Oleh: Rabihah Pananrangi, MM
Hidayatullah.com | PROGRAM kartu pra kerja pemerintah pusat yang berkonsep awal untuk meningkatkan keahlian, kompetensi, kesempatan, dan bentuk dukungan finansial bagi pencari kerja, buruh, pekerja dan pengangguran yang terkena dampak Secara teknis, pekerja diharapkan mampu meningkatkan keterampilan diri dan mengasah bakat untuk memasuki dunia kerja yang kompetitif.
Program kartu pra kerja yang digagas Presiden Joko Widodo menuai banyak keraguan dan kritikan karena dinilai tidak menyelesaikan masalah yang berdampak terhadap 2,9 juta pekerja yang di PHK dan dirumahkan. Sebagai solusi alternative ala pemerintah ditengah pandemi Covid-19, banyak pihak yang mempertanyakan manfaat langsung yang bisa diperoleh pekerja. Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto menyebutkan tingkat pengangguran terbuka akan bertambah dari angka 2,92 juta orang menjadi 5,23 juta jiwa (Liputan6.com, 14/4/2020).
Kepala Staf Keprisidenan Moeldoko, mengatakan percepatan peluncuran program kartu prakerja sebagai upaya pemerintah menjaga daya beli masyarakat di tengah mewabahnya Covid-19. Konsep pemerintah dengan memberikan pelatihan secara online dan tidak ada ukuran keberhasilan bahwa pekerja yang mengikuti pelatihan mendapatkan pekerjaan, menjadi sebuah pertanyaan besar, apa sesungguhnya alasan pemerintah menghamburkan anggaran sebesar Rp 20 triliun dengan hasil yang tidak relevan dengan kebutuhan pekerja di tengah terpaan pandemi Covid-19.
Pemerintah memaksakan diri mengadakan pelatihan bagi pekerja yang terdampak PHK massal dan dirumahkan namun faktanya para pekerja yang mereka butuhkan adalah uang tunai, kebutuhan makan, membayar tempat tinggal bukan pelatihan online. Ibarat seseorang yang terjatuh dari kapal dan ia tidak mampu berenang, tentu saja ketika diberi pilihan, diberi 1 Kg emas batangan atau sebuah pelampung karet, secara logis, tentu akan memilih pelampung untuk menyelamatkan nyawanya. Jika pemerintah ingin bersikap bijak, cerdas dan solutif maka uang yang dianggarkan untuk pelatihan, justru idelanya ditransfer langsung ke masing-masing pekerja yang terdampak PHK dan wabah.
Kartu Pra Kerja Mengatasi Masalah dengan Masalah
Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Rachland, menyatakan aplikator yang ditunjuk pemerintah untuk menjual materi pelatihan online yang beranggaran Rp5,6 triliun adalah perusahaan milik staf khsusus presiden, ini jelas peluang korupsi, apakah karena selama Covid-19 tidak ada pasal pidana yang bisa menjerat? (CNN, 14/4/2020). Jokowi telah meneken Perppu Nomor 1 tahun 2020 terkait penanganan Covid-19 dengan salah satu poin dalam Perppu menyebutkan, pejabat pemerintah tidak bisa digugat pidana maupun perdata akibat melaksanakan amanat. Jika pemerintah serius ingin membantu pekerja mengatasi masalah keuangan keluarga mereka, maka pemerintah harusnya memberikan bantuan langsung tunai (BLT) dan solusi ini pun mampu meminimalisir peluang korupsi bagi pejabat yang berwenang.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakian Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Netty Prasetiyani, menyoroti program kartu pra kerja yang diluncurkan Presiden Joko Widodo untuk menanggulangi dampak wabah Covid-19. Netty menilai pelaksanaan program tersebut di tengah pandemi virus Corona ini, rawan penyelewengan dan penyimpangan oleh oknum yang memanfaatkan situasi untuk meraih keuntungan finansial. Netty pun mengaku alokasi anggaran dan mekanisme pencairan kartu pra kerja masih dalam tahap diskusi dan belum diputuskan, (Tempo, 11/4/2020).
Sikap pemerintah yang nampak tergesa-gesa, memutuskan anggaran secara sepihak, dengan menganulir parlemen untuk mencairkan dana kartu pra kerja menimbulkan pro kontra dan dinilai perlu kajian mendalam, bagaimana tingkat efektivitas terhadap sasaran penerima anggaran. Selain itu, perlu diperhatikan, apa sesungguhnya yang paling diibutukan pekerja, khususnya pekerja lepas, korban PHK dan pekerja yang dirumahkan. Belum lagi, pemerintah menunjuk provider swasta untuk pelatihan online. Yakni Tokopedia, Skill Academy by Ruangguru, Maubelajarapa, Bukalapak, Pintaria, sekolahmu, Kemenaker, dan Pijar Mahir. Atas kondisi tersebut, rawan penyimpangan dan penyelewengan anggaran, apakah pemerintah transparaan dan membuka ruang pengawasan dalam proses rekruitmen, distribusi, dan mendorong masyarakat untuk memilki akses untuk pengawasan.
Akibat pandemi covid-19, jumlah pengangguran di Indonesia saat ini menyentuh angka 2,8 juta orang, ini berarti sebuah masalah sosial yang tidak bisa dinaggap remeh dengan penyelasian taktis dan bernilai politis. Pengangguran yang membengkak dengan PHK massal, pekerja dirumahkan ditambah dengan pengangguran sebelum wabah muncul, memerlukan tindakan yang komprehensif bukan parsial, jika membiarkan situasi sulit terus berlangsung maka bisa dipastikan, kekacauan sosial akan semakin tak terbendung. Menurut Internasional labour Organisasion (ILO), badai resesi akibat pandemic Covid-19 sudah di depan mata, akibatnya 81 persen dari tenaga kerja global yang berjumlah 3,3 miliar saat ini terkena dampak penutupan tempat kerja. Berdasarkan Studi terbaru ILO, sebanyak 1, 25 miliar pekerja terdampak wabah tersebut beresiko terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), pengurangan upah dan jam kerja.
Menguji Efektifitas Islam Vs Kapitalisme Mengatasi Krisis Ekonomi
Sebuah hasil jejak pendapat yang dirilis oleh “Edelmen Trust Barometer” yang telah mensurvei 34.000 orang di 28 negara, dari Amerika Serikat dan Prancis hingga Cina dan Rusia, dengan 56% setuju bahwa kapitalisme lebih berbahaya dan tidak membawa kebaikan di dunia. (Tempo, 21/1/2020). Telah terjadi penolakan di 30 negara atas ketidaksetaraan antara kelompok proletar dan kelompok borjuis, antara si kaya dengan si miskin, mereka juga mengkritik pajak khusus ataupun pengampunan pajak yang merupakan hak istimewa bagi kapitalis.
Dalam sistem kapitalis, pemerintah masih berkelakuan borjuis di tengah pandemi Covid-19, mereka masih hitung-hitungan untung rugi melindungi rakyatnya. Rezim kapitalistik yang berwatak borjuis lebih mementingan untung rugi dalam penyelamatan negara. Rezim mengakali rakyat dengan jualan menolong pekerja yang PHK, pengangguran ataupun yang dirumahkan, namun realitasnya, mereka masih mengais keuntungan dengan menjadikan kartu pra kerja sebagai project menumpuk keuntungan di tengah krisis. Tingginya tingkat pengangguran merupakan buah dari kegagalan mutlak dari kapitalisme, dimana sistem ini berfokus pada ekonomi non riil yang mendorong kebangkrutan perusahaan yang ujungnya adalah PHK massal.
Bahwa solusi rezim saat ini dengan mengandalkan kartu pra kerja untuk membantu pekerja yang terdampak pandemi Covid-19 tentu saja merupakan program yang salah sasaran, karena pengangguran sebelum wabah pun masih sangat tinggi dan di perparah dengan adanyan virus corona. Maka solusi parsial rezim, sesungguhnya hanya bentuk pencitraan dan menghamburkan anggaran negara, yang notabene bersumber dari pajak rakyat. Kartu pra kerja yang diandalkan sebagai solusi ampuh, nyatanya rezim memang telah gagal menyediakan lapangan pekerjaan bukan memberi insentif atau pekerja kekurangan keterampilan, namun pemerintah tidak berpihak pada kemandirian ekonomi rakyat. Bukankah rezim membiayai negara dengan utang? Lantas, kemana uang pajak, hasil sumberdaya alam Indonesia yang melimpah dan penjualan aset berharga milik negara?
Masa Khilafah Umar bin al-Khaththab pernah mengalami krisis ekonomi yang hebat, rakyat merasakan kelaparan massal, sakit, roda ekonomi tertatih-tatih, bahkan masyarakat menghalalkan segala macam makanan untuk menopang kehidupan mereka. Apapun yang menimpa suatu kaum, ataupun negara, sungguh sebuah sunnatullah. Berbeda dengan Islam, para pemimpin di masa Daulah Islamiyah menujukkan kepedulian, kepekaan dengan solusi yang tuntas dan menyeluruh, bukan solusi tambal sulam, bukan pula solusi pencitraan yang dipenuhi ekspresi keberpihakan basa-basi. Dengan Islam yang agung, Amirul Mukminin, Khalifah Umar menjadikan dirinya sebagai tauladan dengan hidup sederhana, bahkan ia memakan seadanya yang kadarnya sama dengan yang di konsumsi rakyat yang paling miskin. Sistem yang komprehensif dari negara islam yang disebut khilafah memiliki independensi di segala sektor dan tidak bergantung pada utang dan negara lain. Para Khalifah bergerak cepat membuka lahan pertanian, perdagangan yang massif untuk menopang kebutuhan rakyat. Memastikan terpenuhinya bahan makanan yang cukup. Seoramg pemimpin adalah yang amanah, takut kepada Allah SWT atas apa yang di pimpinnya, sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW;
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya” (HR. Bukhari, No.4789)*
Aktivis Muslimah, Pegiat Literasi