Hidayatullah.com — Ijtima Ulama ke-7 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang resmi ditutup telah menyepakati 12 poin bahasan aktual yang menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Di antaranya MUI membahas minuman beralkohol dan mendesak segera disahkannya RUU Larangan Minol.
MUI menyebut minuman beralkohol pada kenyataannya lebih banyak memberikan dampak merugikan daripada menguntungkan. Negara, ungkap MUI, memang mendapatkan keuntungan ekonomis dari pendapatan cukai dan pajak Minuman Beralkohol, akan tetapi dampak merugikan yang ditimbulkan Minuman Beralkohol sangat besar baik bagi pelaku yang meminum maupun bagi masyarakat umum.
“Minuman Beralkohol telah memicu lahirnya berbagai tindak pidana kriminal maupun faktor yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa manusia. Oleh karenanya, negara harus hadir untuk mengatur Minuman Beralkohol. Sesuai amanat Konstitusi, yaitu Preambule UUD 1945 bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah air Indonesia,” ungkap rilis oleh MUI.
MUI mendesak negara untuk menerbitkan regulasi mulai dari pencegahan (preventive), pengurangan resiko (preparedness), daya tanggap (response), serta upaya pemulihan (recovery) akibat Minuman Beralkohol.
Desakan tersebut, menurut MUI, berlandaskan dari Pancasila pada sila pertama Ketuhanan Yang Maa Esa, menempatkan nilai-nilai Agama menjadi sumber berpijak dalam bernegara. Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; ayat (2) menegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Juga berlandaskan ajaran agama, bahwa semua agama melarang minuman dan beralkohol. Islam dalam Al-Qur’an surat al-maidah ayat 90, dan hadis-hadis Nabi, serta kaedah ushuliyah, serta fatwa MUI, menegaskan bahwa khamar, alkohol, minuman dan makanan beralkohol adalah haram.
“Fatwa MUI No. 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol, dan Fatwa MUI No. 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman Yang Mengandung Alkohol/Etanol, menegaskan bahwa hukum alkohol, makanan dan minuman yang mengandung alkohol adalah haram, haram untuk memproduksi, mengedarkan, memperdagangkan, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, menjual dan mengkonsumsi minuman Beralkohol,” ungkap MUI.
Dari segi kesehatan, MUI menegaskan, berdasarkan UU Kesehatan bahwa alkohol termasuk kategori NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropka dan Za Adiktif lainnya. Penggunaan NAPZA menjurus pada timbulnya ketergantungan (adiktif) yaitu suatu pola maladaptive dan menimbulkan syndrome yang secara klinis serta disertai adanya kesulitan dalam berbagai fungsi individu.
Konsumsi minuman beralkohol merusak kesehaan baik fisik maupun mental. Alkohol mengancam organ tubuh seperti hati, jantung, pangkreas, saluran cerna, sampai susunan saraf pusat, bahkan berbagai kasus terus terjadi jatuhnya korban jiwa akibat mengkonsumsi minuman beralkohol.
MUI juga menyebut aspirasi masyarakat di berbagai daerah menginginkan agar minuman beralkohol dilarang karena menimbulkan gangguan kriminalitas dan banyak jatuh korban jiwa. Kebutuhan payung hukum yang tegas melarang minuman beralkohol, ujar MUI, dibutuhkan sebagai rujukan bagi daerah yang mengatur larangan minuman beralkohol di wilayahnya. Sampai saat ini kurang lebih 351 Pemda memliki Perda yang semangatnya melarang Minuman Beralkohol.
MUI pun mendesak agar dalam penyusunan RUU Larangan Minol, negara hendaknya merujuk kepada Fatwa MUI No. 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol dan Fatwa MUI No. 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol.
“RUU Larangan Minuman Beralkohol yang telah sejalan dengan Fatwa MUI No. 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol dan Fatwa MUI No. 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol agar segera disahkan menjadi UU,” pungkas MUI.*