Hidayatullah.com–Desa Nabi Saleh di Tepi Barat menerima hukuman akibat sebuah video yang memperlihatkan kekejaman penjajah Zionis beredar luas. Yakni, video yang memperlihatkan wanita paruh baya dan seorang anak perempuan dengan berani menghalangi serdadu Zionis yang akan menangkap seorang bocah lelaki. Serdadu Zionis yang memakai topeng dan bersenjata itu mencekik dan menjepit bocah lelaki itu di batu besar pada 28 Agustus lalu. Terlihat lengan bocah lelaki itu dibalut perban.
Bocah lelaki itu bernama Abu Yazan Tamimi (10), putra bungsu dari Bassem Tamimi. Para wanita yang membelanya adalah ibunya, Nariman Tamimi, dan kakak perempuannya, Ahed Tamimi, serta bibinya, Manal Tamimi. Dua hari sebelum insiden tersebut, Abu Yazan Tamimi menderita patah lengan akibat penggerebekan yang dilakukan Zionis di desanya. Karena itulah, tangannya terlihat dibalut perban. [ [Video]: Aksi Heroik Gadis Palestina Gigit Lengan Tentara IDF Membuat Zionis Lari]
Ketika publik dunia mengecam tindakan serdadu Zionis, para politisi Zionis justru membela tindakan para serdadunya. Bahkan beberapa orang berpendapat bahwa si serdadu seharusnya bertindak lebih kejam lagi. Miri Regev, Menteri Kebudayaan Zionis, mengatakan bahwa si serdadu seharusnya menembak para penyelamat bocah lelaki yang tak bersenjata itu.
Sejak insiden tersebut, tentara Zionis telah menangkap sejumlah pemuda dari desa Nabi Saleh dan membuat mereka menjalani masa interogasi yang panjang, serta memperlakukan mereka dengan kejam. Kini ada sekitar 17 orang yang dijebloskan ke penjara, termasuk Waed Tamimi (19), abang Abu Yazan Tamimi. Waed ditangkap bersama sepupunya Anan (20) dalam penggerebekan malam 19 Oktober lalu di rumah orangtua Waed, Nariman dan Bassem Tamimi.
Di malam yang sama, tentara Zionis juga menangkap empat pemuda lainnya, termasuk Louay Tamimi. Adik Louay, Mustafa, tewas pada Desember 2011 saat serdadu Zionis menembakkan tabung gas airmata berkecepatan tinggi ke kepalanya dari jarak satu meter. Bassem Tamimi, yang sedang kuliah di Amerika Serikat saat anaknya ditangkap, telah ditahan belasan kali. Ia juga disiksa dan menghabiskan tiga tahun di penjara tanpa kepastian hukum.
Melawan Tanpa Senjata
Bassem dan sepupunya Naji, ayahanda Anan, dikenal sebagai pembela HAM oleh Uni Eropa. Keduanya mengkoordinir aktivitas perlawanan tanpa senjata desa mereka. Penduduk Nabi Saleh tak tinggal diam menyaksikan para pemukim ilegal Yahudi merampas tanah dan menutup saluran air bersih mereka. Mereka melakukan demonstrasi pekanan dengan penuh semangat selama enam tahun karena menuntut diakhirinya penjajahan.
Dalam perspektif penjajah Zionis, warga desa Nabi Saleh telah melanggar Peraturan Militer 101 ‘Israel’, yang mengkriminalisasi keikutsertaan dalam aksi protes, rapat dan berjaga-jaga, mengibarkan bendera, serta menyebarkan muatan politik. Upaya-upaya untuk memengaruhi pendapat publik dilarang karena dianggap sebagai “hasutan politik”. Bagi penduduk Nabi Saleh, peraturan militer seperti itu sangat tidak adil. Dalam persidangannya pada Juni 2011 karena mengorganisir demonstrasi, Bassem Tamimi mengatakan pada pengadilan:
“Kalian berupaya menempatkan saya di bawah hukum militer yang tak punya legitimasi apapun; hukum yang ditetapkan oleh otoritas yang tidak saya pilih dan tidak mewakili saya. Saya dituduh mengorganisir demonstrasi sipil yang damai dan tak memiliki aspek militer, serta sah berdasarkan hukum internasional. Kami berhak untuk mengekspresikan penolakan atas penjajahan dalam segala bentuknya; memperjuangkan kemerdekaan kami dan martabat sebagai bangsa, mencari keadilan dan perdamaian di tanah air kami demi melindungi anak-anak kami, serta menjamin masa depan mereka,” dikutip Sahabat Al-Aqsha dari Electronic Intifada.
Warga ‘Israel’ dan para relawan internasional seringkali ikut serta dalam demonstrasi mingguan di Nabi Saleh, serta menghadapi para serdadu Zionis yang melemparkan granat kejut, gas airmata, menyemprotkan air berbau busuk, menembakkan peluru baja berlapis karet dan amunisi tajam. Dari tahun ke tahun, sebanyak 200 warga desa dari seluruh populasi yang hanya lebih dari 500 orang ditahan penjajah. Seluruhnya dari marga Tamimi. Keluarga besar Tamimi di desa Nabi Saleh memang terkenal pemberani, terutama keluarga Bassem.
Dinyatakan Bersalah
Pada aksi demo 28 Agustus lalu, tentara Zionis menangkap keponakan Bassem, Mahmoud (19). Vittorio Fera, seorang relawan Itali juga turut ditangkap. Namun, pengadilan sipil Zionis dengan cepat membebaskan Fera dari tuntutan melempar batu dan tuduhan lainnya. Mahmoud –yang menghadapi tuntutan serupa di sistem pengadilan militer Zionis– harus mendekam berbulan-bulan di penjara Ofer, Tepi Barat, tanpa diadili.

Bagi warga Palestina termasuk anak-anak, tak ada asas praduga tak bersalah dan sedikit kemungkinan dibebaskan dari tuduhan. Tak heran, mereka yang diputus bersalah di pengadilan militer mencapai 99.74 persen. Sejumlah tawanan juga dijatuhi penahanan administratif, yakni para tawanan akan dipenjara tanpa dakwaan atau pengadilan, dan tanpa diberitahu bukti apa yang membuat penjajah Zionis menawan mereka.
Tujuh belas pemuda dari Nabi Saleh mendekam di penjara-penjara militer –dimana keluarga mereka tidak bisa mengunjungi mereka atau bahkan sekadar mengirimi mereka pakaian musim dingin– karena seseorang dari desa tersebut diintimidasi untuk mengatakan siapa yang mereka lihat melempar batu.
Dua pemuda yang ditahan pada 9 Desember kini telah dibebaskan, tapi keluarga-keluarga di Nabi Saleh khawatir akan ada penangkapan lagi. Penjajah Zionis muncul dengan tekad akan melakukan segalanya demi bisa menjatuhkan hukuman kolektif terhadap desa yang menjadi simbol perlawanan penjajahan militer yang hampir setengah abad itu.
Sementara itu, Bassem Tamimi heran mengapa masyarakat internasional tak mengambil langkah serius terhadap penindasan tanpa henti Zionis. “Diamnya dunia lebih buruk dari apa yang dilakukan para penjajah,” katanya. “Kami tidak bisa memahami kebisuan ini, karena perjuangan kami untuk kemanusiaan dan dunia seharusnya peduli tentang hak asasi manusia.” *