Oleh: Ahmad Djalaluddin
Hidayatullah.com – CARA memahami wabah akan berdampak pada cara menghadapinya. Pihak yang menganggap covid-19 sebagai wabah, cenderung protektif. Tapi, bagi yang menganggapnya sederhana, biasa-biasa, akan cenderung longgar.
Bagi yang memandangnya sebagai fakta global (pandemik), tentu berbeda dengan yang melihatnya berdasar pengalaman pribadi. Yang kedua akan berkata, “Aku tetap sehat meskipun beraktivitas dan berinteraksi dengan khalayak.”
Namun menilai mashlahah (manfaat) dan mafsadah (mudharat), tak cukup hanya berdasar pengalaman pribadi. Apalagi asumsi. Karena itu dalam ushul fiqih ditetapkan syarat objektif bagi mashlahah -mafsadah.
Maslahah itu harus hakiki (riil), bukan wahmiyah (dugaan). mashlahah bersifat umum, bukan personal atau kelompok. Anggapan mashlahah tak boleh bertentangan dengan nash atau ijma` dan harus sejalan dengan maqashidusy-syari’ah (tujuan syariah). Dan mashlahah bersifat i (primer, mendesak).
Demikian pula dalam mengukur mafsadah, termasuk wabah. Besar-kecilnya wabah, berbahaya atau tidak, mesti terukur. Tidak cukup dengan dugaan atau berdasar pengalaman personal.
Bagi yang memahami dunia virus, mungkin akan berpendapat bahwa covid-19 itu kecil. Bisa disembuhkan. Pandangan ini tak salah karena ia berinteraksi dengan virus di laboratorium dan mungkin juga memiliki pengalaman yang bersifat kasuistik.
Tetapi, berbeda dengan dokter yang berhadapan dengan virus yang sudah menyerang tubuh manusia. Ditambah lagi, sang dokter melihat daya dukung sarana dan prasana yang minim untuk menghadapi wabah ini.
Di manakah posisi covid-19 sekarang?
Tentunya berdasar ukuran yang hakiki, dari sudut pandang umum-makro dan bukan personal, dalam koridor dharuriyyat (primer, termasuk jiwa), dan sebagainya.
Terinspirasi dari Ibnu Mubarak, Imam Ahmad, dan lainnya yang berkata, “Bila ada perbedaan pendapat, maka perhatikanlah apa yang dihadapi oleh ahli tsagri (pejuang lapangan) karena kebenaran bersama mereka. Sebab Allah Ta`ala memberi banyak subul (jalan) kepada pejuang.” (al-Ankabut [29]: 69). (Ibnu Taimiyah, Majmu` Fatawa, 2004).
Saya pernah bertanya tentang covid-19 kepada seorang dokter yang memiliki pengalaman lapangan. Katanya, “Covid memang berasal dari hewan. Dan karena suatu hal saat ini, covid bersifat zoonotic (dapat menular ke manusia) dengan efek yang lebih dahsyat inflamasinya.”
Fakta sekarang, penyakit ini sangat cepat penyebarannya. Fasilitas kesehatan belum memadai. Alat pelindung diri (APD) sekadarnya dan sangat minim. Obat yang mujarab belum ditemukan. Imunitas masyarakat terhadap masih diragukan. Penderita sakit yang rentan boleh jadi banyak.
Apakah covid-19 wabah kecil dan ringan?
Andai, bangsa ini memiliki rumah sakit dengan fasilitas lengkap untuk menangkalnya, obat mujarab berhasil ditemukan, masyarakat memiliki imunitas yang baik, penderita sakit yang rentan terdata dengan baik, mungkin tak akan ada physical distancing. Ini tak ubahnya seperti flu biasa.
Dengan menggunakan ukuran mashlahah -mafsadah, dengan membandingkan antara fakta covid-19 dan daya dukung untuk mengadapinya, dapat dikatakan bahwa masalah ini tidaklah sederhana. Walaupun mungkin di Wuhan saat ini sudah berubah situasinya, menuju “normal”.
Maka, yang terpenting saat ini adalah melakukan langkah-langkah konkret untuk “mengecilkan” wabah ini. Seperti ungkapan, “Bila kemiskinan itu seorang lelaki, maka aku bunuh ia.” (Najib al Mistakawi, Ibnu Batutah al-Riyadli, 1988. Ungkapan ini dinisbatkan kepada Ali Radliyallahu `anhu).
Untuk mengukur wabah menggunakan konsepsi mashlahah , maka untuk memeranginya juga dengan kaidah mashlahah . Yaitu jalbu al-mashlahah dan daf`u al-mafsadah. Melakukan segala hal yang mendatangkan manfaat dan menolak (menghindari) hal-hal yang menyebabkan kerusakan. (al-Ghazali, al-Mustashfa, 1993).
Daf`u al-mafsadah dengan cara mengurangi dan memperlambat penyebaran covid-19 melalui physical distancing, menjaga kebersihan dan imunitas diri. Dan jalbu al-mashlahah dengan kampanye positif (jangan panik dan jangan meremehkan), serta langkah-langkah konkret.
Semua patut ambil peran. Ungkapan seorang da`i, “Kullun minna yakhdumu al-ummah min khilaali takhasshushihi, masing-masing berkhidmah untuk bangsa dengan spesialisasinya. Bersinergi, bekerja sama, ta`awun dalam kebaikan himayat al-arwah (menjaga nyawa) menghadapi wabah besar agar menjadi kecil.
Para ilmuwan berjuang membuktikan hadits: “Ketika Allah Ta`ala menciptakan penyakit, Allah `Azza wa jalla juga menciptakan obatnya.” (Dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi).
Negara-negara lain sudah berusaha menemukan vaksin atau obat untuk covid-19. Mungkin mereka ingin mengeruk keuntungan di balik wabah. Mereka mengikuti tren atau menciptakan tren. Mereka berikhtiar meskipun dengan cara agak nakal dengan menguasai dunia pervirusan.
Mengapa kita tak menggunakan logika yang sama: apa yang saat ini dibutuhkan masyarakat, di situlah kita mengambil peran. Tentunya, dengan motif dan semangat yang berbeda dengan para kapitalis. Agar umat Islam tak selamanya menjadi konsumen vaksin dan obat-abatan yang meragukan.
Para pengusaha patut turut andil menambah stok alat pelindung diri (APD), agar terjangkau oleh semua lapisan tenaga medis. Juga agar masyarakat tidak takut mengurusi jenazah penderita covid-19, karena fasilitas APD terpenuhi dengan murah. Ini semua adalah ikhtiar untuk mengecilkan wabah ini.
Aghniya` (orang-orang kaya) dimungkinkan mengalihkan zakatnya untuk bidang kesehatan. Saat ini bisa mempertimbangkan pendapat yang memperluas makna sabilillah sebagai mustahiq zakat.
Sabilillah tak hanya dimaknai perang fisik. Zakat untuk menunjang penelitian tentang virus, vaksin, dan obat-obatan halal. Zakat untuk menunjang sarana bagi tenaga medis yang berada di lapangan bertarung untuk himayat al-arwah, sebagaimana perang juga untuk menjaga nyawa.
Kita berpacu dengan waktu. Bila langkah aktif sudah dilakukan (jalbu al-mashlahah), tapi mencegah penyebaran tak diperhatikan (daf`u al-mafsadah), mungkin diperlukan waktu agak panjang bagi mengecilnya covid-19. Demikian juga sebaliknya. Mashlahah itu harus dua sisi, yaitu jalbu al-mashlahah dan daf`u al-mafsadah. Wallahu a`lam bisshawab.*
Penulis adalah dosen Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang