Generasi (Gen) Z akhirnya mengambil sikap di tengah gelombang larangan smartphone di sekolah-sekolah menyoroti kerusakan psikologis akibat teknologi informasi
Hidayatullah.com | DI TENGAH kekhawatiran nasional soal kesehatan mental remaja dan pengaruh buruk media sosial, muncullah tren tak terduga dari anak-anak muda generasi digital: kembali ke ponsel lipat.
Di tengah gelombang larangan smartphone di sekolah-sekolah dan buku laris seperti The Anxious Generation karya Jonathan Haidt yang menyoroti kerusakan psikologis akibat teknologi, para Gen Z justru mengambil sikap. Mereka tak sekadar diam dan menunggu bantuan—mereka memilih untuk memutus kabel itu sendiri.
Kecanduan iPhone
Sammy (19) mendapatkan iPhone pertamanya saat berusia 12 tahun. Ia adalah yang terakhir di kelasnya yang memiliki satu, namun begitu memilikinya, ia langsung tersedot ke dunia Snapchat, Instagram, dan TikTok.
“Menggulir tanpa henti itu sangat membuat ketagihan,” katanya. Pandemi memperburuk keadaannya. “Saya menggunakannya selama berjam-jam dan tidak tidur… saat itulah saya benar-benar merasa seperti kecanduan.”
Kini mahasiswa di University of Illinois, Sammy menggunakan ponsel lipat AT&T Cingular Flex beberapa kali seminggu untuk “detoks digital”. “Itu benar-benar membuat saya tetap bersemangat saat pergi keluar,” katanya. “Dan itu menjadi bahan pembicaraan di bar.”
Meski ia masih menyimpan iPhone-nya untuk urusan penting, Sammy percaya perubahan harus dipimpin dari dalam Gen Z sendiri. “Ketika ibu saya menyuruh saya mematikan ponsel, itu menyebalkan. Kalau guru saya bilang begitu, saya hanya akan berkata, ‘Wah, kelasmu membosankan.’”
Ini juga tren mode
Bagi Alena Vandaele (20), keputusan meninggalkan iPhone bukan sekadar soal kesehatan mental—ini juga soal estetika. “Saya merasa iPhone memperpendek masa kecil saya,” katanya. “Tapi menggunakan ponsel lipat mengingatkan saya pada awal 2000-an. Itu membuat saya bernostalgia.”
Alena membeli ponsel lipat Verizon dua tahun lalu karena jenuh dengan internet. “Sekarang saya lebih menikmati dunia. Saya menyerap apa yang saya alami.”
Sebagai penggemar mode Y2K, Alena yakin ponsel lipat akan menjadi bagian dari gaya hidup Gen Z. “Kalau gaya kamu seperti awal 2000-an, ponsel lipat itu bikin penampilanmu makin sempurna.”
Semua tekanan sosial media langsung hilang
Aicha Yoda (25), seorang perawat psikiatri dari Maryland, pertama kali menukar iPhone-nya dengan ponsel lipat selama Ramadan 2022 sebagai bentuk refleksi spiritual—dan ia ketagihan dengan ketenangan yang ia temukan.
“Realitas Anda tergantung pada apa yang Anda buat. Setelah mencabut koneksi ke media sosial, semua tekanan itu hilang,” ujarnya.
Ia mengenang masa kecilnya yang bebas teknologi: bermain di luar, menjelajah, tanpa rasa takut akan “likes” atau “followers.” Tapi ketika ia mendapatkan iPhone pada usia 14 tahun, semuanya berubah.
“Saya mulai membandingkan diri saya di media sosial… itu benar-benar memengaruhi citra diri saya.”
Kini, meski ia masih menggunakan smartphone, Aicha selalu membawa ponsel lipatnya untuk hari-hari ketika ia ingin “hadir sepenuhnya.” Ia berkata sambil tertawa, “Orang-orang bersikap seolah-olah saya menggunakan batu sebagai ponsel.”
Andrew Kim (22), mahasiswa kedokteran gigi di Oregon, muak dengan budaya pamer di media sosial. Foto teman-teman yang liburan mewah, mobil sport, dan gaya hidup glamor membuatnya merasa rendah diri.
“Setiap kali saya mengunggah sesuatu, saya terus-menerus menyegarkan halaman,” katanya. “Saya terobsesi dengan itu.”
Ia akhirnya memutuskan untuk ‘putus’ dengan iPhone-nya dan menggunakan ponsel lipat selama dua tahun. “Saya jadi kembali ke hobi saya—melukis, merenda. Rasanya saya bisa memperhatikan dunia lagi.”
Namun, ia mengakui bahwa hidup tanpa Google Maps tidaklah mudah. “Saya harus mencatat arah di kertas sebelum pergi,” katanya. Pada akhirnya, karena tuntutan kampus, ia kembali menggunakan iPhone untuk sementara.
“Tapi setelah lulus, saya akan langsung kembali ke ponsel lipat,” tekadnya.
Bukan Sekadar Nostalgia, Tapi Revolusi Sunyi
Ponsel lipat bukan lagi peninggalan zaman dulu. Bagi sebagian Gen Z, ia telah menjadi simbol perlawanan terhadap ketergantungan digital. Mereka tidak menolak teknologi, tetapi mereka menginginkan kembali kendali.
“Saya pikir semakin banyak anak muda yang berharap hidup mereka didasarkan pada kenyataan,” kata Andrew dikutip The News York Post.
Dan meskipun perjalanan menuju dunia tanpa notifikasi tak mudah—terutama tanpa aplikasi peta—satu hal pasti: Generasi yang dibesarkan oleh internet mulai menulis ulang aturannya sendiri.*