JUMAT sore, 16 Oktober 2015. Para anggota Tim Ekspedisi BMH melingkar di depan kantornya, Kalibata Office Park, nomor 21 blok H, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Direktur Operasional I BMH Pusat, M Chofadz melepas mereka dengan doa.
“Tujuan kita bukan sampai ke gunung, tapi semoga kita kembali ke Jakarta dengan kondisi yang lebih sehat lagi,” Firjun Zaenal, Manager SDM BMH Pusat, selaku pimpinan rombongan mengingatkan anggotanya.
Sekitar pukul 17.30 WIB, tim sudah bergerak ke Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat dengan mikrolet. Usai shalat Maghrib jamak Isya di mushalla stasiun, kami meninggalkan Ibukota. Kereta Api Serayu Malam melaju membawa para petualang. Di atas gerbong 1 kelas ekonomi, rupanya banyak rombongan calon pendaki lain. Tampak bagasi kereta dipenuhi tas-tas gunung berbagai ukuran.
Esok pagi, Sabtu sekitar pukul 8, Serayu Malam tiba di Stasiun Purwokerto, Jawa Tengah. Semua kelompok pendaki turun di stasiun terdekat dengan Dieng jika dari Jakarta ini. Meski tak semua satu tujuan dengan kami, Gunung Prau, Dieng.
Ngeteng
Dua tahun ini, Tim Ekspedisi BMH Pusat rutin melakukan pendakian gunung. Di antaranya bertujuan meningkatkan kekompakan karyawan demi menunjang kinerja kantor. Pendakian pertama ke Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat, berlangsung pada September 2014. Mendaki Prau adalah agenda kedua.
Dari Stasiun Purwokerto, 12 petualang itu –termasuk diriku– bergeser ke Terminal Purwokerto dengan dua mobil angkutan kota 144. Sejak awal kami memang berniat ngeteng alias melakukan perjalanan ala backpacker. Biayanya lebih murah.
Setibanya di terminal, sejumlah karnet dan calo menyambut kami, menawari jasa angkutan. Sambil rehat, makan-minum, ganti pakaian, MCK, dan sebagainya, kami melakukan tawar-menawar harga jasa transportasi.
Dipilihlah sebuah mini bus yang langsung ke Dieng. Harganya terjangkau; jika dibagi 12, hanya Rp 50 ribu perorang dengan jarak tempuh ratusan kilometer. Sekitar pukul 09.25 WIB, bus ramping itu berangkat.
Dieng berada di dataran tinggi Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Perjalanan ke sini kami tempuh sekitar 3,5 jam, melintasi Kabupaten Banyumas dan Banjarnegara. Begitu memasuki kawasan wisata Dieng, suasana khas pegunungan mulai terasa. Udara yang segar dan perkebunan nan indah. Bus mini yang membawa kami agak terseok menaklukkan tanjakan.
Hampir pukul 13.00 WIB, kami tiba di Jl Dieng km 24, Desa Patakbanteng, Kecamatan Kejajar. Dari sinilah terdapat salah satu Pos Pendakian Gunung Prau. Usai shalat Zhuhur jamak Ashar di masjid terdekat, kami mengatur barisan. Firjun memberi arahan singkat sekaligus memimpin doa syafar.
Pria berbadan atletis ini berpesan agar menjaga kekompakan tim, “Hilangkan semua kesombongan-kesombongan yang ada, jangan merasa hebat sendiri.”
Bismillah! Tim kami pun mulai melakukan pendakian sekitar pukul 15.26 WIB dalam catatan kamera DSLR-ku. Kujejakkan sepatu gunungku dengan mantap ke jalan semen menanjak. Kuatur irama nafas sesantai mungkin. Pendakian pertama ini membuatku agak deg-degan.
Satu, dua, tiga… Beberapa puluh meter baru terlewati. Tapi tahu-tahu kondisiku berubah drastis; nafas agak sesak, langkah jadi lemah. Beban di punggung seakan makin berat. “Hosh, hosh, hosh!” Ngos-ngosan. Rupanya begini rasanya mendaki gunung.
Akhirnya, saya dan sejumlah rekan yang bernasib serupa –dan sama-sama pendaki pemula– memilih rehat sejenak. Beberapa lainnya tetap naik. Sekian menit kemudian, kami lanjut, sebagian masih bertahan.
Dilema
Sinar matahari terasa hangat saat menyatu dengan udara dingin Patakbanteng. Sabtu (17/10/2015) siang itu, trek yang kami lewati cukup ramai dilalui para pendaki lain. Tiba di Pos I Sikut Dewo, pukul 15.47 WIB, rombongan pertama kami beristirahat sejenak. Saya ikut. Selain memang tenaga cukup terkuras, juga mesti menunggu rombongan terakhir. Tiket masuk Gunung Prau, sebagai syarat melewati Pos I, dipegang mereka.
Di pos ini saya mendapat tambahan ilmu. Kata petugas, sebaiknya jaket parasut yang kami pakai dilepas saja. “Sebab nanti keringatnya jadi dingin pas berhenti atau istirahat,” ujarnya. Saya pun teringat saran sobatku, Zainal A, yang sudah sering mendaki, “Kalau lagi jalan, pakai kaos aja, soalnya keringatan.”
Tanpa pikir panjang, saran tersebut kuturuti, diikuti beberapa kawan lain. Pendakian pun dilanjutkan. Dua pos lagi menunggu. Dari Pos I, trek pendakian mulai ekstrem. Selain agak terjal, jalurnya tak lagi semen atau bebatuan, melainkan jalan tanah nan kering. Musim kemarau berkepanjangan menyebabkan debu berhamburan saat kaki menjejak tanah.
Muncul dilema. Saat debu beterbangan, masker Buff yang melilit di leher mesti kupakai. Tapi begitu mulut dan hidung tertutup masker, pasokan oksigen terhambat. Dada pun agak sesak dan mengganggu pendakian. Tapi jika tak bermasker, debu yang terhirup.
Menariknya, di sepanjang jalur pendakian terdapat banyak kios dan pondokan untuk istirahat, bahkan tempat shalat dan MCK. Jaraknya berjauhan. Mirip rest area di jalan tol. Beberapa kios bambu itu sempat saya singgahi. Sekadar untuk melepas lelah dan mengatur nafas. Plus menyuplai energi dengan semangka dingin nan segar yang dijual Rp 1000-2000 per iris.
Dilema lainnya dalam pendakian ini, beban di punggungku begitu berat. Cukup untuk menjungkalkan tubuh langsingku jika miring ke belakang. Tas gunung berukuran 55 liter terisi penuh oleh sejumlah pakaian –termasuk jaket tebal dan baju berbendera Palestina, makanan, serta perlengkapan lain seperti headlamp.
Di bagian atas carrier merah yang kugendong itu, nangkring segulung matras hitam. Di kantong kanannya ada tripod, di sisi kirinya air minum sebotol gede.
Meski berat, semua itu mesti kubawa. Selain dibutuhkan, sebuah rencana tengah kurancang sejak sebelum berangkat. Hari pertama pendakian ini harus memberi kesan lebih bagiku dan orang lain. Semoga tercapai besok!*/Bersambung