Hidayatullah.com–Pakar filsafat dan logika Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Rocky Gerung, mengatakan soal hoax yang sedang ramai dibicarakan di Republik Indonesia menandakan ada kepanikan rezim Presiden Joko Widodo.
“Jadi sebetulnya, jika kita agak tenang sedikit, kita mencium ada semacam kepanikan pada rezim ini. Orang panik, biasanya ingin pegangan apa saja. Kayak orang hanyut, ia ingin meraih apa saja. Ada kaleng bekas, batang pohon jadi pegangan. Panik itu menunjukkan ada krisis. Itu poinnya. Kita nggak tahu, hoax itu soalnya apa?” ujarnya di acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa 17 Januari 2017 bertema “Hoax VS Kebebasan Berpendapat” yang dipandu Karni Ilyas.
Ia mengatakan, sebenarnya yang lebih potensial melakukan hoax justru penguasa, karena penguasa memiliki perangkat untuk itu.
“Dalam satu artikel yang saya tulis kemudian menjadi kontroversi, saya sebutkan bahwa, pembuat hoax terbaik adalah penguasa. Karena mereka memiliki seluruh peralatan untuk berbohong. Intelijen dia punya, data statistik dia punya, media dia punya. Orang marah. Tapi itu faktanya. Bahwa, hanya pemerintah yang mampu berbohong secara sempurna. Saya tidak ingin dia berbohong tapi potentially dia bisa lakukan itu,” ujarnya lebih lanjut.
Rocky Gerung Sebut Pembuat Berita Hoax Terbaik adalah Penguasa
“Saya kasih contoh cepat-cepat, bagaimana statistik berbohong. Pilgub DKI, saya baca tadi di media. Jakarta, human development index-nya tertinggi se-Indonesia dalam dua tahun berturut-turut. Oleh karena itu, dia (Ahok) dapat award empat kali. Sebagai fakta, itu benar. Tapi sebagai pesan politik, itu adalah hoax, karena enggak ada gunanya menyebutkan itu,” tambah peneliti dari Perhimpunan Pendidikan Demokrasi ini.
Menurut Rocky, sejak 10 hingga 12 tahun lalu, Jakarta pasti selalu di atas memang, sebab Jakarta adalah Ibu Kota dengan APBN 27 triliun.
Presiden pembuat Hoax
Sebelumnya, Rocky juga mengkritik peran penguasa yang justru menjadi pembuat hoax.
“Saya kasih contoh cepet-cepet ya. Tadi sore saya baca (media), Pak Jokowi bilang, ‘jangan membaca Jokowi Undercover karena buku itu tidak ilmiah. Saya anggap itu hoax,” ujar Rocky.
Sebab menurut Rocky, hak menyatakan ilmiah dan tidak adalah dunia kampus dan akademik, bukan wilayah penguasa (pemerintah).
“Karena yang ngomong itu adalah presiden, memberi penilaian pada buku tidak ilmiah. Tentu bisa bikin semacam simulasi dari mana Pak Jokowi tahu. Oo pasti kalau ada wartawan tanya dia akan bilang, ‘kata Pak Tito, Kapolri. Lho, Pak Tito rektor UI atau rektor ITB itu?,” disambut tawa penonton ILC.
Anggota DPR: Jika Pemerintah Bekerja Baik, Berita Hoax Hilang
“Jadi Anda lihat bahwa, bahkan presiden menyebar hoax itu. Dari sudut pandang definisi lho,” tegas Rocky disambut tepuk tangan.
Rocky menjelaskan, bahkan saat ini orang yang membawa buku Jokowi Undercover saja diburu, sementara buku tersebut belum pernah dinyatakan berstatus terlarang atau dinyatakan tidak ilmiah oleh lembaga yang berhak.
“Lho buku itu tidak pernah dilarang. Jika dilarang dasarnya apa? Berbahaya secara ideologis? Yang ada di public adalah buku itu tidak ilmiah. Yang menentukan ilmiah tidaknya adalah saya (maksudnya orang akademisi/kampus, red),” ujarnya.
Ciri Totaliter
Rocky juga mengkritik cara pemerintah yang mengambil semua wacana masyarakat. Akibatnya seluruh diskursus politik saat diambil dan dikendalikan Negara.
“Diskursus public diambil alih Negara, nanti ada aturan yang boleh diucapkan adalah A, B, C, D. Bicara SARA (Suku Ras Agama dan Antar golonga) tidak boleh, bicara LGBT tidak boleh, nonton Jakarta Unfair tidak boleh, baca Jokowi Undercover gak boleh. Jadi apa yang disebut public discourse hilang. Jadi Negara ini menuju totaliter. Cuma dalam Negara totaliter pikiran, ucapan, karya itu dilarang. Tentu Anda bisa bilang ini demi kemaslahatan bangsa. Demi etika, demi moral, pemerintah berbaik hati merawat opini public.
Ia lalu bercerita yang terjadi dalam mitologi Yunani, di mana ada seorang raja yang dianggap sebagai raja bijaksana. Sang Raja setiap malam mengunundang rakyatnya tidur di ranjang emasnya. Malam-malam ada orang yang mengintip. Ternyata kalau ada orang yang tubuhnya lebih panjang dari ranjang emas raja, maka digergajilah kakinya. Kalau kakinya lebih pendek ditarik, supaya sesuai dengan panjangnya ranjang sang raja.
“Kebenaran semacam itu yang disebut sebagai awal dari gejala otoritarianisme. Kita nggak ingin hidup dalam keadaan semacam ini. Nah, sekarang ada semacam gairah untuk memberantas hoax. Tapi pada saat yang sama, kita mengumpankan seluruh kemewahan kita dengan demokrasi pada pengendalian Negara. Itu yang saya tentang,” ujarnya menutup pendatnya.*