Hidayatullah.com– Pengamat Politik Internasional Arya Sandhiyudha menilai bahwa kemenangan profesor hukum independen Kais Saied dalam pemilihan presiden Tunisia telah menjadikan Tunisia “teman baru” Turki.
Arya menjelaskan, Tunisia yang baru saja melaksanakan Pemilu ketiga pasca “Arab Spring”, Musim Semi ‘Demokratisasi’ Arab, seakan menyambung napas harapan kompatibilitas Islam dan demokrasi, juga kapabilitas entitas Muslim Negarawan di ranah kontestasi demokrasi di sebuah negara yang multikultural.
“Kisah Tunisia ini jadi pengecualian (exceptionalist) sebab cerita Mesir kerap membuat dunia pesimis tentang kesesuaian entitas “Muslim Negarawan” masuk ke dalam demokrasi. Tunisia seakan menjadi teman baru Turki yang menyambung kenyataan politik tentang kompatibilitas Muslim Negarawan, demokrasi, dan modernitas,” ujarnya dalam keterangannya diterima hidayatullah.com, Ahad (27/10/2019).
Menurut Arya, Tunisia seperti menduplikasi kisah Turki yang membuat sebagian akademik percaya ‘sekulerisme’ juga punya varian baru yaitu ‘sekulerisme pasif’, yakni sekulerisme yang tidak agresif/asertif terhadap kehadiran aspirasi keagamaan di ranah publik.
“Melalui Turki dan Tunisia, kita bahkan melihat bahkan atas nama sekulerisme sekalipun, kenyataan politik dan napas keagamaan tidak serta-merta layak diperangi atau dilarang dengan pelabelan: radikalisme. Selama segalanya dilalui dalam mekanisme dalam demokrasi substantif, tidak menabrak karang kemanusiaan, dan tidak mengoyak sampan keberagamaan,” sebutnya.
Menurutnya, pemilu Tunisia 6 Oktober 2019 lalu menunjukkan bahwa orang-orang telah menolak pendirian sekuler yang garang (sekulerisme agresif/asertif) terhadap napas keberagamaan.
Sementara Partai EnNahda yang mendukung Kais Saied, lanjutnya, tetap menjadi pengecualian karena kesetiaan pada prinsip sekaligus sangat transformatif, lincah, dan adaptif.
Simbol perubahan menjadi pelajaran penting dalam hasil Pemilihan Presiden. Kandidat independen Kais Saied sukses memenangkan suara rakyat secara mutlak 72,5%. Menariknya, masih kata Arya, Saied bukan hanya tidak memiliki pengalaman partai politik atau pengalaman politik yang mapan, tapi juga tidak bergantung pada pidato politik atau kampanye massa.
“Namun (Kais Saied) hanya mengandalkan pertemuan door to door dari rumah ke rumah untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Beliau menerapkan grounded leadership, kepemimpinan akar rumput sekaligus menyiapkan revolusi baru pasca Musim Semi Arab dalam membangkitkan ekonomi dan menjamin keamanan publik,” ujanrya.
Baca: Pengamat: Partai Sekuleristik Tunisia Rontok karena Andalkan Narasi Radikalisme
Kais Saied juga sangat populer di kalangan generasi muda dan pemilih pemula, menurut Arya, karena citranya yang bersih, independen, dan dianggap sebagai solusi bagi kejenuhan terhadap pejabat politik yang koruptif dan sewenang-wenang.
“Kalangan relijius juga memilihnya karena dianggap sebagai paling terpelajar dan berpendidikan,” imbuhnya.
Dalam Pemilu Legislatif lalu, Partai EnNahda menang karena dinilai performa kerjanya lebih baik daripada partai-partai lain. Satu hal yang juga membuat mayoritas warga Tunisia memilihnya, dibanding parpol yang sekuleristik.
Arya mengatakan, EnNahda mengamankan posisi tertinggi dengan 19,5% suara (52 kursi). Setelah EnNahda, Qalb Tunes mendapat 14,5% suara (38 kursi), Partai Demokrat mendapat 22 kursi, kemudian tiga partai terakhir masing-masing mendapat 16, 21, dan 14 kursi.
Menariknya, tambah Arya, di antara tujuh partai teratas, tidak ada partai yang berbasis sekuleristik. Partai yang berkuasa dan partai-partai koalisi utama sebelumnya telah secara dramatis kehilangan peringkat suara mereka, karena rakyat melihat nasionalisme bukan kenyataan politik, tapi sekadar komoditas politik hanya jargon menutupi praktik kolutif bagi-bagi kekuasaan dan praktik koruptif menambah kekayaan.
Arya menyebut, Partai Nidaa Tunes hanya mendapat tiga kursi, mengamankan posisi ke-10. Padahal partai ini mendapatkan 86 kursi dalam Pemilu 2014.
Lalu Front Populer mendapat satu kursi dan Afek Tounes mendapat dua kursi. Sedangkan Free Patriotic Union (UPL) tidak mendapatkan kursi apa pun. Jumlah total empat partai dari pemerintah koalisi yang berkuasa ini 125 kursi dalam Pemilu 2014. Sekarang anjlok menjadi 6 kursi dalam Pemilu sekarang. Partai sekuleristik lama lainnya juga mengalami kerugian dalam hal kursi.
“Jadi, hasil ini menunjukkan hilangnya popularitas bagi partai sekuleristik. Mereka dianggap merugikan karena menciptakan pembelahan masyarakat (social cleavages),” lanjutnya.
Partai sekuleristik di Tunisia dianggap terlalu mengandalkan narasi radikalisme umat beragama sebagai komoditas politik. Sebab, rakyat merasakan sebagai kenyataan politik sebetulnya skala praktik radikalisme di Tunisia sangat kecil. Sama sekali tak bisa dipandang sebagai “representasi” umat beragama.
Sebagaimana diketahui, Kais Saied merupakan pendukung hukuman mati dan menentang homoseksualitas serta warisan yang sama untuk pria dan wanita. Sekitar 90 persen pemilih muda berusia 18 hingga 25 tahun memilih Saied, berdasarkan perkiraan oleh lembaga pemungutan suara Sigma.
Saied, pria berusia 61 tahun ini, merupakan kandidat independen tanpa pengalaman politik. Namun dia didukung partai EnNahda yang konservatif dengan janji akan memerangi korupsi dan mendukung desentralisasi.*