PADA tanggal 8 Februari 2016, salah satu tokoh kawakan JIL (Jaringan Islam Liberal), berinisial UAA, pernah membuat pertanyaan yang mengusik publik. “Jika benar Tuhan mengazab Sodom karena LGBT, kenapa Dia tak mengazab negeri-negeri yg menolerir LGBT sekarang?” tanyanya dalam twitter.
Membaca pertanyaan tersebut, penulis merasa agak geli. Ada dua premis yang diangkat dan sengaja dipertanyakan dan diperbandingkan ke ranah publik yang sepintas terkesan logis, namun jika diurai mengandung problem kerancuan berpikir yang begitu fatal.
Permasalahan diazabnya kaum Nabi Nuh, jumhur ulama sudah sepakat bahwa itu akibat dosa kaum Sodom yang melakukan perbuatan ‘fāhisyah’ (keji) berupa hubungan sesama jenis. Dalam khazanah fikih pun perbuatan itu adalah haram dilakukan. Dalam buku “al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-‘Arba’ah” (2003: V/125), Syekh Abdurrahman Al-Jaziri menunjukkan hukum homoseksual. Imam-imam madzhab sudah sepakat tentang keharaman dosa besar ini karena dalil-dalil yang sudah jelas.
Namun, ini seolah-olah terkesan diragukan oleh UAA dengan menyodorkan pertanyaan, “Jika benar Tuhan mengazab Sodom karena LGBT, kenapa Dia tak mengazab negeri-negeri yang menolerir LGBT sekarang?”
Di sini ada beberapa perkara yang coba dikait-kaitkan. Pertama, LGBT dosa kaum Nabi Luth. Kedua, kemudian mereka diazab lantaran dosa itu. Ketiga, kenyatannya negeri yang menolerir LGBT zaman sekarang tak diazab. Dengan sangat simplistik orang kemudian akan menyimpulkan: berarti kaum Nabi Luth diazab bukan karena LGBT dan dengan demikian LGBT bukanlah dosa.
Baca: Di Sidang IPU Jenewa, Delegasi Indonesia Tolak Legalisasi Penyebaran Paham LGBT
Membaca pertanyaan itu, penulis jadi ingat pertanyaan orang-orang kafir Qurays kepada Nabi. Dalam Surah Al-Anfal [8] ayat 32 mereka menyatakan;
وَإِذْ قَالُواْ اللَّهُمَّ إِن كَانَ هَـذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِندِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Jika yang dibawa olehmu (Muhammad) adalah kebenaran sejati, maka turunkanlah hujan batu dari langit atau datangkanlah pada kami azab yang pedih.”
Pernyataan itu bernada mencibir sekaligus ingin membungkam nabi. Pasalnya, jika nabi tak bisa menyanggupi tantangan mereka itu, maka konsekuensinya kebenaran yang dibawa nabi adalah kebohongan belaka. Sebab, tantangan mereka tak bisa dipenuhi.
Pernyataan semacam ini ada banyak dalam al-Qur`an. Di mana orang-orang kafir menentang atau merendahkan apa yang dibawa para Rasul dengan pertanyaan yang intinya: jika kamu benar maka azablah kami atau buktikan dengan siksa!
Namun, pada ayat berikutnya (QS. Al-Anfal [8]: 33) Allah memberi jawaban yang cukup menukik. Allah tak mengazab manusia karena dua hal. Pertama, masih adanya nabi di tengah-tengah mereka. Kedua, rajin beristighfar.
Baca: LGBT Urusan Kamar?
Jawaban Allah ini menunjukkan bahwa mengazab atau tidak adalah murni kehendak Allah bukan tergantung permintaan manusia. Di samping itu, tak berpengaruh dengan tantangan orang kafir mengenai kebenaran yang dibawa nabi.
Demikian juga dengan apa yang disampaikan oleh UAA. Tak diazabnya Negara-negara yang menolerir LGBT, bukan berarti LGBT itu dibenarkan dalam Islam atau tak berarti siksaan tak berkaitan dengan dosa yang dilakukan oleh suatu kaum.
Perhatikan bencana-bencana yang menimpa kaum-kaum terdahulu dalam al-Qur`an. Mereka harus merasakannya akibat dosa yang dilakukan oleh mereka. Itu pun setelah melalui proses peringatan dan dakwah terlebih dahulu kepada mereka. Baru kemudian Allah mengazabnya secara kontan yang menghancurkan satu kaum sekaligus.
Hanya perbedaannya, di zaman Nabi Muhammad tidak ada azab yang menghancurkan umat secara total seperti itu –sebagaimana surah Al-Anfal 33—karena dua alasan: masih ada nabi di sekeliling mereka dan mereka rajin istighfar.
Ada yang menarik dengan “rajin istighfar” dikaitkan dengan tidak diazab oleh Allah. Manusia itu adalah makhluk yang tak lepas dari dosa, maka istighfar adalah salah satu cara agar dirinya bisa bertaubat kepada Allah atas kekhilafannya. Pada saat yang sama kata itu menunjukkan bahwa siksa (bencana atau apapun namanya) itu ada hubungannya dengan dosa yang dilakukan hamba.
Hadits nabi yang diriwayatkan Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu berikut menguatkan:
أَمَانَانِ كَانَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، رُفِعَ أَحَدُهُمَا، وَبَقِيَ الْآخَرُ “، {وَمَا كَانَ اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَاللهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ} [الأنفال: 33]
“Ada dua (jaminan) keamanan pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di mana salah satunya sudah diangkat, sedang yang lainnya masih tetap ada. Yaitu –sebagaimana surah Al-Anfal 33—adanya Nabi Muhammad dan rajinnya mereka dalam istighfar.”
Tidak mengherankan ketika terjadi bencana gempa di masa nabi –sebagaimana riwayat Ibnu Syaibah—nabi menyarankan para sahabatnya untuk segera bertaubat. Pada saat gempa terjadi pada masa Umar pun, ia segera mengingatkan rakyatnya barangkali mereka telah bermaksiat. Umar bin Abdul Aziz pun, saat terjadi gempa, segara mengirim pesan ke penjuru negerinya agar segara mengecaluasi diri.
Sama halnya pada zaman Ibnu Mas’ud, di Kufah pernah terjadi gempa. Maka seketika itu juga Ibnu Mas’ud menyerukan agar orang-orang kembali (bertaubat) kepada Allah Subhanahu wata’ala. Ini menunjukkan bahwa adanya bencana terkait dengan maksiat dan dosa.
Menarik apa yang disebutkan Imam Thabari Rahimahullah dalam tafsirnya “Jaami’ al-Bayaan” (1420: 17/478). Beliau mengatakan bahwa terjadinya bencana supaya manusia mau untuk mengambil pelajaran, mengingat Allah dan kembali (bertaubat) kepada-Nya.
Lalu, apakah LGBT terkait dengan bencana di suatu daerah? Yang pasti bencana yang terjadi, salah satunya akibat dosa yang dilakukan hamba. Sedangkan LGBT adalah salah satu bagian dari perbuatan dosa. Apa bencana baru-baru ini di negeri ini ada kaitannya dengan LGBT? Mari bersama mengevaluasi diri.*/Mahmud Budi Setiawan