Oleh: Imam Hanafi
DUGAAN gratifikasi oknum orang penting di MA akan masih sulit diselesaikan secara hukum, betapapun tiga institusi penting Negara sudah bekerja keras memecahkannya, dugaan adanya tarik ulur kepentingan disebabkan melibatkan oknum aparat penegak hukum menjadi persoalan mendasar yang akan mengganjal proses hukum oknum MA akhir-akhir ini.
Belum lagi ada terduga 4 oknum anggota Kepolisian RI yang menjadi pengawal orang penting di MA tersebut, menjadi ganjalan utama KPK dalam upaya membongkar kasus tersebut.
Law of etik bukan sesuatu yang formal,akan tetapi dalam proses hukum sangat diperlukan ketika alat bukti sulit didapatkan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),dalam bahasa sederhana moralitas terduga dan pihak lain yang terlibat didalamnya akan sangat menentukan kelamcaran proses KPK dalam membuka kasus tersebut, walau OTT terdapat sejumlah uang sekitar Rp 1,7 M jika alat bukti lain belum didapatkan proses hukum akan lambat.
Ada kisah menarik dalam tarikh Islam dan buku 60 Karakteristik Sahabat Rasulullah. Diriwayatkan kisah Jubah Khalifah Umar Ibnul Khatab salah seorang sahabat utama Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.
Umar yang yang memiliki postur tubuh jawara alias tingi besar,sangat tidak mungkin cukup membuat Jubah untuk dirinya dari pembagian hibah ke-Khalifahan,karena bahan Jubah itu berdasarkan ukuran umum badan manusia, sementara Khalifah Umar, memiliki postur tubuh khusus dibandingkan umumnya manusia pada saat itu.
Khalifah Umar Ibnul Khatab dituduh mengkorup jatah jubah hak-nya karena pembagian hibah ke-Khalifahan tersebut diduga tidak akan cukup untuk membuat jubah Umar dengan ukuran badan jumbo alias super gede.
Protes dilakukan pemuda kalangan sahabat,agar Umar memberikan penjelasan atas dugaan kasus tersebut,lalu bagaimana sikap Umar mendapatkan kritikan dan protes keras rakyatnya,marahkah dia atau memerintahkan prajuritnya untuk menangkap dan memproses hukum rakyat yang sok tahu itu?
Jika kisah di zaman Umar itu dipindah hari ini, bisa saja para pemrotesnya dijerat dengan pasal fitnahan, atau perbuatan yang tidak menyenangkan. Bukankah pejabat Negara dizaman ini bisa berlaku demikian?
Ternyata sang Khalifah itu justru bermental mulia. Dia kemudian mengumpulkan para tokoh sejenis konprensi pers, kemudian memberikan penjelasan atau klarifikasi apa adanya, tidak merekayasa.
Jubahnya bisa dibuat dan dipakai karena hak anaknya Ibnu Umar diberikan kepada Sang Khalifah. Dengan kata lain bahan jubah Khalifah dibuat dengan dua kali lipat bahan jubah pejabat lainya, sehingga cukup untuk postur tubuh Umar Ibnul Khatab.
Jama’ah kaum Muslimin terutama sosok yang vokal mengkritik Umar baru tahu dan memahami ternyata Sang Khalifah tidak korup meski hanya sebuah jubah yang tidak ada nilainya, jika dibandingkan dengan jubah para raja di Persia atau tempat lain pada waktu itu.
Pada fragmen kehidupan Sang Khalifah Umar Ibnul Khatab membuktikan jika aqidah Islam telah mampu merubah watak dasar manusia,dari preman kelas berat menjadi pejabat kelas kakap yang berhati mulia bermental paripurna mengikuti sosok Rasulullah SHalallahu ‘Alaihi Wassallam figur teladan umat manusia sejagat.
Padahal peluang untuk membela diri,bahkan menjebloskan ke penjara pada waktu itu sangat memungkinkan,seorang pejabat selevel Kepala Negara sekarang ini,bisa dikritik tajam oleh warga kekhalifahannya pada waktu itu,dimana kasus tersebut tidak pernah dialami oleh raja raja Persi dan lainnya mendapatkan kritikan tajam rakyatnya.
Lalu bagaimana dengan dugaan korupsi saat ini?, Juh panggang dari api,bak langit dan bumi, sebab demokrasi memberikan bahkan mendorong manusia untuk melakukan pembelaan diri dengan cara apapun,agar dirinya tidak dipersalahkan secara hukum terlebih lagi terkena sanksi TIPIKOR yang minimal 4 th harus mendekam dalam penjara (vide UU 31 th 1999 jo UU No 20 th 2001 dan aturan turunannya).
Benar apa yang disinggung Prof Dr Jimly As Shiidiqie pakar Hukum Tata Negara kita, bahwa etik law sangat berpengaruh terhadap formal law,sehingga akan lebih bijak jika etik law dapat dijalankan oleh para pejabat Negeri ini.
Sayangnya sistem hukum kita berkiblat ke Belanda dan Barat pada umumnya, sedang tujuan hukum yang hendak dicapai adalah masyarakat tertib,adil,dan sejahtera.
Catatan sejarah tujuan tertib,hukum,kepastian hukum,keadilan hukum,apalagi masyarakat sejahtera tidak pernah terwujud dinegara asalnya Belanda maupun Barat pada umumnya yang sekuler dan anti Agama,lalu dengan argumentasi apa negeri ini mengharapkan pada sistim demokrasi yang dinegeri asalnya sendiri porak poranda.
Adalah fakta empiris, kapitalisme,faham materialisme adalah berhala gaya baru yang dijadikan gerakan evolusi syaithoniyyah untuk menjebak anak Adam, kisah dendam Iblis dan bala tentaranya gara gara Adam As dan Siti Hawa merupakan fakta spektakuler yang ditimbun publik media,sehingga manusia memburu sistim materialisme yang berjalan menguasai dunia.
Dalam zaman fitnah, system mulkan adzan, sebuah sistim kenegaraan yang mengigit, merusak lingkungan akibat hajat kepada dunia yang over capasity,dijadikannya dunia target kebahagiaan sesaat.
Aristoteles sendiri telah mengingatkan bahwa siklus Negara Setan yang dirancangnya tidak menemukan titik terang, sebenarnya seperti apa bentuk dan sistim peradaban yang dapat mensejahterakan manusia. Dan secara umum pemikiran para filosof baru sampai ketingkat pencarian dan harapan semata, sedangkan bentuk riilnya atau formalitas nyatanya belum bisa disistimatikan sehingga manusia sebagai subyek peradaban benar benar menjadi makhluq yang beradab sebagaimana asal dan tujuan penciptaanya oleh Allah Subhanahu Wata’ala,dimana manusia diciptakan didunia ini bukan umur gratis tetapi akan dimintai pertangungjawabannya didunia dan akhirat.*
Penulis Direktur LSAS Nurul Fikri Kalteng