Hidayatullah.com—Pagi itu, Ahad, (28/3), cuaca sangat cerah. Ribuan orang berjejal di sebuah taman. Layaknya anak-anak metropolis, berpakaian nge-pop ala ABG. Sebagian bahkan ada yang berbikini dan hampir menonjolkan bentuk tubuhnya. Jangan keliru, mereka bukan bule, mereka adalah anak-anak asli Indonesia tepatnya buruh migran asal Indonesia (BMI) yang sedang mengadu nasib di Hong Kong. Di Victoria Park, Causeway Bay inilah mereka sering bertemu.
Selain karena tempatnya luas, sekitar 10 hektar, tempat ini tersedia kolam renang, air mancur, play ground, tempat olahraga basket, sepak bola juga tenis. Jangan heran jika di tempat ini, tiap Ahad pagi, dipenuhi wajah dan obrolan berlogat Indonesia. Selama sepekan sekali, ribuan anak-anak Indonesia yang bekerja di Hong Kong berkumpul jadi satu. Mereka bertemu seolah untuk memuaskan dahaga kerinduan dengan teman-teman yang lain. Entah karena haus hiburan, pengaruh sekulisme Hong Kong atau tempat pelampiasan karena jauh dari tempat tinggal mereka di Indonesia.
Ada banyak cara warga BMI mengungkapkan hasrat mereka ketika berada jauh dari tempat tinggal mereka. Salah satu diantaranya adalah konkow-kongkow, ngobrol ngalor-ngidul, bahkan tak jarang berujung maksiat.
Sementara itu, tak beberapa jauh dari mereka, nampak pemandangan sangat kontras. Sekelompok wanita berjilbab rapi sedang berkerumun. Mereka khusu’ mendengar pengajian dan menimba ilmu agama.
Satu cara yang terakhir inilah yang dilakukan grup perpustakaan Birrul Walidain. Perpustakaan ini beranggotakan sekumpulan BMI/TKW yang berjuang keras demi menjaga akidahnya agar tidak luntur oleh gerusan budaya westernisasi Hong Kong. Perpustakaan yang di ketuai oleh Nuryati ini memfokuskan dakwah pada peminjaman buku-buku keislaman dan kristologi.
Nuryati mengaku, dirinya dibantu beberapa rekan sesama TKW bukanlah pantas disebut ustadzah. Selain karena di sini ia hanya sebagai pekerja, ia mengaku jujur, ilmu yang dimiliki tak cukup untuk berdakwah. Meski demikian, melihat banyaknya BMI/TKW yang terpengaruh budaya Hong Kong, ia memiliki niat dan semangat untuk berdakwah semampunya. Karena itulah lahir taman bacaan Islam yang di kelola bersama rekan-rekannya.
“Dakwah melalui peminjaman buku di nilai cukup tepat bagi kondisi BMI Hong Kong, karena tidak ada unsur pemaksaan terhadap mereka untuk belajar Islam, “ ujarnya kepada hidayatullah.com saat menemuinya di Victoria Park.
Dalam berdakwah, Nuryati mengatakan lebih memfokuskan BMI yang masih belum berjilbab. Tentu saja, untuk mengajak ke jalan Islam secara pelan-pelan.
Alasan lain berdakwah melalui taman bacaan, karena buku bisa dipulang dibaca di sela kesibukan mereka bekerja.
Nuryati merasa miris terhadap kondisi BMI yang telah terkontaminasi budaya Hong Kong yang menyebabkan banyak muslimah kehilangan izzah-nya. Namun sejak hadirnya Birrul, menurut wanita asal Wonosobo ini, telah banyak BMI yang terbuka dan mau memakai jilbab. Tentu saja, setelah banyak mempelajari buku-buku yang di sediakan Birrul Waliddain.
Di tanya tentang cara kerja Birrul Walidain, Nuryati mengatakan, perpustakaan ini melayani peminjaman buku hanya di hari libur. Khususnya hari Ahad. Tentu saja ada alasannya. Karena di hari Senin-Sabtu semua pengurusnya harus kerja untuk majikan masing-masing, mulai jam 10 pagi sampai 5 sore. Nah, sisa satu dalam seminggu itulah yang dimanfaatkan pengurus Birrul berdakwah melalui buku.
Berkantor di bawah Langit
Menurut Sekertaris Birrul Walidain, Siti Muslimah rata-rata buku yang di pinjamkan tidak dibebankan biaya. Kecuali infaq seikhlasnya sebagai pengganti buku bila ada kerusakan. Namun demikian, sebagian hasil infaq itu disalurkan ke beberapa yayasan pendidikan yang ada di Indonesia.
Menariknya, tak sebagaimana perpustakaan umumnya di dunia. Siti Muslimah lebih suka menyebut perpustakaannya itu bersekretariat atap langit dan bermarkas di atas bumi Allah.
Karena itulah, buku-bukunya akan dibeber di atas tikar dan sajadah setiap hari Ahad pagi sampe sore. Saat itulah para penggemar dan pembacanya memanfaatkan buku-buku ini untuk mengenyam ilmu pengetahuan dan Islam.
Meski demikian, menurut wanita asal Ponorogo ini, hambatan tidak memili kantor ini tidak mengghalanginya untuk menyebarkan ilmu dan menyebarkan Islam pada sesama BMI.
“Kami tidak ingin akidah kami tenggelam oleh budaya yang jauh dari nilai Islam, makanya kami memilih mengisi liburan dengan berorganisasi, “ ujar Muslimah kepada hidayatullah.com. ”Walau hanya dengan meminjamkan buku, semoga ini bisa menjadi amalan kami dalam mencari ridho Allah,” ujarnya lebih jauh.
Menghadapi Rintangan
Perpustakaan Birrul Walidain berdiri pada November 2006. Di dirikan pertama kali oleh seorang pekerja migran bernama Linda, asal Cilacap Jawa Tengah. Awalnya, kehadiran perpustakaan ini atas kepeduliannya terhadap pemurtadan banyak menimpa BWI/TKW di Hong Kong.
Pemandangan ini tak urung membuat Linda mencari akal hingga lahirnya Birrul Walidain. Untuk menopang buku-buku dan mekanisme jalannya perpustakaan ini, ia bekerjasama dengan sebuah yayasan di Jakarta yang di ketuai oleh seorang kritolog bernama Insan LS Mokoginto, dan kristolog muda asal Surabaya, M. Masyhud.
Saat memulai memperkenalkan diri keberadaannya, pengurus Birrul harus berkeliling Victoria Park untuk meminjamkan buku-buku-nya. Kini, mereka tak lagi harus berkeliling. Karena sekarang sudah mempunyai banyak peminjam tetap, kini perpustakaan yang semula hanya memiliki koleksi 200 judul buku ini telah memiliki tenda tetap, sebagai base-camp mangkal di Victoria Park.
Dengan lebih dari 1200 koleksi judul buku, para peminjam, kini cukup mendatangi tenda Birrul untuk meminjam atau mengembalikan buku-bukunya.
Untuk memudahkan pekerjaan perpustakaan, selain membuat tenda, para pengurus harus membeli sebuah koper besar. Agar semua bukunya aman, setelah jam perpustakaan tutup, semua buku dimasukkan koper dan selanjutnya disimpan di sebuah flat tempat penyewaan barang di sebuah ruko. Selanjutnya, buku-buku itu akan diambil lagi saat waktu libur tiba.
Selain aktif melayani peminjaman buku, kegiatan Birrul Walidain meningkat. Yakni melayani jasa pemesanan buku-buku dari Indonesia, mengadakann kajian dan pengajian. Beberapa ustadz asal Indonesia pernah mereka datangkan. Diantaranya; Ustad Insan LS Mokoginta, Ustad Mujahid Nur islami dari DDII Depok, ustad Masyud dari Surabaya, Ust Mundzir dari Jakarta dan Sakti Ari Seno, mantan gitaris SheillaOn7, yang kini lebih menekuni aktivitas dakwah daripada menyanyi.
Sebagai grup dakwal kecil, Birrul Walidain tahu diri, bagaimana peliknya berdakwah di negara orang. Dukungan dana dan moral tentu dibutuhkan. Sayangnya, hingga saat ini, tak satupun wakil pemerintah Indonesia pernah menjenguk mereka.
Menurut catatan, hingga saat ini, tercatat lebih dari 100 ribu TKW asal Indonesia bekerja di Hong Kong. Umumnya mereka, mayoritas perempuan.
Sebagai kota administrasi khusus dan besar di RRC, dampak kemewahan dengan segala keglamauran, bukan masalah kecil bagi pekerja migran asal Indonesia. Kebebasan pergaulan, mudahnya akses internet, maraknya fashion yang menggoda, membuat mereka jatuh bangun mempertahankan keimanan. Gaya hidup metropolis dan materialisme masyarakat Hong Kong, mau tak mau, ikut menjangkiti buruh migran.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Akibatnya, bayak pula muslimah Indonesia yang terkikis jati dirinya, hanyut dalam budaya dan gaya hidup Hong Kong. Ibaratnya, jika menjadi baik atau buruk, semua fasilitas telah tersedia.
Ujian dan rintangan seperti itu yang nampaknya akan terus menggelayuti dakwah Birrul Walidain. Kenyataan ini diakui Nuryati yang mengaku betapa berat dirasakan saat mengelola lembaga dakwah seperti perpustakaan Islam ini. Kendala ini, terutama yang berhubungan dengan kondisi BMI yang kadangkala masih minim kesadaran dalam mempelajari Islam. Menurut gadis asal Wonosobo Jawa tengah ini, dibutuhkan kesabaran dalam mengajak BMI ke jalan Allah.
“Saya berharap dapat merangkul lebih banyak lagi BMI yang belum berkerudung untuk bergabung bersama kami kemudian mengkaji ilmu agama, “ kata Nuryati menutup pembicaraan.
Nuryati menuturkan sangat berharap pemerintah, para ulama dan kaum Muslim yang berada di Indonesia ikut memikirkan masalah buruh migran ini.
Semoga perjuangan rekan-rekan BMI Hong Kong di permudah oleh Allah, hingga suburlah perkembangan Islam di Negara yang di juluki sebagai ‘Negara beton’ itu. [anna, koresponden Hidayatullah.com di Hong Kong/hidayatullah.com]