Oleh: Muhammad Syafii Kudo
Hidayatullah.com | KEBAHAGIAAN adalah hak asasi manusia. Jargon tersebut tidak terbantahkan oleh siapapun. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah parameter baku untuk mengukur kebahagiaan itu. Adakah standar objektif yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur bersama dan bisa disepakati oleh semua pihak mengenai konsep kebahagiaan yang hakiki.
Seperti diketahui bahwa tidak ada suatu pandangan hidup yang bebas nilai di dunia ini. Semua pendapat atau hasil pemikiran lintas disiplin ilmu yang dibakukan dalam berbagai isme yang ada pasti terikat pada pandangan alam (Worldview) yang akhirnya menjadi framework dari subjek yang bersangkutan.
Hal itu juga berlaku dalam memaknai konsep kebahagiaan. Jelas ada pembeda yang nyata antara satu person dengan person yang lain, yang mana hal itu sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang si person tersebut. Entah dari segi sosiologi, psikologi, budaya, tingkat penguasaan literasi, dari segi religi dlsb.
Jika ditarik benang merah dari itu semua, dapat disimpulkan bahwa pemaknaan seseorang mengenai konsep apapun di dunia ini sebenarnya berawal dari pandangan alam (worldview) nya. Termasuk dalam hal ini dalam memandang konsep kebahagiaan.
Prof. Alparslan Acikgenc mengartikan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam pengertian itu maka aktifitas manusia dapat direduksi menjadi pandangan hidup.(The Framework for A History of Islamic Philosophy, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civilization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6.).
Baca: Untuk Kebahagiaan Hidup, Peliharalah Hatimu
Dalam worldview Barat yang memiliki banyak isme, konsep kebahagiaan tentu berbeda dengan yang dimiliki Islam. Bagi penganut kapitalisme, manusia bisa bahagia jika dia punya banyak kapital (harta duniawi) dan yang berkutat di sekitarnya. Ada slogan khas para kapitalis yang sering digaungkan yakni, “Sejak kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk Surga.”
Dari slogan itu sangat terlihat sekali nilai nihilisme pada ajaran agama yang mana hal itu adalah ajaran khas dari sekularisme. Dan itulah salah satu konsep kebahagiaan dalam pandangan Barat.
Dari segi kultur lokal Jawa, ada adagium masyhur yang berbunyi makan gak makan asal kumpul. Maknanya adalah kebahagiaan itu sederhana saja yaitu bisa selalu bersama-sama (kumpul) dengan keluarga yang disayangi dalam melewati suka dan duka dalam hidup meski dalam hidup yang serba berkekurangan.
Lalu dari segi psikologis, seorang buruh pabrik bisa sangat bahagia sekali tiap menjelang akhir bulan sebab sudah tergambar dalam benak akan gaji yang segera dikantonginya. Ada pula seorang ibu yang bahagia sekali melihat bayinya bisa lahir selamat meski si ibu mengalami sakit separuh mati dalam proses melahirkan bayinya itu. Ini dua contoh kecil kebahagiaan secara psikologis yang sering ditemui di masyarakat kita.
Beberapa contoh kebahagiaan yang disebut di atas adalah sebagian kecil dari kenikmatan yang disediakan Allah SWT di dunia ini. Dan kenikmatan-kenikmatan kecil itu memang bisa membuat bahagia namun sifatnya sementara. Lalu adakah kebahagiaan yang bersifat abadi ? Tentunya ada.
Imam Fakhrur Razi dalam kitab Tafsirnya yang berjudul Mafatihul Ghaib (مفاتيح الغيب) membagi kenikmatan di dunia ini menjadi tiga hal yaitu kenikmatan jasmani (ladzatul hissiyah); kenikmatan khayali (ladzatul khoyaliyah); dan kenikmatan Akal (ladzatul aqliyah). Dan manusia bisa meraih kebahagiaan lewat tiga jalur tersebut dengan porsi kebahagiaan yang tentu berbeda-beda.
Jalur untuk meraih kenikmatan yang pertama adalah lewat kenikmatan jasmani (ladzatul hissiyah). Kenikmatan ini bersifat musytaroq (مُشْتَرَكٌ ) yaitu kenikmatan yang bukan hanya bisa dinikmati manusia saja melainkan makhluk lain juga, binatang misalnya.
Seperti kenikmatan dalam makan, minum, kawin dll. Kenikmatan ini ternyata masih mengandung resiko.
Contoh nikmat makanan, gula itu rasanya manis dan enak namun akan menjadi malapetaka jika dikonsumsi oleh mereka yang menderita penyakit diabetes. Hubungan seks itu nikmat sekali namun berpotensi bahaya manakala dilakukan di luar batas seperti seks bebas dan menyimpang. Artinya kenikmatan jasmani ini bernilai rendah.
Kemudian ada kenikmatan imajiner (ladzatul khoyaliyah) yaitu kenikmatan yang bernilai abstrak (angan-angan) yang ternyata pada tataran realitanya tidak senikmat di alam khayalan seperti contoh ladzatul ri’asah alias kenikmatan jabatan atau pangkat. Dalam benak manusia, memiliki pangkat duniawi itu nampak nikmat sekali karena bisa dikenal banyak manusia dan mendapat berbagai fasilitas duniawi.
Dari abstraksi ini akhirnya manusia berebut meraihnya lewat berbagai cara baik yang benar maupun yang culas. Dan setelah berhasil mendapatkannya ternyata gambaran kenikmatan tadi lenyap seketika sebab resikonya besar. Musuh kian banyak, lembaga anti rasuah (KPK) mengintainya tiap detik dan belum lagi pertanggungjawaban di akhirat kelak. Kebahagiaan lewat jalur ini jelas bernilai imajiner belaka.
Yang ketiga adalah kenikmatan akal (ladzatul aqliyah) dan inilah kenikmatan hakiki. Siapa yang ingin meraih kebahagiaan sejati maka jalur inilah yang wajib ditempuh. Sebab hakikat kenikmatan adalah,
معرفة الحقيقة الأشياء والعمل به
“Mengetahui kebenaran hakikat dari segala sesuatu dan bisa mengamalkannya.”
Baca: Bekerjalah dan Cari Kebahagiaan Sejati
Contoh dari kenikmatan aqliyah ini adalah kenikmatan yang dirasakan ketika sedang mencari ilmu, hadir majelis taklim, dzikir, dan sholawat. Kenikmatan inilah yang kelak bermuara kepada kebahagiaan abadi. Dan inilah jalur yang dipilih oleh para kekasih Allah (waliyullah). Karena dengan ilmu manusia bisa mengenal Tuhan-Nya. Dan Islam adalah agama ilmu yang sangat mengutuk kebodohan. Deklarasi kelahiran Islam lewat wahyu pertama yang mentitahkan untuk membaca adalah bukti tidak terbantahkan.
Para waliyullah lebih rela merasakan makan, minum dan berbagai kenikmatan duniawi lainnya dengan seadanya demi menuntut ilmu dan mendekatkan diri kepada Allah lewat berbagai riyadhoh. Ini adalah jalur kebahagiaan abadi yang kian sepi ditapaki sebab sangat sulitnya rintangan dalam menempuhnya serta tidak menyenangkan nafsu. Karena jalan ini adalah jalan menuju Surga maka wajar jika hawa nafsu akan sangat keberatan dalam menapakinya.
Ingat bahwa ada hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”(HR. Muslim).
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu berkata, “Siapa yang merasa terhibur (bahagia) bersama buku (kitab) maka kebahagiaan tidak akan sirna dari dirinya.” Tentu yang dimaksud sang pintu ilmu itu bukan sekedar berada secara fisik bersama buku-buku namun pernyataan itu adalah gambaran dari kebahagiaan hakiki yang akan diperoleh oleh seseorang manakala ia istiqomah berada di jalan ilmu. Dan buku adalah salah satu instrumen khas dalam kegiatan menuntut ilmu.
Baca; Tiga Pilar Raih Kebahagiaan Hakiki
Dari kalangan tokoh pahlawan nasional, Bung Hatta juga pernah berujar, ”Kalian boleh memenjarakan aku dimanapun asalkan bersama buku. Sebab bersama buku sejatinya aku bebas.”
Ada pesan tersirat dari pernyataan Bung Hatta itu yakni kebahagiaan beliau nyatanya tidak pernah terampas meski badan beliau di dalam penjara sebab pikiran beliau masih bebas bersama buku-buku yang di dalamnya penuh petuah ilmu. Kebahagiaan Bung Hatta yang bernilai ruhaniah itu nyata jelas berbeda dengan bentuk kebahagiaan para pemuja kenikmatan duniawi (Kapitalis) yang empiristis belaka.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa orang yang paling merdeka di dunia ini adalah para kaum sufi. Sebab mereka adalah kaum yang dikenal dengan tingkat ketergantungannya yang sangat tinggi kepada Allah. Dan dimanapun mereka berada dan dalam keadaan apapun, selalu kebahagiaan meliputi mereka sebab mereka selalu bersama Allah SWT. <<< 2>>> Ibnu Atho’ ditanya tasawuf