Hidayatullah.com– Taliban yang saat ini menguasai pemerintahan Afghanistan mengatakan akan mengubah sebagian pangkalan militer asing yang ada di negaranya menjadi zona ekonomi untuk kegiatan bisnis.
Hal itu diumumkan hari Ahad (19/2/2023) oleh Mullah Abdul Ghani Baradar yang bertindak sebagai deputi perdana menteri urusan perekonomian.
“Diputuskan bahwa Kementerian Perindustrian dan Perdagangan harus secara bertahap mengambil kendali atas pangkalan-pangkalan militer yang tersisa dari pasukan asing dengan tujuan mengubahnya menjadi zona khusus,” kata Mullah Baradar seperti dikutip BBC.
Dia menambahkan bahwa proyek itu akan dimulai dengan pangkalan yang berada di ibu kota Kabul dan di Provinsi Balkh di utara, tetapi dia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
Pasukan militer negara-negara asing bercokol di Afghanistan selama dua dekade. Pada Agustus 2021 penerbangan militer Amerika Serikat yang terakhir bertolak meninggalkan bandara Kabul, menandai berakhirnya 20 tahun kehadiran serdadu AS di Afghanistan, peperangan terpanjang yang pernah dilakoni pasukan negara itu di luar negeri.
Konflik bersenjata di Afghanistan telah merenggut puluhan ribu nyawa manusia dan menyebabkan jutaan lainnya terpaksa kehilangan tempat tinggal, banyak di antaranya bahkan mengungsi ke luar negeri.
Sejak penarikan pasukan militer asing dan pengalihan kekuasaan ke Taliban, keuangan negara Afghanistan dilanda sejumlah masalah besar. Sanksi dikenakan terhadap anggota-anggota pemerintah, aset luar negeri bank sentral dibekukan, dan sebagian besar bantuan luar negeri – yang sebelumnya mendukung perekonomiannya – ditangguhkan.
“Taliban sangat perlu segera mengisi pundi-pundinya jika ingin memerintah dengan lebih baik dan mendapatkan legitimasi di dalam negeri,” kata Muhammad Faizal Bin Abdul Rahman dari S Rajaratnam School of International Studies di Singapura kepada BBC.
“Lebih penting lagi, Taliban perlu membuktikan komitmennya terhadap perencanaan ekonomi. Ini termasuk membangun zona aman di dekat ibu kota dan perbatasan untuk calon investor asing seperti China… dan untuk menghidupkan kembali perdagangan regional dengan negara tetangga,” imbuhnya.
Afghanistan diperkirakan memiliki sumber daya alam – termasuk gas alam, tembaga, dan tanah jarang – bernilai lebih dari $1 triliun (£831,5 miliar).
Namun, banyak dari kekayaan alam itu belum dimanfaatkan karena konflik berkepanjangan selama beberapa dekade di negara itu.
Awal tahun ini, Taliban mengatakan berencana untuk menandatangani kontrak dengan sebuah perusahaan China guna mengebor minyak di Afghanistan bagian utara. Kesepakatan 25 tahun menggarisbawahi keterlibatan ekonomi China di wilayah tersebut.
Beijing belum secara resmi mengakui pemerintahan Taliban Afghanistan, tetapi mereka sudah menampakkan ketertarikan untuk berbisnis di negara itu, yang posisinya berada di tengah kawasan yang penting bagi China yang ingin mewujudkan Belt and Road Initiative, jalur perekonomian modern yang mengikuti jalur perdagangan masa lampau yang berjaya yang dikenal sebagai Silk Road (Jalur Sutra).
Diluncurkan oleh Xi Jinping pada tahun 2013, inisiatif ini menyediakan pembiayaan alias utang bagi negara-negara berkembang untuk membangun infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, dan jembatan.*