SEJARAH pernah mencatat bahwa umat Islam pernah mencapai titik kulminasi keemasan. Kaum muslimin pernah dominan di sepenggal masa. Sebuah era yang berhasil menguasai sepertiga bola dunia dalam waktu hanya 30 tahun.
Waktu relatif singkat yang belum pernah ada dalam tinta sejarah. Suatu zaman yang membawa keadilan merata, kedamaian menyebar luas, peradaban manusia berkembang pesat, dan pembawa obor pencerahan bagi kehidupan manusia.
Kehebatan umat Islam kala itu membuat para ilmuwan seluruh dunia berdecak kagum. Bahkan Napoleon Bonaparte (1769-1821) – dinukil dari Las Cases selama menemaninya ketika pembuangan di Pulau Saint Helena – sangat mengagumi sosok nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, Umar, dan para pahlawan Islam lainnya. Konon, selama di Mesir pula hati kecilnya pernah berbisik untuk memeluk Islam.
Namun, keberhasilan itu hanya menjadi kenangan indah masa lalu. Saat ini negara-negara Islam perlahan terbenam, tertinggal dari bangsa-bangsa lain seperti Eropa, Amerika, Jepang, China, dan lain-lain. Akibatnya, jamak dari umat Islam di segala penjuru dunia selalu mendapat perlakuan tidak adil (diskriminasi), baik mayoritas maupun minoritas. Seolah semua yang berlabel Islam harus dibumi hangus.
Masih lekat dalam ingatan ketika Raja Brunei Darussalam menerapkan hukum pidana syariat Islam pada 1 Mei 2014, sontak kaum SePILIS (Sekularis, Pluralis, dan Liberalis) mengecam Sultan Hassan Al-Bolkiah secara membabi buta melalui berbagai media. Bahkan mereka menghalalkan berbagai macam cara untuk menjatuhkan kredibilitas sang raja di hadapan dunia.
Kasus etnis Rohingya sampai saat ini juga tak kunjung menemukan titik terang. Sekitar 600 ribu warga melarikan diri ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari kekerasan mematikan di Rakhine. Dunia terbangun dengan segala opini namun tanpa aksi. Pembantaian etnis paling kejam abad 21 ini masih belum membuka mata PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk bertindak tegas.
Baca: Semangat Kebangkitan Umat Bela Islam Perlu Dirahkan dengan al_Quran
Belum lagi pernyataan Donald Trump yang mendapat kecaman dunia karena mengklaim Yerussalem sebagai ibu kota Israel. Menurut Nuruddin dalam opininya Donald Trump Sang Legendaris (Bhirawa, 17/12/2017), sebenarnya persoalan Palestina tidak hanya menyangkut umat Islam. Tapi, konflik Palestina-Israel menyeret atau sengaja diseret menjadi persoalan Amerika vis a vis umat Islam. Hal ini terbukti, kebijakan Amerika pada Timur Tengah juga selalu merugikan umat Islam. Sehingga menyulut umat Islam untuk melakukan perlawanan.
Bahkan survei terbaru menyebutkan bahwa diskriminasi terhadap umat Islam Eropa meningkat dalam satu dekade. Sekitar 40 persen Muslim di sana menghadapi perlakuan tidak adil, baik ketika mencari pekerjaan, tempat tinggal, atau mengakses layanan publik (kesehatan dan pendidikan).
Dilansir dari The Guardian, 21 September 2017 bahwa 30 persen responden muslim dalam sebuah survei oleh badan hak asasi fundamental Uni Eropa dengan melibatkan 10.500 umat Muslim di 15 negara menyebutkan telah mengalami penghinaan dan 2 persen mengalami kekerasan fisik dalam 12 bulan terakhir (Tempo, 22/9/2017). Muncul pertanyaan, mengapa Islam selalu didiskriminasi?
Umat Islam menjadi bulan-bulanan negara anti-Islam (islamophobia) karena kemunduran umat Islam dari umat agama lain. Mayoritas umat Islam masa kini telah kehilangan semangat jihad yang telah dimiliki oleh para pendahulu, sehingga menyebabkan mereka terpecah-belah. Sebaliknya, semangat itu dimiliki oleh para musuh Islam. Padahal kitab mereka tidak berpesan demikian.
Lihatlah para prajurit non-muslim dalam Perang Dunia I, mereka berlomba-lomba mendedikasikan jiwa dan nyawa yang tak pernah bisa dibayangkan oleh logika. Jerman kehilangan sekitar 2 juta tentara, Prancis 1 juta empat ratus tentara, Italia enam ratus enam puluh ribu tentara, serta dana sangat besar yang telah dilontarkan.
Kondisi umat Islam yang semakin darurat, mengetuk hati Syaikh Basyuni Imran asal Indonesia untuk mengirim sepucuk surat kepada Sayyid Rasyid Ridha, redaktur Majalah Al-manar tahun 1929. Isinya, sebuah harapan terhadap Syakib Arslan dalam dunia Islam dikenal sebagai Amirul Bayan (pangeran kefasihan) lidahnya yang menyampaikan “Islam” secara rinci serta prajurit yang memperjuangkan Nasionalisme-Islam dan Pan-Islamisme – agar menjelaskan kepada para pembaca faktor-faktor penyebab kemunduran umat Islam.
Baca: Kebangkitan Islam?
Selang tiga hari, Syakib Arslan menyiapkan jawabannya setelah pulang dari Andalusia (Spanyol). Pada tahun 1940 Sayyid Rasyid Ridha berinisiatif untuk membukukan risalah yang merupakan dari pertanyaan tadi. Alhasil, buku itu dicetak hingga berulang-ulang. Umat Islam saling meyebarkannya. Buku tersebut menjelaskan dengan tegas terkait kegalauan umat Islam yang menjadi pertanyaan selama ini.
Syakib Arslan dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Mengapa Umat Islam Tertinggal” (2013) menyebutkan ada lima faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam.
Pertama, kebodohan
Orang yang bodoh hanya pasrah ketika dihadapkan dengan permasalahann tanpa tahu cara mengatasinya. Seperti halnya tidak bisa membedakan antara arak dengan cuka.
Kedua, ilmu pengetahuan yang tanggung
Ini lebih berbahaya dari pada orang yang bodoh. Orang bodoh jika dibimbing maka dia akan mematuhinya, sedangkan orang yang berpengetahuan setengah-setengah tidak akan pernah tahu bahwa dirinya tidak tahu. Benar kata adagium “lebih baik mengahadapi orang gila, dari pada menghadapi orang setengah gila”. Artinya, lebih baik berhadapan dengan orang bodoh dari pada bertatap muka dan orang yang sok berilmu.
Ketiga, rusaknya akhlak (budi pekerti)
Memang, di era modern saat ini peran akhlak semakin terkikis. Minimnya akhlak terbukti telah membawa banyak kerusakan di berbagai belahan negara, baik dari segi politik, ekonomi, hingga dunia pendidikan. Padahal akhlak merupakan pondasi utama tegaknya suatu peradaban. Syauqi Bey (penyair Mesir) pernah berkata “setiap bangsa akan tetap ada selama masih berbudi pekerti, Apabila budi bangsa sudah lenyap, selamanya mereka akan pergi”.
Keempat, dekadensi moral
Lenyapnya moral di setiap individu menghilangkan kepekaan mereka terhadap agamanya. Sehingga mudah melahirkan manusia pemakan hak rakyat, tindakan brutal, ulama penjilat yang kongkalikong dengan para peguasa, dan makin maraknya hukum rimba (then jungle of law), yang kuat menikam yang lemah. Itulah akibat jika akhlak sudah tidak lagi bersemai dalam diri manusia. Semakin rusak moralnya semakin jauh pula dengan agamanya.
Kelima, sikap pengecut dan penakut
Padahal zaman dulu satu orang Islam berani melawan 10 orang musuh. Namun, saat ini keberanian itu telah luntur, umat muslim takut mati lantaran tidak ada keimanan dalam jiwa muslim masa kini.
Sebaliknya, bangsa barat menyerang umat Islam secara membabi-buta tanpa takut mati. Ironisnya, umat islam tidak cemburu dengan apa yang dilakukan barat, justru terjerembab dalam keputusasaan yang berkepanjangan.
Jika lima faktor di atas telah terjadi pada umat Islam, berarti kita telah sampai pada apa yang disabdakan oleh Rosulullah melalui haditsnya “kalian (umat Islam) waktu itu banyak sekali, tetapi kalian seperti buih di tengah lautan.
“Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati).” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Daud)
Oleh karena itu, kebangkitan umat Islam masa kini bukan sekadar harus menyaingi Einstein dengan teori relativitas-nya, melakukan penemuan sekaliber Edison, menciptakan robot hebat, atau membuat pesawat dan senjata super canggih. Esensinya, persoalan-persoalan ilmiah itu hanyalah furu’ (cabang), bukan ushul (akar); adalah hasil, bukan premis.
Kunci utama umat Islam bisa bangkit tentu dengan menanamkan ruh “jihad” jiwa dan harta. Karena jihad dengan jiwa dan harta merupakan ilmu tertinggi yang diserukan semua ilmu. Jika umat Islam mempelajari dan mengamalkan ilmu ini maka akan dapat menaklukkan ilmu lainnya. Sehingga Islam tidak selalu didiskriminasi dan merebut kembali tahta kedigdayaannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS: Al-Ankabut : 69). Wallahu A’alam.*/Nurul Yaqin, pengajar Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMP Islam Terpadu ANNUR Cikarang Timur, Bekasi. [email protected]