Serangan halus terhadapTuhan dari Darwin dapat dimaklumi karena iklim kegamaan masih cukup kuat di Eropa, sebagaimana cara untuk menghindarkan dari serangan frontal kaum agamawan.
Pernyataan “perang” dari para ilmuwan dan saintis terhadap agama dan hal-halmetafisikapun semakin terang dan terbuka, misalnya sebagai contoh Bertrand Russelhinggaharus menyatakan serangannya pada ketuhanan (khususnya Kristen) dan agama Kristen melalui buku setebal 159 halaman. Ia menuliskan dalam bukunya bahwa sains tidak mendukung adanyaTuhan Kristen dan bahwa statusnya sama denga mitos Tuhan dalam peradaban Yunan, MesirKuno, dan Babilonia:
“God and immortality, the central dogma of Christian religion, find no support in science…The Christian God may exist; so may God of Olympus, or of ancient Egypt, or of Babylon” (Tuhan dan keabadian, dogma sentral dari agama Kristen, tidak memiliki dukungan sains…Tuhan Kristen bolehjadi ada; demikian juga Tuhan Olimpus, atau (tuhan) Mesir Kuno, atau (tuhan) Babilonia).
Tidak terhitung ilmuwan dan saintis Barat pada akhir masa Pencerahan yang menyerang secara terbuka ketuhanan dan agama, khususnya Kristen danYahudi, dan mengungkapkan kemuakannya padahal-halmetafisika.
Penentangan ilmuwan dan saintis terhadap hal-halmetafisika seperti Tuhan dan agama berlanjut hingga masa modern saat ini, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh ahli Fisika terkemuka Stephen Hawking bahwa “Tuhan tidak menciptakan alam semesta-”. Dalam karyanya “The Grand Design”, Hawking menulis:
“Spontaneous creation is the reason there is something rather than nothing, why the universe exists, why we exist. It is not necessary to invoke God to light the blue touch paper and set the universe going.” (The Grand Design)
Demikian juga saintis ahliBiologi Richard Dawkins seorang penganut ateisme terkemuka.Melalui sederet karya tulis dalam bentuk buku, website, dan videonya ia dengan gigih mempromosikan gagasannya tentang ateisme dan ilusi agama dan ketuhanan, ia menyerang berbagai keyakinan dan kepercayaan terhadapTuhan sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima sains modern.
Sekularisasi perlahan namunpasti tidak hanya merambah pada wilayah filsafat, politik, agama, namun juga wilayah sains alam dan metoda ilmiahnya. Sekularisasi mulai mempertanyakan tentang kebenaran danpengetahuan yang berasal dari Kitab Suci dan kaum agamawan, dan mereka mulai berfikir tentang pencapaian kebenaran melalui akal manusia dan pengamatan terhada palam.Pada akhirnya dua aliran pemikiran ini mengkristal menjadi dua pilar dalam pembentukan metoda untuk memperoleh pengetahuan yang disebut dengan metoda saintifik (scientific methods).Hal inilah yang disebutkan oleh Prof. S.M.N Al-Attas bahwa sekularisme memiliki bagian-bagian utama: ‘penghilangan pesona dari alam tabii’ (disenchantment of nature), peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik (desacralization of politics) dan penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan (deconsecration of values).
Sekularisasi membawa dampak besar dalam sains. Alam tidak lagi berhubungan dengan Tuhan, ia bukan lagi jejak Tuhan di dunia (vestigia dei), ia lepas dari alam, dan alam menjadi sekadar sesuatu yang diciptakan Tuhan kemudian berjalan sendiri secara mekanis. Tuhan seperti pembuat jam (clock maker), dan alam ini seperti jam yang berjalan dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan di dalamnya. Tuhan adalah tuhan Pencipta alam, prima causa, first creator, namun bukan Tuhan yang senantiasa memelihara alam semesta. Prof. DR. H.M, Rasjidi mencoba meringkaskan keadaan di Inggris dan Prancis pada masa Pencerahan tersebut, bahwa pemikiran berkisar pada tiga unsur :
1. Kepercayaan penuh kepada metoda ilmu pengetahuan (metoda saintifik –pen.)
2. Kehilangan kepercayaan kepada dogma agama (yang dimaksud adalah agama yang dikenal di Barat, yakni agama Kristen).
3. Serta makin meresapnya faham materialisme, yakni pendapat yang mengatakan bahwa yang ada hanyalah benda (materie), karena dapat disadari dengan panca-indera, sedangkan jiwa tidak demikian (tidak merasakan –pen.).
Cara pandang khas Barat seperti di atas merambah pada dunia Muslim. Akibat dari sekularisasi sains, banyak saintis muslim yang tidak lagi tertarik pada “ilmu-ilmu Agama”. Agama kalaupun masih dipraktikkan, ia tidak menjadi suatu pandangan-alam (worldview) atau paradigma berfikir, ia sekadar sebagai ritual yang terpisah dari dunia ilmiah dan sekadar obat penenang dari masalah-masalah hidup. Tidak sedikit lembaga-lembaga “pendidikan” yang memicingkan mata pada perkuliahan agama di perguruan tinggi, kalaupun tak cukup berani menghilangkannya, sekurangnya diarahkan pada sekdar perkuliahan etika profesional.
Sejauh yang kita fahami, tidak ada masalah serius di kalangan muslim saintis di masa lalu. Mereka mampu menjawab masalah-masalah sains dalam hubungannya dengan agama dengan baik. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kekokohan epistemologis dan memahami dengan baik kedudukan sains dan agama. Masalah muncul di kalangan saintis muslim saat ini disebabkan mereka mengambil framework (kerangka-kerja) Barat sebagai saintis muslim.
Memang tidak sedikit buah yang diperoleh dari kemajuan sains di Barat, namun kita perlu mewaspadai onak dan duri yang berbahaya, yang tidak dapat dilihat kecuali kita telah memiliki pandangan-alam Islam dengan baik. Jika tidak, tujuan sains dan pendidikan sains sekadar menjadikan warga negara yang baik atau fungsional, bagaimana ia menjadi alat bagi pemenuhun keperluan negara, dan bukan manusia yang baik dan beradab, lebih mengkhawatirkan lagi, kecendrungan sains hanya menjadi alat bagi korporasi dalam mengeruk kekayaan alam tanpa memperhatikan keselamatan lingkungan. Para filsuf dan saintis menempatkan Tuhan pada tempat yang ia inginkan, mengacuhkan Tuhan, mempertanyakan Tuhan, menolak Tuhan, atau bahkan mengolok-olok Tuhan, mereka tidak lagi melihat jejak Tuhan di alam, sebagai ayat, sebagai Vestigia Dei. Alam bukan lagi bermakna petunjuk, ia sekadar objek yang tidak menunjukkan pada sesuatu yang lain, kecuali fakta dan data atau hukum-hukum relasinya.
Metafisika tidak ditempatkan dengan semestinya dan dipisahkan sama sekali dari Fisika. Akibatnya tujuan sains terbatas pada pemuasan rasa ingin tahu (curiousity) atau pencarian hal-hal baru, scientia gratia scientiae, pengetahuan semata hanya demi pengetahuan.Dalam paradigma sains modern, tugas utama seorang saintis alam dalam metoda saintifik adalah bagaimana menemukan hubungan antara besaran-besaran fisis yang dapat diindera atau diukur yang diharapkan bebas dari apriori atau suatu pengetahuan deduktif yang dianut rasionalisme.
Hubungan-hubungan ini diharapkan menghasilkan sebuah teori yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan manusia. Ia hanya alat bantu dalam penciptaan teknologi-teknologi yang diperlukan manusia untuk mempermudah kehidupannya dan keperluan hidupnya. Riset-riset dalam sains menjadi sebatas reset retail. Tidak ada tujuan yang lebih luhur dari itu.*/Kuala Lumpur, 22 Juni 2014
Penulis adalah mahasiswa doktoral di Centre For Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization (CASIS-UTM)