Hidayatullah.com–Lelaki itu tampak serius membaca buku. Judulnya “101 Masalah Hukum Islam”. Ketika hidayatullah.com menemuinya di ruang kerjanya di Jl. Dharmahusada Selatan No. 5 siang Kamis lalu, lelaki yang tak pernah lepas memakai songkok hitam dan kaca mata itu langsung meletakkan bukunya dan mempersilakan penulis duduk.
“Ada yang bisa dibantu?” kata lelaki kelahiran Mojokerto 1943 itu ramah.
Ia tidak lain orang nomor satu di jajaran kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim. Nama lengkapnya KH. Abdussomad Bukhori. Tapi, oleh pengurus MUI, lelaki murah senyum ini lebih akrab disapa kiai Somad. MUI sendiri tempat berkumpulnya seluruh ormas Islam di Jatim. Ada NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis, FPI, Hidayatullah, HTI, dan lainnya.
Ruangan kiai Somad sangat sederhana. Luasnya kira-kira 4 x 4 m persegi. Tak ada perabotan berharga ataupun makanan. Hanya ada dua meja dan beberapa unit lemari. Satu meja miliknya yang dilapisi kaca hitam. Sedangkan lemarinya berisi buku-buku dan berkas-berkas penting. Ruangan itu juga dilengkapi alat pendingin (AC) yang terlihat kusam, tapi cukup membuat dingin suhu.
“Saya sudah 25 tahun lebih aktif di MUI Jatim,” papar ayah empat anak ini. Aktifnya kiai Somad sejak awal berdirinya MUI Jatim, yakni sekitar tahun 1975. Tugasnya berawal sebagai Sekretaris MUI. “Menjabat sebagai sekretaris MUI saja sudah 20 tahun lebih,” paparnya.
Di sekretaris ia sudah bergonta-ganti bidang. Bermula dari sekretaris bidang fatwa MUI, sekretaris bidang pendidikan, sekretaris bidang hubungan dengan pemerintah, dan sekretaris bidang kemasyarakatan.
Kiai Somad termasuk tokoh yang dekat dengan pemerintah. Sebab, saat itu ia juga menjabat Kepala Sub Bidang Keagamaan di Provinsi Jawa Timur. Bahkan, alumni Pesantren Darul Ulum Jombang ini sudah 15 tahun bertugas membina kerohanian di provinsi yang kini dipimpin Gubernur Soekarwo ini.
Usai pensiun, kiai Somad lalu total mengabdi di MUI Jatim. Selain mengisi masa tuanya, ia juga ingin mengabdikan dirinya untuk umat dan Islam. “Saya bertugas di MUI Jatim ini karena panggilan hati. Saya ingin mengabdi kepada Islam lewat lembaga ini,” jelasnya.
Tahun 2005, kiai Somad lalu terpilih sebagai Ketua Umum MUI Jatim. Kepemimpinanya dianggap cukup berhasil. Sosoknya yang egaliter, ramah, dan akomodatif, dapat diterima berbagai ormas Islam. Karena itu, tahun 2010, pada Muktamar MUI Jatim di Islamic Center Jatim, ia dipilih kembali sebagai Ketum periode 2010-2015.
“Iya, itu kan permintaan teman-teman. Sebenarnya saya sudah tua dan masih banyak yang lain yang muda dan lebih bagus dari saya,” ujarnya merendah.
Menjadi pengurus MUI, kata kiai Somad jangan berharap honor. Pasalnya, lembaganya itu bukan perusahaan dan para pengurusnya tidak mendapat gaji tetap. “Kita memang dapat dana dari provinsi. Tapi ya cuma sedikit, hanya untuk administrasi dan operasional lainnya,” paparnya.
Ia sendiri selama ini hanya dapat uang transport sehari-hari. Atau paling tidak, ia dapat tambahan rezeki jika dapat undangan rapat atau mengisi seminar. “Kalau honor tetap pastinya nggak ada,” jelasnya.
Harus Arif
Menjadi ketua MUI dalam kurun waktu lama membuat kiai Somad matang asam garam problem umat Islam. Sebab, ia harus mengatur dan mengkoordinasi berbagai organisasi Islam dengan berbagai corak dan karakter.
“Umat Islam ini banyak jenisnya. Ada yang sangat lunak, lunak, keras, dan sangat keras,” ujarnya. Karena itu, menghadapinya perlu kearifan dan keluasan wawasan.
Tak jarang, katanya, jika dalam rapat ataupun seminar, ada saja kelompok yang keras sehingga memerlukan kesabaran. Kendati beragam, namun katanya, itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan demikian, bisa saling mengisi.
“Kadang-kadang, kita juga butuh kelompok yang tegas dan berani. Tergantung topik dan konteksnya,” jelasnya. Meski berbagai corak, tapi selalu meminta umat Islam agar tidak saling menyalahkan. Tinggal diberikan job yang sesuai dengan karakteristiknya.
Tapi, suatu saat, kiai Somad juga pernah direpotkan seseorang yang terlalu lunak dan terkesan asal-asalan. Orang tersebut cukup berpengaruh dan memiliki pemahaman agama yang kuat. Ketika itu, MUI sedang gencar-gencarnya sosialisasi penutupan prostitusi di Jatim. Bukannya mendukung, orang tersebut justru menggembosi.
“Dia bilang, urusan prostitusi enggak perlu diurusi. Pertanggungjawabannya mereka sendiri di akhirat,” katanya kiai Somad menirukan. Orang seperti itu yang menurutnya harus dibina MUI.
Meski jadi Ketum MUI Jatim, bukan berarti selalu disanjung dan dapat karangan bunga. Kiai Somad bahkan kerap kali dapat dapat pesan pendek (SMS) tidak mengenakkan.
“Sampeyan itu ngapain aja di MUI,” katanya seolah merendahkan. Bahkan imbuhnya lagi, tak jarang telepon masuk ke kantor dan marah-marah. Katanya, MUI kerjanya hanya menyesat-nyesatkan saja dan perkataan kotor lainnya.
Meski cobaan terus datang, tapi kiai Somad tetap sabar menakhodai MUI Jatim.*