Hidayatullah.com–Rapat Badan Legislasi DPRA dan Tim Pemerintah Aceh akhirnya sepakat memasukkan Raqan Jinayah dan Hukum Acara Jinayah (pidana) sebagai salah satu raqan prioritas yang akan dibahas dan dituntaskan pada tahun 2013 ini. Pertanyaannya, seberapa pentingkah raqan ini perlu segera diwujudkan? Apakah aturan dalam Al Quran dan Hadits tidak cukup untuk menjadi landasan pelaksanaan syariat Islam di Aceh?
“Pertanyaan-pertanyaan seperti ini memang sering dilontarkan, dan kerap terjadi diskusi cukup panjang. Nah, kita harus bisa meyakinkan banyak pihak dengan sejumlah logika dan argumentasi-argumentasi yang rasional, sehingga semua pihak bisa mengerti dan memahami kedudukan dan fungsi qanun dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh,” kata Prof DR Syahrizal Abbas MA, Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, dalam pengajian dan diskusi rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kopi Luwak, Jeulingke, Banda Aceh, Rabu (27/02/2013) malam.
Syahrizal yang hadir bersama sejumlah kepala bidang di DSI Aceh, seperti Muhammad Nas, Dr Munawar A Jalil, dan Nasruddin, memaparkan, qanun yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam adalah upaya mengalihkan materi fikih menjadi hukum positif negara.
“Karena kita hidup dalam negara, maka hukum yang kita buat harus sesuai dengan konstitusi negara. Karena pelaksanaan syariat Islam secara kaffah tidak akan terwujud tanpa campur tangan negara (penguasa),” ujarnya di depan peserta pengajian yang diikuti kalangan wartawan, santri, pengacara, mahasiswa, dan masyarakat umum.
Syahrizal mengatakan, aturan-aturan (qanun) yang terkait dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, seperti Raqan Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, maupun qanun-qanun yang sudah duluan lahir, seperti Qanun Maisir, Khamar, dan Khalwat, dibutuhkan sebagai upaya sementara mencegah meluasnya tindakan-tindakan yang dilarang oleh agama.
“Penyusunan aturan-aturan hukum itu sebenarnya untuk pencegahan temporary (sementara). Sebenarnya ini bukan satu-satunya upaya yang harus dilakukan dalam melaksanakan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) di Aceh. Tapi kita harus memulainya dari memperbaiki akidah dan akhlak dari kelompok yang terkecil, yakni keluarga dan masyarakat sekitar. Kenapa penyelewengan-penyelewenang terhadap ajaran agama itu terjadi? Itu karena keyakinan beragama masyarakat kita sudah semakin memudar,” ujarnya dalam laman Serambi Indonesia.
Terkait dengan hal ini, kata Syahrizal, Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh sudah membuat roadmap yang akan mencakup pelaksanaan Islam secara menyeluruh. Saat ini, Dinas Syariat Islam sedang menyusun dua katagori qanun. Pertama qanun yang mengatur seluruh aspek ajaran agama, mulai dari akidah sampai pembelaan Islam dan seterusnya. Yang kedua, qanun yang bersifat praktikal.
Qanun yang pertama, kata Prof Syahrizal, adalah qanun induk yang sifatnya lebih kepada upaya pembinaan secara menyeluruh. “Qanun induk ini disiapkan sebagai acuan bagi qanun-qanun yang lain. Qanun ini merupakan transformasi fikih menjadi hukum negara yang positif. Qanun ini juga nantinya akan mengatur hingga kepada tata cara mengelola pemerintahan yang baik dan Islami,” ujarnya.
Sedangkan qanun yang kedua adalah qanun yang akan dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus yang berujung di pengadilan. “Qanun-qanun yang kedua inilah yang disebut sebagai upaya pencegahan temporary (sementara) agar praktek-praktek yang menyeleweng dari ajaran Islam tidak semakin meluas,” ucapnya.
Kadis Syariat Islam ini menyatakan, pihaknya akan bekerja dan berusaha keras untuk mewujudkan lahirnya kedua katagori qanun ini. “Kita tentu akan berusaha maksimal untuk mewujudkan hal ini. Walaupun kemudian dalam kenyataannya nanti akan ada hambatan yang bisa saja akan sangat menyulitkan posisi kita,” ujarnya.*