PERNAHKAH Anda merasakan kesempitan hati, sampai sedemikian sempitnya, sehingga seolah-olah langit runtuh menindih dada? Ketika itu, pandangan menjadi kabur, pikiran keruh, energi sirna, dan pelita pengharapan pun padam. Sebaliknya, ketika hati kita dilapangkan oleh Allah: segalanya terlihat gamblang, solusi problematika hidup tersaji lengkap, energi meluap, dan kita menatap kehidupan ini dengan penuh semangat serta optimisme tinggi. Pertanyaannya: “Bagaimana cara menghindari kondisi pertama diatas, dan meraih yang kedua?”
Ada sebuah ulasan dalam Zaadul Ma’ad karya Ibnu Qayyim yang dapat menjawab pertanyaan penting ini. Dalam kitab yang didedikasikan untuk meraih ibrah (pelajaran) dari sejarah hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, diantaranya beliau memaparkan sebab-sebab atau sumber-sumber kelapangan hati. Bila kita perhatikan isinya, lalu memikirkan kebalikannya masing-masing, kita juga akan mengerti sumber-sumber kesempitannya. Mari kita pelajari satu demi satu.
Sumber pertama adalah tauhid. Seberapa lapang hati seseorang berhubungan erat dengan seberapa kuat, sempurna, dan pertambahan keyakinan tauhidnya. Allah berfirman,
فَمَن يُرِدِ اللّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاً حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاء كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Qs. Al-An’am: 125).
Sebaliknya, kemusyrikan adalah penyebab kesempitan hati dan duka cita. Dalam surah az-Zumar: 29, Allah mengumpamakan orang musyrik dengan seorang budak yang dimiliki oleh beberapa majikan sekaligus, sementara para majikan ini selalu bertengkar. Budak itu pasti sangat bingung dan serba salah. Bandingkan dengan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang majikan saja. Hidupnya pasti lebih mudah, karena ia hanya melayani satu tuan, tidak dibingungkan oleh perintah aneka majikan yang seringkali saling bertentangan.
Sumber kedua adalah cahaya iman. Tatkala cahayanya lenyap dari hati, maka seseorang akan menghadapi kegelapan, sehingga merasa seolah-olah terkungkung dalam penjara paling sempit. Sebagaimana cahaya bisa membuat ruangan terkesan luas, demikian pula iman akan melapangkan hati. Maka, Al-Qur’an pun menggambarkan kekafiran (yakni, kebalikan iman) sebagai kegelapan yang berlapis-lapis: “Atau, seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, nyaris dia tidak dapat melihatnya. Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (iman) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (Qs. an-Nur: 40).
Sumber ketiga adalah ilmu. Tepatnya, ilmu yang diwarisi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan sembarang ilmu. Dengannya, hati terasa sangat lapang bahkan lebih lapang dari dunia ini. Warisan kenabianlah yang membuatnya memiliki kesabaran berlipat, akhlak termulia, serta kehidupan paling tenteram. Al-Hasan al-Bashri berkata, “Dulu, bila seseorang telah mencari ilmu, maka tidak lama kemudian akan terlihat pengaruhnya pada tatapan matanya, kekhusyu’annya, lisannya, tangannya, shalatnya, dan kezuhudannya.” Beliau juga berkata, “Jika seseorang telah memperoleh satu bab dari ilmu, lalu ia mengamalkannya, maka jadilah ilmu itu lebih baik baginya dibanding dunia seisinya, andai ia memiliki dunia itu lalu ia menjadikannya untuk akhirat.” (Riwayat Darimi, keduanya dengan sanad shahih).
Sumber keempat adalah kembali kepada Allah, mencintai-Nya, berfokus kepada-Nya, dan menikmati asyiknya beribadah. Rasa cinta memiliki pengaruh ajaib terhadap kelapangan hati. Cinta membuat jiwa tenteram dan hati nyaman, apalagi cinta kepada Allah, Tuhan semesta alam. Sudah dimaklumi bahwa tiada kenikmatan bagi pecinta selain berjumpa, bercengkrama, dan berdua-duaan dengan kekasihnya. Ia pasti ingin berlama-lama bersamanya. Bila terpisah, ia pun sangat rindu ingin bertemu. Bila ia dihalangi dari yang dicintainya, hatinya akan merana.
Dapat dipastikan, orang yang gemar dan ringan beribadah tentu sangat mencintai Tuhannya. Cintalah yang mendorongnya untuk segera bangkit menyambut panggilan Kekasihnya dengan penuh semangat. Oleh karenanya, diriwayatkan bahwa Nabi Dawud ‘alaihis salam pernah berdoa: “Ya Allah, sungguh aku mohon (diberi) rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu, juga amal-amal yang akan membawaku sampai kepada cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah kecintaan kepada-Mu lebih aku cintai dibanding diriku sendiri, keluargaku, dan air yang sejuk.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits dha’if).
Siapa pun yang berpaling dari Allah, melupakan-Nya, mencintai dan bergantung kepada selain-Nya, niscaya hidupnya menjadi sempit.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً
قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.” [QS: Thaha: 124-126).
Bila ia mencintai selain Allah, jiwanya akan tersiksa karenanya. Hatinya pun terpenjara dalam apa yang dicintainya itu, sebab semua selain Allah mudah berubah dan tidak terjamin kepastiannya. Ketika itulah pikirannya kacau, hidupnya berantakan, dan hatinya sangat kelelahan. Maka, tidak ada yang lebih malang darinya di dunia ini!
Sejauh ini, kita telah mengemukakan empat penyebab kelapangan hati. Sebenarnya, masih ada lima lagi penyebab lainnya. Namun, karena keterbatasan tempat, insya-Allah kita akan menyajikannya pekan depan. Sebagai gambaran ringkas, lima penyebab berikutnya adalah: kontinyu berdzikir, berbuat baik kepada sesama makhluk, keberanian, keluarnya kotoran hati, dan tidak berlebihan dalam hal-hal yang mubah. Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar [bersambung]