Hidayatullah.com—Suatu ketika, pada jam istirahat di Saturday School, saya berbincang-bincang dengan teman-teman saya. Saat itu salah satu teman saya yang sedang hamil berkata bahwa dia merasa sangat letih. “Ngurus anak, rumah, suami, harus belanja, masak, bersih-bersih setiap hari membuat saya benar-benar letih dan jenuh.”
Mendengar ungkapan teman saya tersebut, salah seorang berkomentar bahwa apa yang dia rasakan sama seperti ibu-ibu yang lain. Menjadi ibu itu berarti mengorbankan diri sendiri.
Mendengar hal tersebut, membuat saya tak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.
“Menjadi ibu itu memang berat, tetapi bukan berarti kita sebagai ibu harus mengorbankan seluruh hidup, waktu kita untuk mengabdi pada keluarga. Sediakan waktu juga untuk diri sendiri.”
“Bagaimana mungkin Meidya, kamu bisa berdiam diri sendiri tanpa ada gangguan anak. Lha saya ke kamar mandi saja di gedor-gedor,” protes teman saya yang lainnya.
Saya pun, akhirnya mengerti dan menyadari apa sebenarnya yang terjadi pada teman-teman saya tersebut.
“Lho, minta tolong sama suami untuk menjaga anak-anak. Minta pada suami setiap hari-hari tertentu untuk tinggal di rumah dan kita sebagai ibu bisa bebas melakukan aktifitas sesukanya,” terang saya memberikan alasan.
“Meidya, kita itu ibu. Berbeda dengan Bapak. Mereka para laki-laki itu kalau sudah di depan komputer ataupun di telepon lupa dengan dunia di sekitarnya. Contohnya saja kemarin anak saya jatuh padahal Bapaknya di sampingnya. Lain dengan kita perempuan yang bisa mengerjakan bermacam pekerjaan dalam waktu bersamaan. Lagi pula kita diciptakan Allah sebagai ibu. Kita dikasih tanggungjawab untuk melahirkan anak, membesarkan dan mengurusnya,” protes teman saya yang lain.
Saat itu saya merasa diserang oleh teman sendiri. Rupanya pemikiran tentang kewajiban ibulah yang mengurus anak sudah tertanam di benak perempuan dari berbagai negara tersebut.
“Hmm…, lihatlah al-Quran, mengurus anak itu bukan hanya kewajiban ibu, tetapi juga Bapaknya. Lihat surat Luqman, dialog ayah dan anak, bukan ibu dan anak.” Mendengar saya mengutip salah satu surat Luqman dalam al-Quran, membuat teman-teman saya terdiam.
Kesempatan tersebut saya manfaatkan untuk membuka pemikiran teman-teman saya. “Ok, kalau begitu besok, hari Ahad, saya undang kalian untuk lunch bersama. Saya akan membuat reservasi di restoran dan saya yang bayar. Dengan syarat tidak membawa anak! Tinggalkan di rumah dengan bapaknya.”
“Wah kalau besok, itu hari libur, jatahnya berkumpul bersama keluarga,” tolak teman saya dari Maroko.
“Saya nggak bisa, suami saya pasti nggak kasih. Lagian dia juga kerja,” tolak teman saya warga Amerika.
“Hmm, saya mesti tanya suami saya dulu apakah boleh,” ungkap teman dari Mesir.
“Saya mau pergi tetapi saya takut muntah di restoran,” tolak teman saya yang hamil.
“Tuh khan kalian sendiri yang tidak mau bersenang-senang sesaat. Jadi jangan komplain tentang letih, bosan, jenuh dll kalau kalian tidak mau merubah diri,” tantang saya.
“Sejujurnya, saya sering memberikan waktu khusus bagi suami untuk bersenang-senang, jauh dari gangguan anak-anak. Saya pikir setiap hari dia bekerja cari uang, letih, stress kerjaan, sudah sepantasnya diberikan waktu istirahat di rumah. Saya ajak semua anak pergi keluar rumah, walaupun saya kerepotan bawa tiga balita dan satu bayi. Tetapi saya sendiri tidak pernah memiliki waktu untuk sendiri,” terang teman saya yang lulus dari fakultas kedokteran.
Ternyata sebagai ibu seringkali kita hanya memikirkan kebahagiaan anak dan suami serta melupakan kebahagiaan diri sendiri. Wajar jika tak sedikit ibu sering menderita stress berkepanjangan hingga akhirnya depresi.
Menjadi ibu adalah sebuah kemuliaan. Meski demikian, ingatlah bahwa Anda berhak bahagia pula. Kewajiban terhadap keluarga bukan hanya kewajiban ibu tetapi juga ayah. Para suami, seharusnya memberikan kesempatan para isteri untuk menikmati waktu-waktu tertentu, setidaknya bisa membuatnya sedikit senang dan bahagia.
Kembali lagi ke acara makan siang bareng yang kami rencanakan, ternyata sampai hari Ahad, tak ada satu pun teman saya yang bersedia hadir. Ini semua dikarenakan mereka tidak tega dan tidak percaya meninggalkan anak dengan suaminya. Itulah nurani seorang ibu. *
Meidya Derni, penulis buku “Jilbab Di Pelukan Uncle Sam” (Salamadani) dan “Princess Adila dan Karcis Sirkus” (DAR Mizan), tinggal di Amerika