Oleh: Kholili Hasib
Hidayatullah.com | TAHUN 2016 saya mengisi training pemikiran Islam di sebuah kampus terkemuka di Surabaya. Mayoritas peserta dari mahasiswa perguruan tinggi negeri di Surabaya.
Mahasiswa dari perguruan tinggi Islam tidak banyak. Materi yang saya sampaikan berjudul “Akidah dan Ilmu Kalam”.
Materi yang saya berikan lebih saya tekankan pada dasar-dasar serta framework pengkajian. Meski saya sentuh juga beberapa isu kalam yang lumayan mendalam. Seperti teori tentang teori wujud.
Saya terangkan tentang teori wujud karena salah satu sifat Allah Swt dari dua puluh itu adalah sifat wujud yang pertama. Pengertian wujud, perbedaan dengan ‘adam (tidak ada), kapan sesuatu itu disebut wujud dan kapan tidak. Lalu tentang tingkatan wujud (maratibul wujud). Allah Swt merupakan wujud paling tinggi.
Jika kajian ini diteruskan, maka akan sampai pada area kajian tasawuf. Justru para mahasiswa peserta training tertarik untuk meneruskan kajian pada area tasawuf. Tentu saja saya tidak berani. Karena harus ada dasar sebelumnya agar pemahaman yang diterima adalah utuh.
Beberapa pertanyaan mahasiswa saya simpan jawabannya. Memang, kajian-kajian akidah dalam tradisi Madzhab Asy’ari ini akan membuka pada ‘gerbang’ tasawuf.
Kepentingan dari kajian seperti ini, sebagai contoh, mempelajari sifat pertama Allah yaitu wujud itu bukan saja pasti akan memahami hakikat Tuhan yang secara otomatis menafikan ateisme, akan tetapi mengajak mahasiswa untuk berfikir lebih tinggi lagi.
Materi “Akidah dan Ilmu Kalam” yang saya sampaikan merupakan ringkasan mata kuliah yang saya ajar di IAI Darullughah Wadda’wah Bangil. Saya mengajar mata kuliah ilmu kalam sejak 2017.
Di dalam training maupun di kelas kuliah, saya mendesign materi agar materi ini menjadi salah satu “latihan” berfikir tinggi. Berfikir tertinggi itu berfikir pada level tasawuf.
Namun dasar pijakannya adalah akidah dan ilmu kalam. Ilmu akidah atau ilmu kalam mengajar untuk berfikir secara rasional. Pemikiran-pemikiran dan keyakinan menyimpang dijawab secara rasional dalam ilmu ini. Sehingga keyakinan-keyakinan tentang pokok-pokok akidah dapat dibuktikan secara aqliyah. Tetapi dalam tasawuf, berfikirnya sudah suprarasional. Satu tingkatan berfikir yang tinggi.
Mahasiswa, khususnya yang sedang belajar pada jurusan/program studi ilmu-ilmu alam, sangat perlu mendapatkan materi akidah ilmu kalam ini. Karena, disamping mengajak mahasiswa berfikir tinggi, mengasah akal dan menguji rasionalitas seorang Muslim. Juga beberapa isu akidah yang terhubung dengan ilmu yang sedang ditekuni dalam program studinya.
Syaikh Ibrahim al-Laqqani menulis sebuah syair: Fandzur ila nafsika tsumman taqil, lil ‘alam al-‘ulwi tsumma as-sufli (Kemudian berfikirlah tentang jiwamu kemudian tentang alam ulwi dan berlanjut kepada alam sufli). Syair ini ditulis di dalam karya nya berjudul Jauharatu at-Tauhid.
Kitab tentang ilmu akidah yang disusun dalam bentuk syair. Syaikh Ibrahim dalam kitab syarahnya menjelaskan bahwasannya salah satu cara mengenal Allah Swt (ma’rifatullah) adalah dengan melakukan penelaah tentang hakikat jiwa, menelaah tentang alam semesta ini. Ia kemudian menukil sebuah riwayat saidina Ali radhiallahu ‘anhu: Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (barangisapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya).
Dengan demikian, media ma’rifatullah itu adalah diantaranya dengan melakukan penelitian terhadap diri dan alam semesta yang dapat dipelajari melalui ilmu sains.
Belajar ilmu akidah memang perlu diawali dengan dasar-dasar epistemologis, sebagai sebuah perangkat penting untuk membangun pondasi keyakinan dan pemikiran. Syaikh Al-Baijuri dalam Kifayatul Awam menerangkan tentang tiga macam hukum ilmu di awal kitabnya, yaitu; al-wajib, al-mustahil dan al-jaiz. Al-Wajib dibagi menjadi dua yaitu; dharuri (aksiomatis) dan nadzari (teoritis).
Imam Nasafi dalam kitab al-‘Aqaid memulai pembahasan akidah dengan pembahasan tentang sebab-sebab ilmu: Wa anna asbabal ilmi lil khalqi tsalasatun: al-hawas as-salimah wal-khabar as-shadiq wal aql (Sesungguhnya sebab-sebab ilmu itu ada tiga yaitu indra yang sehat, khabar shadiq dan akal). Imam Nasafi perlu menjelaskan sumber-sumber ilmu yang diakui Aswaja, sebab ada kolompok-kelompok yang menolak itu.
Di antara yang menolak itu adalah golongan sufastaiyyah. Golongan ini terbagi menjadi tiga. Pertama, Allaadriyah. Mereka golongan yang menjadikan keragu-raguan (syak) sebagai metode. Meragukan hakikat sesuatu. Bahkan mereka meragukan wujud mereka sendiri. Mereka ragu apakah dalam diri mereka atau dalam ilmu itu ada hakikatnya.
Kedua, Al-Inadiyyah. Golongan ini menolak (inad) terhadap kemungkinan manusia mencapai ilmu. Ilmu yang pasti ia ragui. Bahwa manusia tidak bisa sampai pada level pengetahuan mutlak.
Ketiga, Al-Indiyyah. Mereka kaum subjektivisme. Yaitu bahwa kebenaran itu tergantung oleh tiap-tiap golongan atau orang. Mereka mirip dengan kaum relativisme, yaitu merelatifkan kebenaran.
Dalam kitab al-Farqu baina al-Firaq karya Abdul Qahir al-Baghdadi juga demikian di dalamnya dijelaskan tentang pembagian ilmu menjadi tiga yaitu: ilmu badihi, ilmu hissi dan ilmu istidlali. Ilmu badihi adalah pengetahuan yang bersifat aksiomatis diperoleh tanpa penelitian penalaran terlebih dahulu. Ilmu hissi yaitu ilmu indrawi yang diperoleh melalui jalan pengindraan dan ilmu istidlali diperoleh melalui pembuktian dan penelitian.
Al-Baqillani memulai kajian ilmu kalam dengan penjelasan tentang hakikat ilmu, akal, nalar dan klasifikasi ilmu. Karena itu, pada masa fase awal ilmu kalam berkaitan dengan ilmu ushul. Atau dengan kata lain, kajian ilmu ushul itu bersentuhan dengan teologi.
Hal ini diakui oleh George Makdisi bahwa ilmu ushul yang dikodifikasi oleh Imam Syafi’i tidak ada yang baru. Kandungan kitab al-Risalah- nya berhubungan dengan ushul al-din. Sehingga Makdisi menyebut ilmu ini dengan Juridical Theology.
Menurut Makdisi, sebagaimana dirujuk oleh Nirwan Syafrin, tujuan Imam Syafi’i menkodifiksi ilmu ushul ini adalah untuk meletakkan dasar berpikir ilmiah untuk menentang pola pikir kalam yang pada saat itu dipresentasikan oleh kelompok Mu’tazilah (Jurnal Tsaqafah Vo. 5, No. I, Zulqa’dah 1429, hal. 9).
Dengan demikian, kepentingan belajar ilmu akidah bagi mahasiswa adalah, bukan sekedar dirasatul firaq (studi aliran-aliran/firqah), akan tetapi lebih dari itu bagaimana akidah menjadi the mother of science (induk ilmu pengetahuan). Pengkajian dengan framework seperti ini tentu saja sebuah pembahasan yang epistemologis.
Pendidikan akidah sudah saatnya memang tidak sempit seperti dirasatul firaq, namun bagaimana Pendidikan akidah itu menjadi kajian yang mengajak berfikir mahasiswa untuk berfikir lebih tinggi lagi. Banyak para ahli sains yang mengambil faidah dari teori-teori ahli kalam terdahulu.
Justru para mahasiswa yang studi ilmu-ilmu sains sangat membutuhkan ilmu akidah dengan framework seperti ini. Meningkatkan intelektualisme dan ‘radikalisme’. Yaitu radikalisme dalam arti berfikir mendalam dan sampai akarnya.*