Hidayatullah.com–Kalangan Muhammadiyah di daerah mencurigai adanya oknum yang ingin memanfaatkan organisasi Muhammadiyah berkaitan dengan gonjang-ganjing yang melanda Bank Persyarikatan, salah satu aset bank milik Muhammadiyah. Karena itu, Amal Usaha Muhammadiyah di daerah menyatakan menolak bila mereka akan dilibatkan untuk menambah modal bank tersebut. “Sampai sekarang ini informasi kalau Bank Persyarikatan milik Muhammadiyah saja jarang ada yang tahu. Jangan-jangan ada oknum yang mau mendompleng nama Muhammadiyah. Ndak, kami ndak mau kalau diminta ikut menyumbang modal, wong, memang bukan milik organisasi kok,”katar salah seorang pengurus Muhammadiyah Kota Solo, Abdul Rozak Rais, seperti dikutip tempointeraktif.com, (26/12) kemarin. Keengganan menyetorkan dana untuk menambah modal ke Bank Persyarikatan juga dikemukakan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Prof. Dr Dochak Latief. Menurutnya, secara teknis sulit apabila pihaknya diminta turut membantu. ” UMS sendiri juga memerlukan uang sehingga kalau dana yang ada pun diprioritaskan untuk kepentingan UMS dulu. Saya kira demikian pula dengan amal usaha yang lain,”ujarnya. Bank Persyarikatan terancam dibekukan menyusul ketidakmampuan bank tersebut memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan Bank Indonesia. Bank Persyarikatan yang disebut-sebut sebagai alah unit usaha Muhammadiyah ini mengalami masalah permodalan dan kualitas aktiva produktif. CAR -nya menurun hingga di bawah delapan persen. Bank ini membutuhkan sedikitnya modal sekitar Rp 100 miliar dari para investor baru agar bisa kembali bernafas. Menurut Dochak, keberadaan Bank Persyarikatan memang tidak banyak diketahui anggota Muhammadiyah di daerah. Dirinya mengaku baru mengetahui adanya bank tersebut ketika sidang Tanwir Muhammadiyah di Mataram, Lombok sebulan silam. Ketika itu, Komisaris Utama Bank Persyarikatan secara informal mengeluhkan kondisi bank yang dipimpinnya dan meminta agar para koleganya memberikan bantuan. “Sejauh ini juga tidak ada permintaan secara formal agar UMS ikut menempatkan dana,”katanya. Guru Besar Akuntansi UMS, Prof. Dr. Bambang Setiadji menyatakan secara teknis sebenarnya sangat mungkin bila orang Muhammadiyah diwajibkan menjadi nasabah bank tersebut. Hanya saja, kendala yang dihadapi adalah Bank Persyarikatan tidak memiliki cabang di daerah-daerah. “Kecuali seperti yang saya dengar akan melibatkan Bukopin yang akan menyetor modal dengan syarat Muhammadiyah menjadi nasabah Bukopin,”ujarnya. Para Muhammadiyyin mengakui apabila masalah BPI memang selama ini terkesan hanya diketahui oleh pihak tertentu. Menurut Bambang bahkan tidak semua orang di Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengetahui adanya BPI. Menurut Abdul Rozak Rais yang merupakan salah satu adik kandung mantan Ketua PP Muhammadiyah Amien Rais memang tidak ada orang Muhammadiyah mengetahui soal BPI. “Jangankan di daerah, di wilayah saja juga tidak ada yang tahu kok, karena memang bukan milik organisasi,” Rozak , adik Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah. Bank Riba Bank Indonesia (BI) telah memasukan Bank Persyarikatan Indonesia (BPI) sebagai bank dalam pengawasan khusus atau special surveillance unit (SSU) tiga bulan hingga September 2004. Rasio kecukupan modal BPI hanya 8,8 persen. Bank ini juga mengalami kerugian sebesar Rp 63 miliar. Sebelumnya, anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Drajat H.Wibowo, mengatakan bank ini membutuhkan tambahan modal sekitar Rp 300-Rp 400 miliar dan membutuhkan dana pihak ke-3 minimal Rp 30 miliar. Gonjang-ganjing BPI muncul ketia bank ini dilanda masalah. Sebagaian warga justru merasa kaget sebab selama ini banyak yang tak tahu jika BPI adalah milik Muhammadiyah. Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam besar di Indonesia. Sayangnya, organisasi ini justru memilih mendirikan bank riba dibanding mendirikan bank dengan prinsip syariah. Bahkan ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyepakati fatwa haram bunga bank yang dikeluarkan Komisi Fatwa MUI se-Indonesia setahun lalu, Muhammadiyah tetap pada pendiriannya untuk mendirikan BPI, yang oleh sebagaian umat dianggap cenderung riba. (ti/hi/cha)