sebenarnya “hak” itu? Banyak orang mengartikan hak itu sebagai sesuatu yang seharusnya kita terima atau kita miliki. Ada yang mengartikannya sebagai sesuatu yang seharusnya boleh kita lakukan. Pengertian seperti ini sangat problematik.
Pertama, dalam pengertian tersebut ada nuansa menuntut dan cenderung ego-centris. Kedua, jika kita terapkan pengertian itu dalam kehidupan sehari-hari maka yang akan terjadi adalah konflik. Ketika sepasang suami-istri masing-masing memperjuangkan haknya maka mereka akan saling menuntut dan tidak saling memberi. Ketika seorang murid menerapkan pengertian itu maka dia akan melecehkan gurunya.
Jika seorang anak menerapkan pengertian itu maka dia akan durhaka pada orangtuanya. Adapun mereka yang menuntut hak untuk menentukan jenis kelamin sendiri dan hak berzina maka mereka telah durhaka terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pemahaman tentang hak yang seperti itu adalah sebuah salah kaprah yang luar biasa menyesatkan. Kalaupun ada yang membantah pendapat itu tetapi tanpa pemahaman yang mendalam tentang makna sesungguhnya dari “hak”, maka yang akan terjadi hanyalah debat kusir. Misalnya satu pihak berkata “saya berhak berekspresi sebebas-bebasnya!”, lalu yang menentang akan berkata “saya juga punya hak untuk tidak suka dengan ekspresimu!”. Hal seperti ini adalah debat kusir yang tidak ada ujungnya kecuali konflik. Oleh karena itu setiap kali terjadi pembicaraan tentang hak asasi manusia selalu menimbulkan nuansa konflik yang panas dan bukan kedamaian yang adem.
Hak dalam bahasa Inggris adalah “rights”. Dalam bahasa Inggris juga, “right” berarti “benar” dan bisa juga berarti “kanan”. Adakah makna-makna itu hanya kebetulan saja atau ada keterkaitan satu sama lainnya? Seperti sudah kita ketahui bersama bahwa Bahasa Indonesia banyak terpengaruh bahasa Arab. Tidak banyak yang menyadari bahwa kata “hak” sebenarnya adalah kata yang berasal dari bahasa Arab “haq” yang berarti benar atau kebenaran. Jadi makna sesungguhnya dari hak atau “rights” itu adalah yang benar atau kebenaran. Berbeda dengan “truth” yang juga berarti kebenaran, “rights” adalah benar dalam arti proporsional dan adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya secara beradab. Ketika seorang anak nakal menaruh kakinya di atas meja maka akan dikomentari “that is not right”, “nggak benar seperti itu”. Ketika seorang gadis berdandan dengan rapi cantik dan pas tidak berlebihan maka akan disebut “it is just right”, yang artinya pas, tepat, proporsional, serasi.
Adapun hubungan antara “right” yang berarti benar dengan “right” yang berarti kanan itu apakah juga ada maknanya? Hubungan antara makna “benar” dan “kanan” ini bukanlah hanya sesuatu yang random. Di dalam Al Qur’an, surat Al Balad ayat 18-19 dinyatakan: “Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri.” Ayat tersebut mengatakan bahwa “kanan” itu adalah yang “benar”. Secara maknawiyah kanan itu berhubungan dengan sesuatu yang benar. Dengan demikian sekarang bisa kita fahami bagaimana hubungan antara hak, benar, dan kanan yang terkandung dalam satu kata “right”. Makna sentralnya adalah benar atau tepat. Dengan pengertian ini kita jadi lebih bisa memahami maksud dari artikel 1 dalam Universal Declaration of Human Rights.
Dalam dokumen Universal Declaration of Human Rights, Artikel 1, tertulis: “All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”. Jika kita terjemahkan secara maknawiyah maka bagian pertama dari pernyataan itu maksudnya adalah: “Semua manusia terlahir bebas dari keburukan-keburukan yang dapat menghambat kehidupannya, dan memiliki kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam kehidupannya, serta setara dalam kehormatan dan kebenaran”. Kebebasan, kehormatan, dan kebenaran ini harus dijaga dengan akal sehat dan hati nurani. Kehormatan manusia akan terjaga ketika dia diperlakukan sesuai haknya, diperlakukan dengan benar dan adil serta beradab.
Hak asasi manusia adalah hak hidup dan mempertahankan kehidupannya. Hak ini harus dihormati dan dijaga bersama. Tidak boleh membunuh karena itu melanggar hak, melanggar kebenaran. Tidak boleh mentelantarkan orang lemah, miskin dan fakir, karena mereka juga berhak untuk hidup dan kehidupan yang layak.
Mencaci maki orang lain adalah melanggar hak akan kehormatan orang tersebut. Menelantarkan anak yatim adalah melanggar hak, melanggar kebenaran, karena anak yatim juga memiliki hak untuk mendapat perhatian dari seorang figur ayah. Yang hak bagi setiap anak adalah mendapatkan pengasuhan dari ayah, yang laki-laki, dan ibu, yang perempuan.
Secara hak, laki-laki dan perempuan adalah pasangan yang saling menyempurnakan, karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Komnas HAM seharusnya adalah sebuah lembaga yang mulia, karena menjaga yang hak dan mengabdi pada yang hak. Komnas HAM adalah lembaga yang independen, terbebas dari kepentingan politik dan kepentingan ekonomi, yang bertugas melulu sebagai “majelis ulama” yang akan mengingatkan pihak-pihak yang melanggar hak asasi manusia. Komnas HAM adalah lembaga yang menjadi penjaga keadilan dan keberadaban kehidupan bangsa Indonesia. Adalah sebuah kesalahan besar ketika Komnas HAM membela mereka yang menuntut untuk dibolehkan melakukan apa saja tanpa hak. Hak bukanlah kebebasan untuk melakukan apa saja yang diinginkan. Karena pemahaman seperti itu merancukan antara kebebasan dan hak. Kerancuan ini terjadi karena pemaknaan itu didorong oleh hawa nafsu dan mengingkari akal sehat. Hak adalah sesuatu yang menjadi hakim atas perilaku, yang membedakan mana perilaku yang salah, melanggar hak, dan mana perilaku yang benar, perilaku yang hak.
Baca: Maneger Nasution: HAM Tak Boleh Mengudeta Hak Asasi Tuhan
HAM bukanlah milik individu-individu. HAM adalah sebuah tatanan sosial yang menjaga keharmonisan kehidupan. Adalah hak bagi seorang anak untuk mendapatkan kasih sayang orangtua. Bersamaan dengan itu adalah sebuah hak pula bagi seorang anak untuk menghormati orangtuanya.
Bagi seorang murid adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, dan menghormati guru adalah sesuatu yang hak dalam proses pendidikan itu. Jadi hak adalah sebuah sistem yang didalamnya terkandung kewajiban, karena kewajiban adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan yang juga merupakan sebua kebenaran. Sudah pada tempatnya bahwa orangtua menyayangi anaknya dan anak menghormati orangtuanya.
Sudah pada tempatnya bahwa seorang guru mendidik muridnya dan seorang murid menghormati gurunya. Guru atau orangtua tidak berhak untuk membiarkan murid atau anaknya tersesat dalam kehidupannya. Demikian pula dalam kehidupan suami-istri, yang hak adalah saling menyayangi, saling menghargai, dan saling menjaga diri dari sesuatu yang merusak hubungan keduanya.
Mereka yang berteriak-teriak menuntut hak untuk berbuat semaunya sendiri adalah golongan yang justru melawan hak asasi manusia, karena mereka berbicara atas nama hawa nafsunya dan tidak peduli pada kehidupan yang mulia. Mereka yang menuntut hak untuk menentukan jenis kelamin sendiri, memilih orientasi seksual sendiri, adalah para pelanggar HAM yang membahayakan kehidupan bangsa di masa depan. Mereka yang menuntut hak untuk berzina adalah golongan yang membuat kerusakan dalam masyarakat.
Bangsa Indonesia harus dicerahkan dari salah kaprah tentang HAM ini dan supaya setia pada kemanusiaan yang adil dan beradab, karena itu adalah hak bagi generasi bangsa Indonesia di masa depan. Hanya dengan menegakkan HAM yang benar bangsa Indonesia akan dapat membangun peradaban yang tinggi dan mulia.*
Dosen Fakultas Psikologi UGM | Ketua Presidium Gerakan Indonesia Beradab