Hidayatullah.com–Mantan Perdana Menteri Mesir Ahmed Shafiq mengumumkan keputusannya untuk tidak akan maju untuk mengikuti pemilihan presiden tahun ini.
Pria berusia 76 tahun itu sebelum ini telah mengumumkan rencananya untuk mencalonkan diri dalam pesan video eksklusif kepada Aljazeera. Namun tiba-tiba mengumumkan mundur.
“Saya melihat bahwa saya tidak akan menjadi orang yang ideal untuk memimpin negara selama periode yang akan datang,” sebuah pernyataan yang diposting di akun Twitter Shafiq dibacakan pada hari Ahad.
“Jadi saya telah memutuskan untuk tidak mencalonkan diri dalam pemilihan presiden 2018 mendatang,” tulisnya.
Ahmed Shafiq dianggap sebagai pesaing terkuat, Abdel Fattah al-Sisi yang juga maju dalam pemilihan yang diperkirakan akan berlangsung awal tahun ini.
Baca: Mantan PM Mesir Ahmad Shafiq akan Mencalonkan Presiden .
Namun, Al Sisi belum mengumumkan secara resmi keputusannya untuk membahas postingan tersebut.
New York Times mengutip salah satu pengacara Shafiq, yang meminta tidak disebutkan namanya, mengatakan bahwa Rezim Mesir telah memaksa Shafiq menarik diri dengan mengancam akan menyelidiki kasus korupsi terhadapnya.
Pencalonan Shafiq kala itu menimbulkan kemarahan publik karena dianggapnya sebagai kroni Mubarak.
Ahmed kembali ke Mesir dari Uni Emirat Arab (UEA) bulan lalu, setelah mengungkapkan niatnya untuk memperebutkan jabatan tersebut.
Mantan komandan angkatan udara dan Menteri Penerbangan 76 tahun kalah dalam pemilihan presiden tahun 2012 oleh calon Ikhwanul Muslimin Mohamad Mursi sebelum melarikan diri dari UEA.
“Ketiadaan saya selama lima tahun menyebabkan kesenjangan bagi saya untuk mengetahui secara mendalam perkembangan dan kemajuan yang telah terjadi di negara ini,” kata Shafiq.
Dugaan korupsi Shafiq sebelumnya diumumkan Pemimpin Partai al-Wasat, Essam Sultan yang menuding ia menyalahgunakan jabatannya saat menjabat sebagai Komandan Angkatan Udara Mesir. Shafiq menjual tanah yang dimiliki Asosiasi Pilot Tempur Muda ke putra-putra Mubarak dengan harga yang sangat rendah.
Namun ia menepis tuduhan itu dan mengklaim, Sultan dibayar partai pesaingnya untuk menjadi informan.*