Oleh: Ummu Ghiyas Faris
TANGGAL 30 Oktoober 2012 diselenggarakan “Konferensi Kejahatan Seksual Terhadap Anak Secara Online” (Conference on Sexual Crime Against Children Online) diselenggarakan di Hotel Mercure Ancol (29/10/2012), merupakan wujud kerja sama dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) bersama Kedutaan Besar Prancis, Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional (LSM) End Child Prositution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, dan juga Terre des Hommes.
Konferensi ini membahas tentang tren terbaru dari kejahatan seksual terhadap anak secara online, jenis penyalahgunaan Information and Communication Technologies (ICT), legislasi nasional dari negara-negara yang mengkriminalisasi kejahatan seksual terhadap anak-anak secara online dan bagaimana memerangi eksploitasi seksual anak secara online.
Konferensi ini menjadi penting dan strategis dalam rangka meningkatkan komitmen, kerjasama dan “sharing best practices” antar peserta di dalam memerangi kejahatan seksual melalui online, termasuk trafiking secara online maupun tidak, terutama terhadap anak. Indonesia merupakan salah satu pengguna internet terbesar di dunia, sesudah Amerika, dan China dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 240 juta orang, sebanyak 49,9 % adalah perempuan dan 30 % anak.
Anak dan Dunia Maya
Perkembangan internet membuka akses seluas-luasnya bagi semua pihak untuk dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tersebut dengan mudah, murah dan cepat, tak terkecuali anak-anak dan remaja. Canggihnya dunia digital sekarang, setiap alat teknologi yang dibuat akan memiliki dua akibat yaitu buruk dan baik.
Di sisi lain, tidak semua pengguna internet mempunyai niat yang baik dan ini sudah terbukti dari data yang ada yang menggambarkan internet dipakai untuk menipu, mengiming-imingi dan akhirnya digunakan untuk me-trafik anak maupun remaja putri untuk tujuan eksploitasi seksual dan prostitusi.
Ironinya, banyak orangtua yang tidak melek internet. Kurangnya pengawasan dan kepekaaan dari orangtua menjadi salah satu faktor penyebab perilaku anak di dunia maya tidak terbendung. Biasanya anak-anak yang lebih banyak terjerumus itu justru yang kesepian. Mereka juga tidak terlalu banyak punya teman, karena biasanya punya kesulitan dalam berhubungan sosial. Kesalahan yang sering dilakukan orangtua, yaitu memberi kebebasan dalam mengakses jejaring sosial tapi tidak dibekali arahan dan pemahaman manfaat dan madharat-nya. Seharusnya orangtua harus cerdas menuntun dan masuk dalam dunia mereka.
Data Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “Gerakan Jangan Bugil Depan Kamera” (GJBDK) yang melakukan wawancara pada ribuan orangtua di 28 provinsi menunjukkan, hanya 10% orangtua yang paham pemakaian internet.
Survey yang dilakukan pada 2007 ini menunjukkan juga bahwa rata-rata pengakses materi pornografi di internet berusia 11 tahun. Sedangkan menurut Survei Indonesia pada tahun 2008, tercatat 66% dari 1.625 siswa SD kelas 4-6 di wilayah Jabodetabek telah menyaksikan konten pornografi melalui jaringan online, dengan rincian 24% melalui komik, 18% melalui games online, 16% melalui situs porno, dan 14% melalui film serta telepon selular.
Survei ini menunjukkan adanya peningkatan bentuk baru dari kejahatan dunia maya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, seperti penemuan pada jejaring sosial atau perangkat mobile (handphone).
Peran Orangtua Memerangi Kejahatan Online
Dari data tersebut di atas, anak-anak adalah sasaran utama dari bentuk-bentuk kejahatan online tanpa pengawasan dari orangtua yang cenderung “gaptek”. Di sinilah peran orangtua yang ikut mengawasi dan memberikan batasan-batasan penggunaan media online, seperti handphone, tablet, komputer, dan sebagainya.
Untuk mengurasi risiko anak menjadi korban suatu kejahatan akibat aktifitasnya di internet, maka peran orangtua dapat menerapkan beberapa hal berikut :
Pertama, setiap orangtua harus memberikan pemahaman kepada anak-anaknya tentang hal-hal yang dihalalkan dan yang diharamkan Syara’.
Kedua, gunakan sarana internet secara bersama-sama dengan anggota keluarga lain yang lebih dewasa. Tempatkan komputer di ruang keluarga atau di tempat yang mudah diawasi. Jika diperlukan, berilah penjadwalan/pembatasan waktu untuk anak dalam menggunakan internet.
Ketiga, pelajari sarana komunikasi dan kandungan informasi yang ditawarkan oleh internet (yang diakses oleh anak). Ajukanlah pertanyaan kepada anak mengenai hal tersebut. Dengan banyak bertanya kepada anak, kita dapat menggali sejauh mana mereka memahami internet, sekaligus dapat mengetahui apabila anak-anak mendapatkan suatu informasi yang bersifat negatif.
Keempat, berikan pengertian kepada anak untuk tidak menanggapi e-mail ataupun private chat dari orang yang tidak dikenal, termasuk membuka file kiriman dari orang yang tidak dikenal, dalam bentuk apapun. Tegaskan kepada anak untuk tidak gegabah merencanakan pertemuan langsung dengan seseorang yang baru mereka kenal di internet.
Kelima, beritahu anak untuk tidak membuka situs yang tidak pantas (situs porno dan sejenisnya) atau yang membuat mereka tidak nyaman. Tanamkan sikap pada anak agar terbiasa bercerita kepada orangtua tentang segala sesuatu yang mereka temui di internet
Saatnya Perangi Kejahatan Online
Untuk memerangi seluruh kejahatan seksual online yang mampu membahayakan tumbuh kembang anak, pemerintah memang tidak tinggal diam dan berupaya menyelesaikannya dari beragam aspek diantaranya aspek legislasi.
Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang cukup lengkap dan komprehensif, termasuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang Terutama Perempuan dan Anak-Anak, dan terakhir adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak. Namun tampaknya semua regulasi itu belum efektif mencegah kejahatan online.
Sebagai salah satu negara pengguna jejaring sosial terbesar di Asia Tenggara, Indonesia semakin sukar untuk lepas dari ketergantungan berkehidupan sosial melalui dunia maya. Fenomena internet ini pun mengancam keselamatan masyarakat, siapa pun mereka, apakah anak-anak di bawah umur maupun orang dewasa.
Untuk itu diperlukan solusinya yang komprehensif dan membutuhkan mekanisme sistem yang integral. Dalam hal ini tidak bisa hanya diserahkan pada peran orangtua, sekolah/guru dan lingkungan. Semua pangkalnya adalah sistem kebijakan negara. Selama ini Kementrian Pemberdayaan Perempuan berusaha memerangi kejahatan anak melalui aturan pesanan asing.
Unsur negara harus menjadi garda terdepan dalam memerangi kejahatan online seperti pariwisata, kebudayaan, media massa, dan lain-lain, jangan malah justru mensponsori terjadinya kejahatan tersebut. Ini yang seharusnya dibentengi.
Hanya dengan kebijakan Negara-lah akses internet yang berbau pornografi bisa dihapuskan. Selanjutnya, sudah adakah kemauan dari Penguasa negeri ini untuk itu? Wallahul Musta’aan ilaa Aqwaam at-Thariiq.*
Penulis pemerhati masalah wanita dan anak-anak. Pikiran-pikirannya bisa dibaca di www.ummughiyas.blogspot.com