Hidayatullah.com–Perbaikan kualitas keluarga perlu dilihat dari berbagai sisi. Salah satunya adalah meningkatkan akses perempuan dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga dan publik. Namun pada ranah publik, akses perempuan dalam pengambilan keputusan dalam konteks politik masih belum memuaskan.
Pernyataan ini disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar dalam acara “Kongres Keluarga Indonesia”, di Jakarta, Selasa, (17/07/2012).
Menurut Linda, akses perempuan telah meningkat sekitar 18 persen dalam Pmilu tahun 2009. Sebelumnya, di Pemilu 2004 hanya 11 persen, tandasnya.
Linda mengatakan tingginya tingkat perempuan dalam pengambilan keputusan akan berdampak pada kualitas perempuan baik di dalam keluarga maupun di ranah publik.
Berbicara kualitas keluarga Indonesia, tentu akan berbanding lurus dengan kualitas sumberdaya manusia Indonesia.
“Jadi kalau perempuan tidak diberdayakan tentu saja kualitas sumber daya manusia kita akan rendah,” tambahnya.
Wanita kelahiran 1951 ini mengatakan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan memiliki tugas pokok untuk merumuskan kebijakan yang terkait dengan perbaikan keluarga berkualitas. Hal itu terkait dengan perempuan, kesetaraan gender dan perlindungan anak.
“Keluarga yang berkualitas diindikasikan di mana hak perempuan dan hak laki-laki, juga hak anak perempuan dan hak anak laki-laki dapat dipenuhi dan dihargai beserta kewajibannya masing-masing,” paparnya.
Hal itu dapat terwujud ketika tidak adanya tindak kekerasan terkait fisik, psikis, dan ekonomi. Juga adanya keharmonisan dalam mengeluarkan pendapat serta terlibat di dalam pengambilan keputusan.
“Oleh karena itu pemerintah telah menetapkan program pengarustamaan gender di dalam pembangunan jangka menengah nasional 2010-2014,” tegasnya.*
Pengarusutamaan Gender Pemaksaan Ideologi
Sementara itu, pernyataan Meneg Perempuan tersebut direspon secara kritis oleh Henri Shalahuddin. Peneliti MIUMI bidang gender ini menilai baik tidaknya suatu kebijakan publik tidak diukur dari jenis kelamin pembuat kebijakan tersebut.
“Koruptor dari laki-laki dan perempuan itu banyak. Margaret Thatcher (Mantam PM. Inggris) dijuluki Iron Lady yang di eranya memerangi Argentina,” tegasnya kepada hidayatullah.com.
Ia menilai gagasan pengarusutamaan gender adalah pemaksaan ideologi jenis kelamin sebagai asas tunggal pembangunan.
“Inilah jika kekuasaan mendahului keilmuan,” ujarnya.*