KERTAS empat halaman berukuran A4 itu dibagi-bagikan kepada peserta. Kertas itu bertuliskan artikel berjudul “Rhoma Irama Alternatif dan Keniscayaan.” Bisa ditebak, isinya puja dan puji kepada penyanyi dangdut tersebut. Ia dinilai layak menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Tak berapa lama setelah kertas empat halaman itu dibagikan —sebagian masih teronggok di meja deretan depan— seorang laki-laki berjenggot berbisik setengah keras kepada pimpinan rapat, “Tak lama lagi Bang Haji akan tiba. Beliau sedang dalam perjalanan menuju sini. Sudah dekat!”
Tentu saja Bang Haji yang dimaksudkan adalah Rhoma Irama, calon presiden yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Awalnya, menurut pengakuan Rhoma, rapat ini tak masuk dalam skedul kegiatannya. Namun, karena ia merasa rapat bertajuk Musyawarah Kepemimpinan Nasional ini penting, ia pun membelokkan mobilnya menuju AQL Islamic Center, jalan Tebet Utara 1 nomor 40, Jakarta Selatan, tempat rapat ini berlangsung.
Rapat malam itu, Senin (14/04/2014), telah dimulai sejak sehabis shalat magrib. Ruang berukuran sekitar 100 meter persegi itu hampir penuh diisi peserta rapat. Sejumlah tokoh umat hadir, di antaranya KH Cholil Ridwan (Ketua MUI), KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i (ulama Betawi), Muhammad al-Khathath (Sekjen Forum Umat Islam), Dr Adian Husaini (tokoh MIUMI), Zaitun Rasmin, LC (pimpinan umum Wahdah Islamiyah), Abu Jibril (Wakil Amir Majelis Mujahiddin), Habib Muchsin Al-Atas (Ketua Umum FPI), Muchdi Purwoprandjono (mantan Danjen Kopassus), dan MS Ka’ban (Ketua Umum Partai Bulan Bintang). Dua nama terakhir datang agak terlambat.
Rhoma Irama, penyanyi yang pernah tenar dengan lagu Tung Keripit ini tiba beberapa saat usai shalat Isya. Meskipun ia mengenakan sepatu kulit, namun langkah kakinya tak terdengar ketika memasuki ruangan itu. Maklum, lantai ruangan itu dibalut karpet merah tebal. Sepatu jenis apa pun tak akan mampu menimbulkan bunyi tak tuk tak tuk.
Lagi pula, lantai ruangan itu memang tak lazim diinjak oleh sepatu. Sebab, lantai itu kerap dipakai tempat sujud. Seperti halnya malam itu, para wanita peserta rapat menunaikan shalat Isya di ruangan itu. Sedang para lelaki di luar ruangan yang juga berkarpet tebal.
Semua peserta rapat, termasuk para tokoh dan ulama, melepas sepatunya ketika hendak memasuki ruangan ini. Tapi Rhoma tidak. Sepatu hitam itu tetap membalut kakinya. Ia melangkah pelan, mengucapkan salam, menebarkan senyum, lalu menuju bangku paling depan. Ia duduk di samping Cholil Ridwan, menghadap ke arah peserta rapat.
Ketika menyadari kekeliruannya, Rhoma tetap tak melepas sepatunya. Ia hanya menyampaikan permintaan maaf kepada peserta rapat karena tak tahu bahwa sepatu harus dilepas ketika memasuki ruangan itu. Lagi pula, tak ada yang mempermasalahkan kekeliruan itu. Rapat terus berjalan tanpa ada yang menyinggung soal sepatu.
Pertemuan selama empat jam tersebut memang bukan panggung yang disediakan khusus untuk Rhoma. Pertemuan itu, kata Bachtiar Nasir, sang tuan rumah sekaligus Sekjen MIUMI, bertujuan mendesak partai-partai Islam yang baru saja berlaga di ajang pemilu legislatif beberapa waktu lalu, mau bersatu dalam pemilu presiden mendatang.
”Pertemuan mendadak ini digagas oleh sejumlah tokoh Islam yang gelisah melihat kondisi umat yang terpecah belah,” tutur Bachtiar Nasir.
Rhoma, sebagaimana peserta yang lain, diberi kesempatan berbicara. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk mengabarkan rasa optimisnya bahwa partai-partai Islam mau berkoalisi, sebagaimana cita-cita pertemuan ini.
Beberapa tokoh partai yang ia temui, aku Rhoma, juga sepakat mendukung cita-cita ini. Tokoh-tokoh tersebut, di antaranya, Hatta Radjasa (Ketua Umum Partai Amanat Nasional), Hidayat Nurwahid (anggota majelis syuro Partai Keadilan Sejahtera), serta Muhaimin Iskandar (ketua umum partai yang mengusungnya menjadi calon preside, PKB). Dalam waktu dekat, Rhoma juga mengagendakan bertemu Suryadharma Ali (ketua umum Partai Persatuan Pembangunan) untuk meminta dukungan serupa.
Dalam pertemuan itu, beberapa kali Rhoma menyebut kalimat izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum Muslim) sebagai tujuan dari apa yang ia perjuangkan. Kalimat itu rupanya menggelitik Cholil Ridwan yang duduk di sampingnya untuk bertanya, “Apa komitmen Anda pada Islam jika nanti Anda terpilih menjadi presiden?”
Rhoma tersenyum, lalu menjawab, “Komitmen saya dalam berbangsa dan bernegara ini sudah saya tuangkan semua dalam lirik-lirik lagu saya.” Gelak tawa langsung terdengar memenuhi ruangan.
”Anda mau bicara soal apa. Soal ukhuwah Islamiyah, Anda silahkan dengarkan lagi (berjudul) “Bersatulah”. Soal pluralisme, silahkan dengar lagu “Kita Adalah Satu”. Soal pemberantasan korupsi, silahkan dengan lagu “Indonesia”. Anda mau dengar apa soal kebangsaan ini. Semua sudah saya tuangkan dalam lirik lagu saya. Itulah visi dan misi saya sejak lama.”
Lagi-lagi Cholil Ridwan merasa penasaran. Ia sedikit menyambar microfon yang ada di tangan Rhoma, lalu bertanya, ”Bagaimana tentang pelaksanaan syariat Islam … ada lagunya nggak?”
Tawa hadirin pun kembali meledak. Sebagian peserta yang duduk di belakang menimpali, ”Kalau nggak ada, tolong ciptakan lagunya Bang Haji.”
Setelah itu Rhoma pamit meninggalkan rapat lebih dulu kepada peserta rapat. Tentu saja, masih dengan sepatu di kakinya.
Mungkinkah partai-partai Islam bisa bersatu sebagaimana dirasakan oleh Rhoma? Muchdi Purwoprandjono, tokoh PPP yang pernah akrab dengan Prabowo Subianto (salah seorang calon presiden), membantahnya.”Semua partai sudah punya calonnya sendiri-sendiri,” kata Muchdi yang duduk hanya berselang satu bangku di samping Abu Jibril.
Lalu ia menjelaskan bahwa PAN akan mengusung Hatta Rajasa sebagai calon presidennya. Sedang PPP telah pecah. Ketua Umumnya merapat ke Prabowo, sedang sebagian besar pimpinan wilayah menolak. Cak Imin –panggilan akrab Muhaimin Iskandar– malah merapat ke PDIP. Adapun PKS, kata Muchdi, besar kemungkinan merapat ke Abu Rizal Bakrie.
Jadi, menurut Muchdi, tak mungkin lagi partai-partai Islam itu akan bersatu. Mereka telah memiliki agenda politiknya masing-masing. Apa yang mereka ungkapkan kepada roma, hanyalah basa basi politik.
Jika benar dugaan Muchdi seperti itu maka mungkinkah umat Islam di negeri ini telah keliru menitipkan suaranya?
Dan, jika kekeliruan itu benar maka sayang sekali bila tak segera kita perbaiki sebagaimana Rhoma yang sadar akan kekeliruannya mengenakan sepatu di dalam ruang rapat, namun tak segera mencopotnya dan menaruhnya di luar.*