Hidayatullah.com | Siapa yang tidak ingin punya anak yang shaleh? Tentu, itu adalah dambaan semua orang beriman. Karena anak shaleh harapan orang tua baik saat masih hidup terutama setelah meninggalkan dunia nanti.
Setidaknya ada 3 kriteria tanda anak shaleh. Pertama, bertanggungjawab atas beban hukum yang dibebankan kepadanya. Kedua, mendoakan kedua orang tua. Ketiga, faham ilmu agama.
Pertama, bertanggungjawab atas beban hukum yang dibebankan kepadanya
Setiap shalat kita terbiasa juga berdoa :
رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” [Surat Al-Furqan, Ayat 74].
Ya Tuhan kami, ربنا . Penggalan ini mengajarkan akan doa. Doa adalah senjata orang mukmin dan puncaknya ibadah. Doa dapat dilakukan kapan saja. Sebelum menikah, memilih pasangan, saat nikah dan ingin punya keturunan.
Anugerahi kami, هب لنا . Penggalan ayat ini mengajarkan akan memulai dari diri sendiri terdahulu baik dalam doa ataupun sebagai contoh dalam tingkah laku.
Dari pasangan kami, من ازواجنا. Berdoa dan memilih pasangan yang shaleh shalehah adalah bekal keturunan shaleh, وذرياتنا. Di dalam Tafsir Jalalain, ketaatan mereka yakni pasangan dan keturunan adalah menjadi penyejuk pandangan atau penyenang hati.
Jadikanlah kami imam bagi orang bertaqwa, واجعلنا للمتقين إماما. Bertanggung jawab salah satu ciri tanda anak shaleh. Ia mandiri, mampu melaksanakan beban beban hukum (taklif) syara sesuai usianya secara baik. Seperti belajar shalat atau beban syariat lainnya mendekati umur 7 tahun, mau melaksanakan saat umur 7 tahun dan mulai konsisten pada umur 10 tahun. Mampu mengatur atau jadi imam pada diri sendiri apalagi pada keluarga dan orang lain.
Kedua, mendoakan kedua orang tua
Anak shalehlah yang akan mendoakan orang tua saat tiada. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ :
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﷺ ﻗﺎﻝ : « ﺇﺫﺍ ﻣﺎﺕ ﺍﺑﻦ ﺁﺩﻡ ﺍﻧﻘﻄﻊ ﻋﻤﻠﻪ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺛﻼﺙ : ﺻﺪﻗﺔ ﺟﺎﺭﻳﺔ، ﺃﻭ ﻋﻠﻢ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ، ﺃﻭ ﻭﻟﺪ ﺻﺎﻟﺢ ﻳﺪﻋﻮ ﻟﻪ » ، ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: Apabila anak adam meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali 3 hal, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan kepadanya.” (Hadits riwayat Muslim)
Kemudian, dari keterangan hadits tersebut, (anak) mendoakan orang tua menjadi salah satu kriteria calon anak shaleh.
Nah, yang menjadi pertanyaan, apakah sudah ada usaha orang tua menuju kesana? Sudahkah anak-anak kita berada di jalan yang benar, sehingga kelak ada upaya mendoakan kedua orang tuanya ke arah itu?
Benarkah ketika kita dipanggil Allah, dia mampu mendoakan orang tuanya? Ini adalah pertannyaan yang besar dan penting. Karena itu sangat penting mengajarkan anak untuk mendoakan orang tua sejak dini. Karenanya wajib bagi para orang tua mengeraskan doa anak-anak sejak dini, selain sebagai pengajaran, agar orang tua tahu bahwa dia hapal doa-doa penting itu.
Ketiga, faham ilmu agama
Anak shaleh adalah anak yang taat kepada Allah dan Rasulnya dan anak yang dikehendaki kebaikan oleh Allah subhanahu wata’ala. Mereka adalah orang yang faham ilmu agama. Rasul ﷺ bersabda dalam haditsnya :
عن ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ : ” ﻣﻦ ﻳﺮﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻪ ﺧﻴﺮﺍ ﻳﻔﻘﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ” ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ
ﻳﻘﻮﻝ : ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻲ _ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ . _ ﻭﻣﻔﻬﻮﻡ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺘﻔﻘﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ – ﺃﻱ : ﻳﺘﻌﻠﻢ ﻗﻮﺍﻋﺪ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻣﺎ ﻳﺘﺼﻞ ﺑﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﺮﻭﻉ – ﻓﻘﺪ ﺣﺮﻡ ﺍﻟﺨﻴﺮ
ﻷﻥ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﻌﺮﻑ ﺃﻣﻮﺭ ﺩﻳﻨﻪ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻘﻴﻬﺎ ﻭﻻ ﻃﺎﻟﺐ ﻓﻘﻪ ، ﻓﻴﺼﺢ ﺃﻥ ﻳﻮﺻﻒ ﺑﺄﻧﻪ ﻣﺎ ﺃﺭﻳﺪ ﺑﻪ ﺍﻟﺨﻴﺮ
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka akan dipahamkan ilmu agama.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari berkata : Mafhum dari hadits sesungguhnya orang tidak belajar ilmu agama – yakni belajar kaidah Islam serta cabang-cabangnya- maka ditutup darinya akan kebaikan.
Karena sesungguhnya orang yang tidak tau urusan agamanya bukanlah orang yang faqih (faham agama) dan bukan penuntut ilmu fikih, maka pantas orang tersebut dikatakan orang yang tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah.
Sedangkan di hadits lain, ilmu didapat dengan belajar bukan karena keturunan.
انما العلم بالتعلم
“Sesungguhnya ilmu di dapat dengan belajar.” (HR. Imam Thabrani)
Sudah cukupkah pendidikan agama anak kita di rumah? di sekolah? Apakah cukup kalau hanya dengan alokasi 2 jam dalam sepekan di sekolah tiba-tiba anak kita jadi sholeh?
Bagaimana dia faham dan mengamalkan semua yang dia peroleh itu? Sementara di rumah waktunya justru lebih banyak dikendalikan gadget? Jika kita merasa belum cukup, maka orang tua harus khawatir dan cemas. Karena mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari hadits kedua di atas, orang yang tidak faham agama adalah orang yang tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah.
Naudzubillah min dzalik! Jangan sampai anak-anak kita tidak kenal Allah, karena mereka tidak mengerti perintah dan larangan Allah. Mereka tidak mengerti halal-haram dan akhlak-akhlak yang islami.
Terus, bagaimana ceritanya anak bisa berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul waalidain), bisa mendoakan orang tua saat meninggal dan bertanggungjawab terhadap beban (taklif) hukum yang dibebankan Allah kepadanya? Sedangkan mereka tidak diajari ilmu agama dengan cukup, baik di sekolah dan rumah.
Kita –para orang tua—justru lebih fokus urusan dunia. Lebih sikuk mengirim persiaoan olimpiade, sibuk les Inggris, les senam, les ini.. itu, yang sebenarnya jauh dari melahirkan ciri melahirkan keshalehan yang diinginkan Allah Subhanahu Wata’ala.
Maka jangan kaget, tiba-tiba banyak orang pinter, tapi lisan dan pemikiranya paling jahat menyerang agama Allah. Jangan kaget melihat orang-orang dengan gelar professor doktor, tapi paling sinis memandang syariat. Mereka pandai, tapi bukan sholeh.
Kita –para orang tua—mengukur ukuran baik dan buruknya bukan karena ridha Allah, tapi panitia olimpiade. Padahal, pandangan baik dan buruk seorang muslim adalah ridha Allah.
Sesungguhnya baik adalah segala sesuatu yang diridhai Allah dan buruk adalah segala sesuatu yang dibenci oleh Allah. Jika kita bisa mengenal ini, insyaAllah, kita siap mendidik anak kita menuju keshalehan.*/ Herman Anas, alumni Ponpes Annuqayah, Sumenep