Hidayatullah.com | TIADA rumus yang paling pasti daripada kematian. Karena kematian adalah pasangan dari nyawa (hidup). Hubungan keduanya bukan dualisme, akan tetapi relasi kontinuitas permanen.
Siklus mati, dihidupkan, mati dan dihidupkan kembali (QS: 40:11; 2:28). Kematian yang dimaksud tulisan ini adalah kematian kedua dalam siklus kehidupan sejati manusia.
Kematian adalah fenomena ragawi dan hakiki sekaligus. Secara ragawi, kematian adalah berhentinya fungsi hidup manusia (fungsi jantung dan otak).
Saat meninggal, jenazah dimandikan, dikafani dan disholati dan dikuburkan, hingga berpisahlah dari pandangan zhahir. Sedangkan secara hakiki kematian adalah meneruskan perjalanan ke tahapan berikutnya, yaitu alam barzakh, alam pembatas (yang tipis) antara dunia dan akhirat.
Kematian secara hakiki adalah prosesi kembali kepada Sang Pemilik, ibarat kembali ke kampung halaman, tempat ruh kita berasal. Karena asal kita dari kampung ruh, lama tak kembali menimbulkan rindu (homesick).
Sehingga saat kembali hati menjadi riang gembira. Jadi, para ahli hikmah berkata, kematian bukanlah hal yang menakutkan lagi, bagi jiwa atau ruh yang rindu kembali ke asal usulnya. Apalagi diseru untuk kembali kepada Allah.
يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ
ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
وَٱدْخُلِى جَنَّتِى
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS: Al Fajr [89]: 27-30).
Kemudian secara hakiki, kematian tidak bisa memisahkan ingatan dan kenangan akan Si Mayit. Berbagai citra Si Mayit akan “hidup” dalam ingatan para kerabat, sahabat dan dzuriyat. Baik buruk ingatan kadang tak lagi terlihat hitam putih, akan tetapi terlihat sebagai kenangan indah (indah meski tiada sempurna).
Secara hakiki kematian hanyalah berpindah alam, Sang Mayit dihidupkan kembali dalam alam yang berbeda, berjumpalah dengan mereka yang sama predikatnya. Berjumpa para pendahulu dari kerabat maupun sahabat. (Ibnu Qayyim Al jauziah, kitab ar Ruh). Amal kebajikan dunia jadi pembeda, jika banyak amal sholehnya maka, berkumpullah dalam bahagia, di dalam taman yang indah dan gembira. Jika sebaliknya, tak nyaman dicerita (semoga selamat kita daripadanya).
Banyak riwayat dari Nabi Muhammad ﷺ, maupun para sahabat (atsar) bercerita tentang rahasia alam barzakh. Dengan dunia, alam ini terhubung, bahasa awam, dapatlah dimisalkan kaca antara dua ruangan. Yang satu tak dapat melihat, yang lainnya dapat melihat, karena sebagian rahasia gaib sudah dibuka. Kita di dunia hanya berprasangka baik, kepada Allah Swt dan kehidupan alam berikutnya.
Berbagai amalan kita sampaikan, berbait do’a kita lantunkan, agar yang pergi selamat dan aman dalam menghadapi “kesunyian dan ketakutan” di alam barzakh.
Segala fardhu ditunaikan, segala hutang piutang diselesaikan dan segala daya upaya melepaskan kepergian. Meski hati terasa piwang, nelangsa merana, tiada terkata. Karena tak mau membebani yang pergi sendiri, dikuat-kuatkan hati kepada Ilahi.
Dalam dunia dan alam barzakh, jaraknya dekat sekalian jauh (transenden sekalian immanen), demikian dapat digambarkan umpama. Dikatakan jauh, tetapi dekat, dikata dekat terasa jauh. Salam kita yang hidup kepada ahlul kubur, akan dijawab para penduduknya.
Karena Allah kembalikan ruh kepada jasadnya. Tapak kaki para peziarah konon didengar oleh penduduk ahlu kubur. Apakan lagi lantunan Al-Quran dan do’a yang dipanjatkan, insyallah tersampaikan. Hanya ada 3 hal yang dilanjutkan; amal jariyah, ilmu bermanfaat dan anak yang sholeh.
Para sahabat dan ahli jiran berbondong, datang menghibur dan beramal sholeh. Membantu meringankan yang pergi serta yang ditinggalkan. Agar mendapat rahmat, ampunan dan kesabaran, dengan do’a dan bantuan tangan.
Oleh karenanya, para zhuriyat (keturunanya) janganlah lalai. Karena Si Mayit gembira, dzuriyatnya taat. Pada zaman kini jamak dijumpa, jiran dan sahabat sibuk beribadat, sedangkan dzuriyat hanya duduk melihat.
Oleh karenanya, belajarlah ilmu tentang kematian. Kalau tiada tahu pergi berguru, bertanya kepada ahlinya janganlah malu. Banyak tersedia pula di berbagai kitab, bab al janaiz (kitab jenazah) biasanya diberi judul. Dalam kitab fiqh dan kitab lainnya banyak dijumpa dan dibahas. Hendaklah ada di antara dzuriyat yang paham dan dalam, seluk beluknya, karena jiran dan sahabat sekedar berkhidmat.
Beruntung lagi jika berkesempatan, mengkaji sampai ke dasar ma’rifat. Kalau Tuhan hendak menurunkan hikmat, dapat kiranya “melihat” yang tiada kasat. Bertambah yakin akan akhirat, karena bashirah sudah mendarat. Wallah a’lam bi shawab.*/Eka Hendry, penulis adalah dosen IAIN Pontianak