Hidayatullah.com– Proses pembahasan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan upaya pembaharuan terhadap KUHP yang berlaku hingga saat ini.
Dalam proses pembahasan yang saat ini dilakukan, ada beberapa catatan yang perlu mendapatkan perhatian baik Pemerintah dalam hal ini Presiden sebagai pengusul RUU ini, maupun DPR yang menjadi lembaga legislatif.
Catatan tersebut, menurut Majelis Hukum dan HAM bersama Lembaga Hikmah Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tentu berkaitan dengan masuknya delik pidana khusus terutama berkaitan dengan tindak pidana korupsi dalam RKUHP tersebut.
Maka menurutnya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Antara lain, pertama, Pidana Khusus Tindak Pidana Korupsi dianggap tidak perlu dimasukan dalam kodifikasi RKUHP.
“Selain akan melemahkan posisi undang undang tindak pidana korupsi, sebenarnya kodifikasi hukum pidana, tidak memiliki dasar yang kuat dalam kontistusi kita. Berbeda dengan negara lain Belanda misalkan, yang memang secara tertulis mengamanatkan adanya kodifikasi hukum,” demikian pernyataannya disampaikan di Jakarta, Kamis (07/06/2018).
RUU KUHP ini tidak lain untuk memperbarui KUHP yang selama ini digunakan merupakan warisan kolonial Belanda. Sehingga arah pembahasannya cukup hanya pada hukum pidana umum yang ada pada KUHP sebelumnya dengan penyesuaian perkembangan zaman.
Kedua, memasukan kembali tindak pidana korupsi kedalam RKUHP dinilai menunjukkan penyusun undang-undang mengabaikan realitas terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia.
“Pengaturan di luar KUHP terhadap tindak pidana korupsi adalah untuk memberikan sanksi yang berat sebagai upaya mendidik aparatur negara agar tidak melakukan tindak pidana korupsi disamping untuk pemberian efek jera,” jelasnya.
Ketiga, undang-undang tindak pidana korupsi dalam hal ini Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 senyatanya disusun sesuai dengan perkembangan penyusunan RKUHP. “Artinya secara sadar penyusun peraturan perundang-undangan menegaskan eksistensi undang-undang tindak pidana korupsi berada di luar KUHP.”
Keempat, tambahnya, mengembalikan pengaturan tindak pidana korupsi kedalam RKUHP menunjukkan pelemahan maksud disusunnya undang-undang tindak pidana korupsi di luar KUHP.
Kelima, masuknya Pidana Khusus seperti Korupsi dan lainnya dalam RKUHP dinilai akan menimbulkan kekisruhan dalam penegakan hukum.
Dalam undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana khusus seperti korupsi, menyebutkan adanya lembaga penegak hukum dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang secara khusus memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut.
“Kewenangan penyidikan tindak pidana tersebut akan beralih kepada Polisi dan Kejaksaan, sehingga secara perlahan membahayakan dan menghilangkan posisi KPK yang melakukan kerja kerja pemberantasan korupsi,” ungkapnya.
Keenam, dalam perkembangan zaman, akan semakin banyak berbagai macam bentuk tindak pidana khusus yang akan terjadi terlebih korupsi.
Tentu dinilai tidak cukup jika delik tindak pidana khusus tersebut dimasukan dalam RKUHP. Melihat kasus korupsi yang terjadi selama ini, membutuhkan penanganan secara khusus, maka memposisikan korupsi sebagai tindak pidana khusus dengan membiarkan korupsi di luar RKUHP dan berdiri di atas undang undang yang lebih khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi.
Ketujuh, lanjutnya, pembahasan RKUHP tentu membutuhkan masukan dan dari semua pihak, sehingga proses pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR diharapkan secara transparan dan tidak terburu-buru untuk disahkan pada Agustus 2018 mendatang.
“Pemerintah dan DPR sebaiknya menunjukan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, dengan tidak menjadikan proses pembahasan RKUHP ini sebagai upaya jalan memutar untuk melakukan pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia,” harapnya.*