Hidayatullah.com– Secara historis dan fakta, eksistensi dari sertifikat halal merupakan inisiasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim.
Dalam Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka/RUU Cipta Kerja) yang sedang menuai banyak protes, diatur bahwa fatwa halal bukan lagi domain MUI, tapi bisa juga dilakukan oleh ormas-ormas Islam.
Jika kewenangan fatwa diserahkan kepada masing-masing ormas Islam (sesuai Omnibus Law), maka dinilai negara mundur dan menciptakan situasi yang berakibat pada munculnya berbagai fatwa atas sebuah masalah yang bermuara kepada ketidakpastian hukum (Law Uncertainty).
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Prof Dr Muhammad Baharun menekankan, ada pasal-pasal pada RUU Ciptaker itu yang memberi wewenang kepada ormas Islam untuk membuat fatwa dan menguji laporan masyarakat tentang produk halal.
Yang perlu disadari, sambungnya, setiap ormas memiliki madzhabnya masing-masing. Tentu kewenangan pada RUU Ciptaker ini berpotensi menciptakan disharmoni antar-ulama dan ormas Islam yang selama ini sudah bersatu dalam rumah besar MUI.
Baca: IHW: Bahaya Jika Peran Tunggal MUI pada Fatwa Halal Disingkirkan
“RUU Cipta Lapangan Kerja ini merupakan langkah mundur bagi perkembangan halal di Indonesia. Sekarang sudah ada lembaga yang kredibel, yakni LPPOM MUI, seharusnya pemerintah mendukung,” ujar Baharun dalam sebuah diskusi terfokus (FGD) menyoroti RUU Ciptaker di Jakarta kutip website resmi Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI pada Kamis (20/02/2020).
Pada FGD itu, Direktur Operasional LPPOM MUI, Ir Sumunar Jati menyatakan bahwa ulama-lah yang memiliki otoritas untuk menyatakan status hukum produk halal.
RUU Ciptaker tersebut, katanya, bukanlah semata perkara administratif, ada proses di dalamnya yang tak bisa dipotong begitu saja.
“Halal merupakan suatu hukum. Dalam pengertian ini, kita perlu memahami bahwa ada proses di sana. Kami sebagai pelaku, telah menjalani kegiatan sertifikasi halal selama lebih dari 31 tahun. Apa yang kami lakukan saat ini merupakan praktis terbaik. Dan perlu diakui, ulama kita sangat dalam mempelajari hukum Islam, sehingga LPPOM MUI dari segi sains juga dituntut mendalami hukum Islam,” tegasnya.
Baca: RUU Ciptaker “Hapus” Wewenang Tunggal MUI pada Fatwa Halal
Sebelulmnya, RUU Ciptaker yang sebelumnya RUU Cilaka telah “menghapus” wewenang tunggal MUI dalam fatwa halal. RUU ini kemudian memberi wewenang kepada ormas-ormas Islam untuk bisa juga menerbitkan fatwa halal.
Berdasarkan penelusuran hidayatullah.com pada Kamis (20/02/2020) dalam draf resmi RUU Ciptaker yang dirilis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dilakukan perubahan regulasi UU JPH itu sebagai berikut:
“Ketentuan Pasal 33 (UU JPH, red) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
(1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI dan dapat dilakukan oleh Ormas Islam yang berbadan hukum;
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal;
(3) Sidang Fatwa Halal memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI atau Ormas Islam yang berbadan hukum menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari BPJPH;
(4) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal.”*