Hidayatullah.com– Ketua Bidang Jaringan Aliansi Cinta Keluarga (AILA), Dr Sabriati Azis, menyampaikan AILA mengapresiasi atas kajian Komisi Perempuan, Remaja, Keluarga (PRK) MUI Pusat terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (KS) yang diajukan oleh Komnas Perempuan.
Ia mengatakan isi kajian itu bagus. Sebab idealnya memang menjadi instrumen yang membangun individu dan keluarga agar RUU ini tidak bertentangan dengan syariat Islam.
AILA bersyukur dan sejalan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam hal ini. AILA sangat menaruh harapan besar kepada MUI sebagai penjaga benteng keluarga dan bangsa Indonesia.
“Kalau MUI-nya bobol, maka kita apalah artinya ini,” tutur Sabriati dalam acara Kongres Muslimah Indonesia ke-2 di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Selasa (18/12/2018).
Baca: Kongres Muslimah Indonesia II Bahas Ketahanan Keluarga
Sabriati memaparkan kritik-kritik AILA terhadap isi RUU itu. Kalau Komnas Perempuan dalam RUU itu menganggap keluarga adalah sumber masalah, AILA memandang, justru hilangnya peran keluarga adalah akar masalah kejahatan seksual.
“Hilangnya peran keluarga ini justru disebabkan adanya upaya untuk menjadikan relasi gender dan relasi kuasa sebagai konsep utama dalam hubungan laki-laki dan perempuan sebagaimana dikampanyekan feminisme,” terang Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Muslimat Hidayatullah (Mushida) ini.
Sabriati menjelaskan, kata kunci dari definisi atau konsep kekerasan seksual dalam RUU itu adalah adanya paksaan dan tidak adanya upaya persetujuan dari seseorang. Bukan pada baik atau buruknya perilaku seksual tersebut ditinjau dari kesehatan, nilai-nilai agama, sosial, dan budaya Indonesia.
Baca: Kaum Ibu Gugat Negara Lewat Kongres Ibu Nusantara Ke-2
“Jadi misalnya begini. Jika seseorang melakukan zina suka sama suka, atau suami mensodomi istrinya dan istrinya senang-senang aja, itu bukan kekerasan seksual (menurut RUU itu),” ujarnya.
Selain itu, lanjut Sabriati, perzinaan dan perilaku LGBT serta penyimpangan seksual lainnya (sodomi, nudity/telanjang, dan lain-lain) dalam RUU itu tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual jika tidak ada unsur paksaan walaupun perilaku seksual tersebut bertentangan dengan moralitas dan agama. “Di Bali ada yang telanjang-telanjang. Tak sedikit yang telanjang dada tidak apa-apa karena sukarela,” katanya mencontohkan.
RUU ini, kata dia, juga berpotensi melegalkan prostitusi dan aborsi. Menurut konsep kekerasan seksual, ‘pemaksaan prostitusi’ dan ‘pemaksaan aborsi’ termasuk kekerasan seksual. “Jadi jika ditafsirkan secara a contrario (kebalikan) secara hukum perbuatan prostitusi dan aborsi dilegalkan apabila dilakukan atas kesadaran sendiri,” terangnya.
Mengatur cara berpakaian perempuan dalam RUU ini juga dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual. Padahal, kata Sabriati, agama memiliki aturan tertentu tentang pakaian yang harus digunakan oleh perempuan. Namun menurut konsep kekerasan seksual ini, pengaturan terhadap tubuh dan aktivitas seksual perempuan adalah sebuah kekerasan seksual.
“Jadi ibu-ibu, kalau meminta ‘Nak, pakai jilbab. Kamu udah gede’, tapi anaknya tidak setuju, lalu ibu memaksanya, itu kekerasan seksual (menurut RUU itu),” katanya mencontohkan.
Baca: Komisi VIII: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Kehilangan Ruh Pancasila
Kritik terakhir AILA terhadap RUU itu, konsep keluarga masuk ke dalam konsep perbudakan. “Kalau suami memaksa istrinya melakukan hubungan seksual, tapi dia enggak mau, itu (dianggap) kekerasan seksual,” contohnya.
AILA mengapresiasi kesigapan DPR dan pemerintah dalam upaya merespons darurat kejahatan seksual yang terjadi di masyarakat. Namun alangkah baiknya, saran AILA, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga dapat dikaji secara mendalam dan dengan penuh kehati-hatian.
“Hal ini disebabkan ditemukan sejumlah ketidakcocokan dan ketidakjelasan makna maupun tujuan dari sejumlah pasal yang ada dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini,” tutupnya.* Andi