Hidayatullah.com | ADA beberapa sebab menjadikan nikmat yang diberikan Allah Ta’ala kepada manusia menjadi hilang. Pertama, menyalahgunakan nikmat. Kedua, mengingkari nikmat.
Disebut dalam QS: Ibrahim: 34;
(وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ)
“Dan Dia telah memberikan kepada kalian (keperluan kalian) dari segala apa yang kalian mohonkan kepada-Nya. Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, tidaklah dapat kalian menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS: Ibrahim: 34).
Sementara itu, ada dua sifat manusia yang menyebabkan hilangnya nikmat Allah:
Pertama, dhalim: menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kebalikan dari zhalim adalah adil. Diberikan nikmat Allah tapi
Kedua, kafir. Kafir itu ada dua: kafir terhadap nikmat Allah dan kafir terhadap Islam. Kafir nikmat tidak mengeluarkan dari Islam.
Yang dimaksud “kafir” dalam ayat ini adalah kafir nikmat, contohnya: Qarun. Qarun diberi harta kekayaan, justru tidak bersyukur akan tetap sombong. Dia merasa dapat kekayaan karena ilmunya.
Janganlah menjadi Qarun, tapi jadilah seperti Nabi Sulaiman yang pandai mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Nabi Sulaiman kerajaannya semakin besar, sedangkan Qarun terbenam dalam bumi.
Ketiga, karena kemaksiatan. Sebagaimana dalam QS: al-Anfal: 53,
(ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ)
“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali udak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS: al-Anfal: 53)
Qarun, kaum Luth, Fir’aun itu mengubah nikmat yang diberikan oleh Allah dengan kemaksiyatan yang mereka lakukan. Menurut Al-Quran, nikmat terbesar dalam hidup adalah masuk Islam sebagaimana dalam QS. al-Maidah.
Nikmat fisik itu tidak sempurna kalau Islamnya belum dijalankan sempurna. Sebagaimana disebutkan dalam Qs. Ali Imran: 102 juga menjelaskan nikmat Islam, hingga kita mati dalam keadaan muslim.
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Qs. Ali Imran: 102)
Allah Subhanahu Wata’alaha menjelaskan, Islam merupakan kesempurnaan nikmat.
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian NikmatKu. dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (Qs. Al-Ma’idah: 3).
Doa terhindar dari hilangnya nikmat
Allah tidak mengubah suatu nikmat yang telah berlaku sejak dahulu. Allah tidak mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.
Allah Subhanahu Wata’ala memberi manusia berbagai nikmat lahir dan batin. Hal ini semata-mata semata karena karunia dari-Nya. Karena itu, manusia wajib mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.
Karenanya, Rasulullah ﷺ mengajak kita sering-sering memohon perlindungan kepada Allah agat tidak kehilangan nikmat yang diberikan Allah.
عن عبد الله بن عمر – رضي الله عنهما – قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم
: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ، وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ، وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ، وَجَمِيعِ سَخَطِكَ
Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa posisi terdekat seorang hamba dengan Allah adalah pada saat sujud. Maka perbanyaklah doa, dengan syarat doanya berbahasa Arab dan diucapkan. Bukan doa dalam hati yang berbahasa Indonesia.
Allah menganjurkan kita banyak berdoa saat berdiri setelah ruku’.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu’anhu, ia berkata:
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا رفع رأسه من الركوع قال
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
: “اَللّٰهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمٰوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ بَعْدُ أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ اَللّٰهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ. (رواه مسلم)
Dari Abi Sai’d Al-Khudri r.a., bahwasannya Rasulullah ﷺ ketika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau membaca,
Allahumma rabbanaa lakal hamdu mil’as samaawaati wamil al-ardli wa mil a maa syi’ta min syai in ba’du ahlats tsanaa’i wal majdi ahaqqu ma qaalal ‘abdu wa kullunaa laka ‘abdun. Allahumma laa maani’a limaa a’thaita walaa mu’thia limaa mana’ta walaa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu.
Ya Allah segala puji bagiMu, pujian sepenuh langit, sepenuh bumi, sepenuh apa yang Engkau inginkan lebih dari itu semua, wahai Dzat yang memiliki semua pujian dan kebaikan. Demikianlah yang paling berhak diucapkan oleh setiap hamba. Dan setiap kami adalah hambaMu. Ya Allah tidak ada yang bisa menghalangi apa yang Engkau berikan. Dan tidak ada yang bisa memberikan apa yang Engkau halangi. Dan segala daya upaya tidak bermanfaat kecuali dengan izinMu, seluruh kekuatan hanya milik-Mu).” (HR: Muslim).*/Dr Ahmad Zain an-Najah, Puskafi