Sebuah studi tahun 2016 juga menunjukkan, sebanyak 1/5 dari semua diskriminasi Islamofobia di Prancis terjadi di tempat kerja
Hidayatullah.com | Natasa Jevtovic, 38 tahun, meninggalkan Paris menuju London pada tahun 2020. Dia merasa akan mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik sebagai seorang Muslimah muda. Dan dugaan itu ternyata benar.
Sejak pindah ke London, karirnya berkembang pesat. Dia beberapa kali mendapat promosi jabatan dan sekarang berpenghasilan dua kali lipat daripada ketika di Paris.
Jevtovic percaya, hal itu tidak akan terjadi jika tetap tinggal di Prancis. Sebabnya, ia seringkali menjadi sasaran aksi Islamofobia saat bekerja di sebuah bank Prancis terkemuka.
“Orang-orang sering menggunakan istilah rasis. Saya berusaha menghentikannya, kemudian teman-teman kerja mengabaikan saya,” Jevtovic berkisah kepada Bloomberg News, Rabu, (15/02/2023).
Manajernya bahkan mengancam posisinya di perusahaan, karena Jevtovic dianggap telah menuduh rekan-rekannya melakukan diskriminasi.
Islamofobia Institusional
Natasa Jevtovic adalah bagian dari gelombang Muslim terpelajar yang tidak lagi merasa nyaman di Prancis, terutama di tempat kerja. Mereka kemudian menyalurkan keahliannya ke tempat lain yang dirasa lebih menghargai potensi dan eksistensinya.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Profesor Olivier Esteves dari Universitas Lille, mengungkapkan bahwa sejumlah Muslim –mayoritas karyawan berpendidikan tinggi– meninggalkan Prancis. Hal ini turut berkontribusi pada semakin sulitnya kondisi ekonomi terbesar kedua di zona euro itu.
Esteves menyurvei 1.074 Muslim yang meninggalkan Prancis. Lebih dari 2/3 mengatakan mereka pindah agar bisa menjalankan agama dengan lebih bebas, sementara 70% tak ingin lagi mengalami insiden rasisme dan diskriminasi.
Menurut Esteves , banyak di antara mereka adalah kaum Muslim profesional berbakat dengan keterampilan yang sebenarnya amat dibutuhkan. Namun mereka merasa muak dan akhirnya memilih pindah.
“Ironis, (dulu) Prancis membiayai pendidikan orang-orang ini, namun kemudian kehilangan bakat yang sangat terampil itu karena Islamofobia institusional yang merajalela,” kata Esteves .
Bloomberg News mewawancarai profesional Muslim yang telah pindah ke negara-negara seperti Inggris, Kanada, AS, dan Dubai. Beberapa mengungkapkan keinginan agar karirnya lebih baik. Dan semua tidak lagi ingin merasakan tekanan dan menyembunyikan keyakinan mereka. Salah satu masalah yang menjadi perhatian khusus bagi wanita adalah tentang hijab.
Sebagian besar narasumber tidak ingin menggunakan nama asli, karena takut hal itu dapat merusak karier mereka atau menimbulkan pelecehan online.
Pengakuan adanya diskriminasi di tempat kerja menguatkan temuan Esteves. Sebuah studi tahun 2016 juga menunjukkan, sebanyak 1/5 dari semua diskriminasi Islamofobia di Prancis terjadi di tempat kerja. Calon pekerja yang punya nama identik dengan Arab, peluangnya 32% lebih kecil untuk diterima bekerja. Ini menurut laporan pemerintah tahun 2021.
Seorang lulusan sekolah bisnis dengan nama Arab harus berjuang bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan wawancara ketika melamar pekerjaan sebagai konsultan di Paris. Istrinya, yang mengenakan hijab, harus wawancara berkali-kali untuk posisi pemasaran, dan tidak pernah terdengar kabar lagi setelah putaran pertama seleksi.
Suami-istri itu kemudian pindah ke London pada Oktober 2020. Dalam beberapa bulan, si istri bisa bekerja di sebuah perusahaan pemasaran dan suaminya bekerja di Deloitte.
“Ada kebangkitan Islamofobia yang sangat jelas di Prancis, tidak seperti tempat lain di Eropa,” kata Karim Ridwan, seorang aktivis lembaga nirlaba Collective for Countering Islamophobia in Europe, yang melacak berbagai insiden terhadap Muslim. “Kawasan Anglo Saxon jauh lebih ramah.”
Di Inggris, misalnya, ruang multiagama sering terlihat di mal, rumah sakit, dan lingkungan perusahaan, termasuk London Stock Exchange dan banyak bank. Pada era 1980-an, hal seperti itu juga berlaku di Prancis, tetapi sekarang jarang, kata Esteves.
Fatihah Zeghir, 44 tahun, yang tumbuh di pinggiran Paris, juga pindah ke Inggris. Sebagai asisten eksekutif sebuah perusahaan media, dia mengatakan karirnya jauh lebih sukses sejak pindah. Dia pergi satu dekade lalu dan tidak pernah ingin mengenang masa lalunya.
Ketika tinggal di Paris, dia mengaku tidak bisa menyewa apartemen atas namanya. Itulah sebabnya, dia meminta teman sekamarnya yang non-Muslim untuk menandatangani kontrak sewa untuk mereka berdua.
“Di Inggris, saya akhirnya bisa menjadi Muslim. Ini sangat melegakan,” katanya.
Para pekerja tahu bahwa mereka tidak dapat sepenuhnya lepas dari sentimen anti-Muslim di Barat. Tetapi mereka mengatakan bahwa diskriminasi lebih menonjol di Prancis, dan situasinya semakin buruk.
Pembatasan Simbol Agama
Islamofobia semakin meluas di Prancis, yang merupakan rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa. Serangan teror tahun 2015 di Paris, yang diklaim oleh ISIS, memicu permusuhan terhadap penduduk Muslim, yang kemudian dikobarkan oleh kelompok sayap kanan. Pemerintah Emmanuel Macron sejak itu mengeluarkan serangkaian kebijakan yang diklaimnya untuk mengekang “terorisme Islam radikal”, yang menurut para kritikus telah melahirkan budaya permusuhan.
Akibat kebijakan itu, sekitar 42% Muslim mengaku telah mengalami diskriminasi agama di Prancis. Demikian menurut jajak pendapat tahun 2019 yang dilakukan oleh lembaga riset Ifop.
Banyak undang-undang yang menurut umat Islam telah membatasi sebagian kebebasan beragama. Misalnya undang-undang yang diperkenalkan pada tahun 2016 yang membatasi pemakaian simbol-simbol agama yang terang-terangan —seperti hijab— di tempat kerja.
Pada 2017, pemerintah Macron mengesahkan undang-undang yang menempatkan pengangkatan imam di bawah pengawasan ketat pemerintah. Pemerintah juga menutup beberapa lembaga Muslim, seperti masjid, badan amal, dan organisasi nirlaba, termasuk Collective Against Islamophobia in France. Berbagai pihak mengatakan kebijakan semacam itu telah berkontribusi pada munculnya Islamofobia.
Media massa juga menghadirkan pandangan yang lebih negatif terhadap Muslim, kata para akademisi. Kondisi ini didukung selama kampanye presiden 2022 oleh kandidat sayap kanan, Marine Le Pen dan Eric Zemmour, yang kerap berpidato tentang “bahaya Islam”.
Ibrahim Bechrouri, seorang peneliti berusia 32 tahun, meninggalkan Paris menuju New York pada Desember 2019. Penyebabnya, para pendonor mengatakan hanya akan mengucurkan dana jika dia mengalihkan fokusnya ke radikalisasi Islam. Dia juga mengatakan, beberapa akademisi terhambat penelitiannya karena tidak mau mengangkat isu anti-Muslim sebagai topik penelitian.
Bechrouri semakin khawatir setelah melihat apartemen rekan-rekannya digerebek polisi. Ia juga mengaku dijauhi teman karena beberapa kali mengadopsi teori konspirasi anti-Muslim. Kata salah satu temannya, “Setiap Muslim berpotensi menjadi teroris.”
“Hal-hal di Prancis setelah 2015 menjadi semakin buruk, sampai pada titik di mana saya merasa tidak dapat bekerja dengan baik,” kata peneliti yang sekarang berbasis di Washington DC.
“Di AS, tentu ada tantangan, tapi setidaknya Anda bisa melakukan pekerjaan yang Anda inginkan dan mengekspresikan ide Anda dengan bebas,” ujarnya.*/Pam