Oleh: Usep Mohamad Ishaq
KEJENGAHAN sains modern terhadap agama dalam masyarakat Barat, dapat difahami jika ditelusuri jejaknyamelalui sejarah pemikiran di Barat. Namun ternyata,para saintis yang mengaku muslim tidak sedikit yang mengalami simtom yang sejenis.
Tidaklah heran, sebab hegemoni pemikiran Barat memang mengangkangi hampir setiap aspek kehidupan saat ini.
Misalnya adanya reaksi negatif terhadap usaha untuk menjadikan sains sebagai alat dalam menghayati agama secara lebih baik, dan sebagai sarana menambah keimanan dan ketakwaan dalam pendidikan sains, bukan saja muncul dari Barat yang memang sudah tegas menutup pintunya rapat-rapat, namun juga terjadi di kalangan muslim terpelajar sendiri.
Hubungan agama dengan sains di dunia Barat memang mengalami pasang surut. Dalam masa yang disebut “masa kegelapan”, sains berada dalam kendali agama sepenuhnya. Terdapat ungkapan “Scientia Ancilla Theologiae” atau
“Philosophia Ancilla Theologiae” bermakna sains dan filsafat adalah pelayan bagi ilmu agama. Namun kendali otoritas agama terhadap pemikiran bebas dari para filsuf dan saintis tak dapat membendung arus baru pada masa Pertengahan, dikarenakan kelemahan konsep epistemologi. Zaman Kegelapan perlahan surut dan tergantikan masa baru di mana manusia merasa lahir kembali, mereka menamakannya Renaissance (kelahiran kembali) bermakna bahwa manusia Eropa merasa lahir kembali pada zaman baru tersebut, kesadaran baru setelah terkungkung dalam masa-masa penuh pembatasan, suatu masa di mana fikiran manusia tidak lagi terbelenggu oleh doktrin agama, atau disebut juga masa Enlightenment (Pencerahan) sebuah zaman baru setelah masa Kegelapan karena cahaya kebebasan ditutupi oleh dogma-dogma yang sulit dinalar.
Renaissance membawa cahaya dalam peradaban Barat dan berbagai kemajuan dalam sains dan teknologi baru saja dimulai, fikiran-fikiran yang mencerahkan dicetuskan, sains menyibak banyak rahasia alam yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun resiko besar sedang menunggu di depan mata,yaitu surutnya peran agama dan makna spiritual dari ilmu pengetahuan. Sains tak lama lagi bercerai dengan agama dan Tuhan, bahkan berusaha menepikannya, atau membunuhnya.
Fondasi penting dari sains modern adalah metoda saintifik yang sangat mengandalkan metoda empirik dalam memperoleh pengetahuan dan menentukan kebenaran. Sains modern didasarkan pada observasi, hipotesis, dan verifikasi (pembuktian) empiris atau falsifikasi (pengingkaran) empiris.
Namun masalah utamanya bukan di sini. Masalahnya ketika metoda ini berusaha melampaui wilayahnya dan mencoba mengklaim sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang harus didengar. Ia kemudian berkembang menjadi sebuah faham yang mendewa-dewakan pengalaman dan pengamatan dalam penentu kebenaran yang dikenal dengan empirisisme sebagai lawan dari rasionalisme, yang jika dilacak kembali sejarahnya mendapatkan akarnya dalam filsafat Yunani. Empirisisme mendapatkan akarnya pada filsafat Aristoteles, sedangkan rasionalisme pada Plato.Meskipun metoda empirik dianggap sebagai metoda yang kokoh, hal ini tidak berarti bahwa hasilnya tidak dapat diganggu-gugat. Hasilnya tidak bermakna berlaku dalam sekali dan selamanya atau final. Ia dapat diperbaiki, ditinjau ulang dan dapat dibantah karena sebuah observasi memiliki kelemahan-kelemahan tertentu. Fakta-fakta hasil observasi dalam metoda empirik tidak serta merta diambil begitu saja dan menjadi sebuah teori yang dianggap benar.
Penafsiran pengamat pada fakta-fakta yang ada dihadapannya sangat menentukan teori seperti apa yang akan dihasilkan. Jadi pada akhirnya akal terlibat untuk memutuskan sebuah teori meskipun dalam metoda empirik. Dengan demikian, ada suatu pendapat umum (communis opinio) bahwa sangat boleh jadi metoda empirik dapat dipertanyakan apakah ia memang benar-benar memberikan hasil yang sebenarnya atau tidak.
Dalam eksperimen selalu disadari bahwa selalu adanya idealisasi dan penyederhanaan, ada asumsi-asumsi yang harus diberikan agar metoda empirik bisa dilakukan sehingga suatu teori dapat dibangun. Max Planck mencontohkan sebuah eksperimen pada bandul, dalam kasus bandul ada hal-hal yang dapat diindera seperti massa bandul, perioda, dan lain-lain, itu adalah lingkungan realitas pertama. Bandul yang bergerak diasumsikan bebas dari gesekan dengan udara, tali dianggap tegar sehingga bebas dari redaman, massa tali diabaikan, dan lain-lain yang sulit diindera, ini adalah realitas kedua. Dan ketiga, ada konsep mengenai bandul dalam fikiran kita, yaitu “bandul sebagai bandul” , dan hasil eksperimen kita sangat tergantung dari “bandul sebagai bandul” yang ada di dalam fikiran kita. Jika tidak maka kita tidak bisa melakukan apa-apa karena adanya kompleksitas alam yang belum bisa diindera.
Jadi fakta-fakta yang dihasilkan dari observasi dan eksperimen tidak berbicara apapun sebelum dipilih dan ditentukan dari seorang saintis, ia juga yang menafsirkan arti dan hubungan dari fakta-fakta berdasarkan asumsi, pertimbangan dan aksioma yang dipilihnya.
Pada awal masa Pencerahan, para saintis dan ilmuan Barat menjadikan spirit agama mereka sebagai dorongan untuk pencarian kebenaran melalui sains alam.Mereka pada umumnya masih mengakui Tuhan dan menganut agama, meskipun benih-benih kekritisan yang sangat tajam terhadap dogma-dogma agama Kristen yang dianggapnya tidak masuk akal mulai tumbuh. Jean Louis Agasizz (1807-1873) seorang Palaentologis dan ahli Biologi mengatakan bahwa Tuhan adalah omong-kosong positif. John Tyndall (1820-1893) seorang fisikawan yang dikenal teorinya dengan “efek Tyndall”, ia melarang Tuhan masuk dalam memasuki ilmu alam dan mengizinkannya masuk dalam proses-proses emosional.
Tidaklah berlebihan jika Engels menuliskan dalam Dialectics of Naturenya, bahwa Tuhan tidak pernah diperlakukan lebih buruk oleh para ilmuwan yang percaya pada Nya.Laplace(1749-1827) misalnya, seorang matemati kawan dan fisikawan terkemuka yang terkenal dengan transformasi Laplacenya, ketika ditanyakan oleh Napoleon Bonaparte, mengapa ia tidak menyebut nama Tuhan ketika membahasa mekanika angkasanya? Ia menjawab: “Hal-hal seperti itu tidak ada gunanya bagiku”. Charles Darwin (1809-1882) secara lebih halus menyatakan bahwa ia tidak menentang eksistensi Tuhan, namun ia menyatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan semua spesies yang ada. Tuhan hanya menciptakan spesies-spesies awal dan hukum seleksi alamlah yang membentuk keragaman spesies. Ia membantah Teori Penciptaan dengan menuliskan:
“This grand fact of the grouping of all organic beings under what is called the Natural System, is utterly inexplicable on the theory of creation” (Fakta besar tentang pengelompokan semua makhluk hidup melalui apa yang disebut dengan Sistem Alam, sama sekali tidak dapat dijelaskan pada teori penciptaan)
Darwin memposisikan Tuhan sebagai Pencipta makhluk hidup dalam tahap permulaan namun makhluk hidup itu sendiri yang beradaptasi dengan lingkungan sehingga membentuk keragaman.Sikap Darwin terhadap posisi Tuhan ini parallel dengan sikap saintis dan filsuf awal yang menempatkanTuhan hanya sebagai Prima Causa atau sekadar sebagai Pembuat Jam, sebuah pandangan yang dikenal juga sebagai Deisme. Darwin berusaha meredakan tuduhan bahwa Ia seorang Ateis dengan mengatakan:
“I see no good reason why the views given in this volume should shock the religious feelings of any one…that it is just as noble a conception of Deity to believe that He created a few original forms capable of self-development into other and needful forms” (Saya tidak melihat alasan yang bagus mengapa pandangan yang diberikan dalam buku ini harus mengguncang rasa-keagamaan seseorang… bahwa hal konsep yang mulia tentang Ketuhananya itu keyakinan bahwa Dia menciptakan bentuk-bentuk awal yang mampu mengembangkan dirinya sendiri menjadi bentuk lain dan yg diperlukan) >> bersambung halaman 2