Hidayatullah.com | SUATU hari, Abdul Malik berujar di hadapan publik, “Barangsiapa yang senang melihat orang ahli surga, maka lihatlah kepada orang ini” (Wafayaat al-A’yaan, II, 419-431)
Beliau adalah Abu Abdullah Urwah bin Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab Al-Qurasy Al-Asadi. Seorang ulamah ahli fikih Madinah. Anak dari pasangan terhormat yaitu: Zubair bin Awwam dan Asma binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhum. Artinya, beliau adalah cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Saudara kandungnya bernama Abdullah bin Zubair yang masyhur dengan kesyahidannya.
Tidak berlebihan apa yang dikatakan oleh Abdul Malik. Salah satu kunci yang menggambarkan karakter luhur beliau adalah kesebaran dalam menerima takdir Allah.
Ibnu Khillikan menyebut beliau sebagai orang yang alim, saleh sekaligus memberi contoh tentang beliau sebagai orang yang sangat tabah dan sabar menghadapi takdir Tuhan.
Al-Kisah, Urwah bin Zubair pergi ke Madinah hendak menemui Walid bin Abdul Malik di negeri Syam. Waktu itu, beliau ditemani oleh anaknya: Muhammad bin Urwah.
Ketika perjalanan hendak dimulai. Musibah pertama menimpa. Anak kesayangannya itu, ketika masuk kandang ternak, tiba-tiba diinjak oleh binatang ternak.
Akibatnya, putra Urwah tersungkur dan meninggal dunia seketika. Dalam kondisi berduka seperti itu, beliau tetap melanjutkan perjalanannya ke Syam.
Sebelum melanjutkan perjalanan, ada kata menarik yang diucapkan beliau, “Segala puji bagi Allah. Anakku ada tujuh, kemudian Engkau ambil satu dan tersisa enam. Jika Engkau menguji, pasti memberi maaf; setiap Engkau mengambil, Engkau juga memberi.” Tidak ada keluhan dan rintihan dari beliau. Kira-kira, kalau kita yang mengalaminya, apa respons yang akan diungkapkan?
Setelah anak kesayangan meninggal, beliau mendapat ujian lagi. Kakinya tertimpa penyakit kudis yang sangat parah. Dokter-dokter pada waktu itu sudah angkat tangan karena penyakitnya sudah kronis.
Walid bin Abdul Malik pun menyarankan agar kaki beliau dipotong saja. Karena, kalau dibiarkan akan berbahaya bagi keselamatan tubuhnya.
Didatangkanlah para jagal. Ketika disarankan kepada beliau agar minum khamar (minuman keras) agar tidak merasa sakit, beliau menjawab, “Aku tidak akan memanfaatkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah hanya karena ingin sembuh.”
Disuruh meminum obat tidur pun beliau juga tidak mau. Ia bersikeras untuk tegar menahan rasa sakitnya. Di sela-sela hendak dipotong, beliau mengucapkan kalimat tahlil dan takbir.
Dalam riwayat lain, diceritakan bahwa momen pemotongan itu dilakukan sewaktu Urwah sedang shalat sesuai dengan permintaannya.
Seusai dipotong, beliau jatuh pingsan. Kemudian waktu siuman beliau membaca Surat al-Kahfi ayat 62, “Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”
Saat hasil potongan kaki itu dipegang tukang jagal, beliau meminta untuk memegangnya sembari berkata, “Demi Allah yang telah membawaku denganmu, sesungguhnya Dia mengetahui bahwa aku tidak pernah membawamu berjalan kepada keharaman.”
Sikap Urwah ini menunjukkan betapa tingginya kesabaran beliau dalam menerima takdir Allah. Mendapat musibah bertubi-tubi, bukan mengeluh malah memuji Allah. Ujian yang menimpa beliau, tidak sebanding dengan nikmat yang begitu banyak yang telah dianugerahkan Allah kepada beliau.
Salah satu amalan istiqamah beliau adalah setiap hari membaca seperempat al-Qur`an di mushaf. Dan dibaca juga pada malam hari. Kebiasaan ini tidak pernah ditinggalkan, kecuali hanya satu malam saat kaki beliau dipotong. Kemudian, setelah itu beliau kembali menjalankan kebiasaan baik itu.
Sebagai penutup, akan disebutkan salah satu keinginan atau cita-cita beliau:
منيتي الزهد في الدنيا والفوز بالجنة في الآخرة
“Harapanku adalah bisa hidup zuhud di dunia dan bisa beruntung mendapatkan surga di akhirat.” Sosok seperti ini, layak untuk dijadikan teladan dalam kehidupan setiap Muslim dalam menghadapi takdir Allah./ *Mahmud Budi Setiawan