Hidayatullah.com—Proyek moderasi beragama yang dilaksanakan ke berbagai instansi selama ini masih bermasalah dan problematik. Selama ini, moderasi hanya menyasar kepada kalangan radikal, tapi tidak menyentuh kepada kelompo liberal dan sekuler.
“Jika kelompok yang dianggap radikal mau dimoderasi, kelompok yang liberal juga mestinya sama, jadi adil, “ demikian Spesial Lecture yang disampaikan Assoc. Prof. Dr. Ugi Suharto, di Hotel Namira Surabaya, Sabtu (19/11/2022).
Dalam acara bertema “Pemikiran Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas” yang diselenggarakan oleh InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) ini, Dr Ugi menyampaikan tujuh topik dari pemikiran penting Prof. Al-Attas yaitu; Transcendent Unity of Religions (konsep kesatuan semua agama), konsep adab, worldview Islam, sekularisme, Islamization of knowledge, Bahasa Islam, dan Metafisika Al-attas.
Topik menarik dan diulas lumayan panjang adalah tentang paham TUR. Pria asal Ciamis, Jawa Barat ini menyampaikan kritik Prof. Syed M Naquib al-Attas (Prof. Al-Attas) paham TUR. Menurutnya, para menganjur teori kesatuan transenden agama-agama umumnya berdasarkan asumsi bahwa semua agama, atau agama-agama besar umat manusia, adalah agama-agama wahyu.
Padahal, hanya ada satu agama wahyu,. Risalah ajaran wahyu ini telah disampaikan oleh semua Nabi, yang diutus untuk menyampaikan pesan wahyu kepada umatnya.
“Dan bentuk terakhir dan sempurna dari agama wahyu ini sebagai agama universal adalah yang dibawa oleh Nabi terakhir (Nabi Muhammad), yang diutus untuk menyampaikan pesan wahyu tidak hanya kepada bangsanya sendiri, tetapi kepada umat manusia secara keseluruhan, “ demikian ujar mantan dosen di Universitas Buraimi, Oman ini.
Menurut penulis buku “Nafi, Isbat dan Kalam” ini, ajaran Islam mengakui adanya ‘religious plurality’ (pluralitas agama) dalam arti menerima adanya perbedaan dan permasalahan agama dalam kehidupan bermasyarakat. Namun bukan ‘religious pluralism’, yang menyamakan semua agama.
Prinsip ‘lakum dinukum waliyadin’ (bagimu agamamu) dan juga ‘la ikraha fiddin’ (tidak ada paksaan dalam beragama) menjadi kajian utama toleransi dan kerukunan beragama dalam Islam.
“Prinsip ini pada dasarnya menerima adanya perbedaan agama dari segi akidah dan keyakinan masing-masing, sementara pluralisme agama ingin me-mansuh-kan (menghapus, red) perbedaan tersebut sehingga para penganut agama tidak boleh meyakini lagi agamanya sebagai kebenaran,” ujarnya.
Karena itu, pada akhirnya pluralisme agama itulah yang mengklaim dirinya sebagai kebenaran, sedangkan klaim kebenaran agama yang sudah ada dinafikan dan tidak boleh dikemukakan di hadapan publik.
“Pluralisme agama dalam bentuknya sebagai ‘civil religion’ yang sekular memang bercita-cita menjadi penegak keadilan kepada agama-agama yang ada. Tapi keliru” tambahnya.
Oleh sebab itu, menurutnya, mestinya paham demikian ini yang juga harus ikut dimoderasi.*/Agus D