Hidayatullah.com- Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Maneger Nasution menyatakan tidak setuju jika pelaku kejahatan kekerasan seksual disamakan dengan koruptor atau maling, sehingga pemutusan hukuman tidak selalu inline terhadap tuntutan Undang-Undang Perlindungan Anak ataupun KUHP secara maksimal.
“Jika membaca ulang wacana hukum kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, bahwa pendekatan yang digunakan aparat penegak hukum cenderung kaku dan konserpatif,” ujar Maneger dalam siaran pers yang diterima redaksi hidayatullah.com, Senin (18/01/2016).
Misalnya koruptor, dikatakan Maneger, melakukan kriminal dengan motif ekonomi. Tetapi, kekerasan seksual terhadap anak menurutnya, terjadi karena pelaku mengganggap dirinya lebih kuat dan berkuasa penuh atas korban.
“Itu hakikatnya pelaku kekerasan seksual lebih kejam daripada koruptor. Berdasarkan alasan perbuatan saja, justru pertimbangan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual sejatinya harus lebih memberatkan,” tegasnya.
Menurut Maneger, selama ini aparat penegak hukum masih mengandalkan keberadaan bukti fisik seperti DNA pelaku (kekerasan seksual) yang masih melekat di tubuh ataupun luka di organ vital maupun anggota tubuh lainnya si korban. Dan lanjutnya, yang menjadi permasalahan, para korban kekerasan seksual ini (apalagi anak-anak) baru melapor ke aparat beberapa hari setelah kejadian.
“Bahkan berbulan-bulan baru melapor sebab, mereka harus meneguhkan mental dan batin terlebih dahulu,” imbuhnya.
Dan akibatnya, kata Maneger, dalam memproses perkara, aparat memakai pendekatan keraguan yang beralasan dan hanya membangun konstruksi kasus berdasarkan laporan para korban, tanpa disertai bukti forensik.
“Itu justru membuat jaksa dan hakim dalam mengambil keputusan bersikap sangat berhati-hati dan tidak menjatuhkan hukuman maksimal,” kata Maneger.
“Selain itu, keterangan dari korban yang berusia anak-anak juga kerap diremehkan dan dipandang kurang valid,” tukasnya prihatin.*