DIANTARA keluhuran agama Islam tercermin dari ajarannya untuk saling mendoakan kebaikan selalu.
Siapapun dia, setiap orang beriman berhak mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang lain. Setidaknya ia beroleh doa dan wajah tersenyum dari saudaranya yang memberi salam.
Bahkan kemuliaan ajaran Islam itu makin tampak dengan anjuran mendoakan kebaikan juga buat orang-orang beriman sebelumnya yang telah mendahului mereka.
Demikian penjelasan mufassir Abdurrahman Nashir as-Sa’di Rahimahullah menerangkan ayat berikut ini.
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr [59]: 10).
Menurut pengarang Tafsir as-Sa’di itu, doa agung tersebut hanya bisa dicapai oleh yang memiliki hati yang bersih dan lapang.
Untuk itu, setiap Muslim diminta membersihkan hati dari segala noda yang menggerogoti kesuciannya. Utamanya sifat dengki dan sombong terhadap orang lain.
Disebutkan as-Sa’di, mustahil orang tersebut mengaku cinta dan ikhlas mendoakan jika ia sendiri benci dan iri hati kepada saudaranya yang lain.
Sedang keikhlasan itu hanya bisa lahir dari iman yang bersih yang menyatukan hati-hati orang beriman. Mereka terikat dengan buhul ukhuwah imaniyah kepada Allah.
Tak heran meski dibatasi oleh jarak dan waktu, sesama orang beriman tetap bisa saling memberi manfaat kebaikan dan berbagi doa ampunan.
Jangan Cela Sahabat
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma (Ra) meriwayatkan: “Hendaknya kalian memperbanyak bacaan istighfar untuk para sahabatku. Sebab aku mengetahui dahsyatnya fitnah akhir zaman tersebut.”
Dengan tegas Ibunda Mukminin tercinta, Aisyah Binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma (Ra) juga mengingatkan: Kalian telah diperintahkan untuk berucap istighfar (memohon ampun) untuk para sahabat. Tapi justru kalian menyelisihinya dan mencela mereka dengan tuduhan yang keji.
Aku mendengar Nabi kalian bersabda, “Tidak akan berlalu umat ini kecuali mereka saling mencaci dan melaknat sesama mereka.”
Inilah kesesatan yang terang benderang dari ajaran Syiah. Secara serampangan mereka menabur fitnah bahkan mencaci para sahabat Nabi yang mulia.
Imam Malik Rahimahullahu (Ra) menguatkan, siapa saja yang membenci salah seorang sahabat Nabi, atau di dalam hatinya menyimpan kedengkian kepada mereka, niscaya ia tak memiliki hak apapun dalam pembagian harta kaum muslimin.
Menghindari fitnah demikian, seorang Muslim dianjurkan memperbanyak mengingat prestasi kebaikan dan kemuliaan orang-orang shaleh terdahulu.
Sebab hal itu bisa menyatukan dan menguatkan simpul ukhuwah di antara orang-orang beriman.
Sebaliknya, hendaknya orang itu menghindari untuk menyebut kekhilafan dan perselisihan yang pernah terjadi di kalangan orang-orang beriman. Hal itu hanya membuat hati ini jadi keruh dan menimbulkan fitnah setelahnya.
Terlebih kealpaan mereka sebagai manusia biasa tak sebanding dengan jaminan kemuliaan dan pengorbanan yang mereka hadiahkan untuk dakwah jihad di jalan Allah.
Imam al-Qurthubi bercerita, al-Husain bin Ali pernah ditanya: “Wahai anak dari putri kesayangan Nabi, apa pendapatmu tentang sahabat Utsman bin Affan?”
Wahai saudaraku, apakah engkau berasal dari golongan yang disebutkan dalam ayat ‘li al-fuqara al-muhajirin’? Al-Husain balik bertanya.
“Bukan,” jawabnya singkat. “Kalau begitu boleh jadi Anda adalah kelompok kaum muslimin ‘wa al-ladzina tabawwau ad-dara wa al-iman’
Ia menjawab, “Tidak,” Mendengar itu al-Husain berang. “Demi Allah, jika engkau tak sanggup masuk dalam kelompok yang ketiga, kamu terancam keluar dari syariat Islam. Al-Husain lalu membaca rangkaian ketiga dari ayat dalam surah al-Hasyr di atas.
Terakhir, sebagian ulama salaf berkata: Jadilah seorang Muhajir (pendatang). Jika kamu berkata, aku tak mendapati generasi tersebut.
Maka jadilah bagian dari orang-orang Anshar (penolong). Jika kamu berkata, generasi itu telah lewat pula. Maka kerjakanlah amalan-amalan yang mereka perbuat terdahulu.
Kalau ternyata hal itu juga masih berat atas kalian, hendaknya kalian tulus mencintai mereka dan senantiasa berucap istighfar (mohon ampun) untuk mereka.*/Masykur Abu Jaulah