Hidayatullah.com | SABAR dan takwa adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Jika di dalam diri seseorang ada takwa, pastilah di dalam dirinya ada pula sabar.
Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat Yusuf [12] ayat 90, “Sungguh siapa saja yang bertakwa dan bersabar, Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”
Dalam ayat yang agung ini, Allah Ta’ala mengawali firman-Nya dengan lafal “inna” sebelum menyebutkan kata “takwa” dan “sabar”. Ini bukti betapa kuat hubungan kedua kata ini.
Takwa dan iman juga erat hubungannya dengan pengorbanan. Tak ada orang yang beriman tanpa rela berkorban. Allah Ta’ala berfirman dalam al-Hujarat [49] ayat 15, “Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
Dari ayat yang mulia ini tergambar bahwa iman –dan juga takwa– pasti disertai dengan mujahadah yang sungguh-sungguh dan kerelaan untuk berkorban harta dan raga demi menegakkan agama Allah Ta’ala.
Dengan demikian kita juga bisa melihat betapa erat hubungan antara pengorbanan dan kesabaran. Tak ada pengorbanan yang sungguh-sungguh tanpa disertai iman dan kesabaran atas konsekuensi dari pengorbanan itu.
Lihatlah keluarga Yasir. Jika bukan karena sabar dan berharap janji Allah Ta’ala berupa surga, mana mungkin keluarga itu bisa kuat mengorbakan jiwanya menahan siksa kaum kafir Quraisy. Tatkala Rasulullah SAW melihat keadaan mereka, beliau menasehati, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir. Janji Allah untuk kalian adalah surga.”
Sudah menjadi sunatullah bahwa menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran butuh pengorbanan. Ini konsekuensi yang harus diterima dengan sabar oleh para juru dakwah. Jika seorang juru dakwah tidak memiliki stok sabar yang cukup, ia akan mudah mengeluh, lalu menyerah, tak kuat dengan tuntutan pengorbanan yang terus menerus muncul.
Untuk memperoleh gambaran tentang konsekuensi ini mari kita simak kisah tentang baiat aqabah 2 yang terjadi pada tahun ke 13 kenabian, ketika umat Islam berangsur-angsur hijrah dari Makkah ke Madinah. Rasulullah SAW ketika itu masih berada di Makkah karena beliau adalah rombongan terakhir yang berhijrah.
Saat itu, pada suatu malam, hampir 80 orang penduduk Madinah berkumpul secara sembunyi-sembunyi di suatu tempat bernama Sya’ab, Aqabah, di kawasan Mina. Dua di antara mereka adalah wanita.
Malam itu, mereka baru saja selesai melaksanakan ritual haji dan menunggu seorang laki-laki yang telah berjanji akan menemui mereka di sana. Mereka telah bertekad untuk mengucapkan ikrar kesetiaan kepada laki-laki itu meski harus berkorban harta, keluarga, bahkan jiwa. Laki-laki yang ditunggu tersebut tak lain adalah Muhammad Shallallahu alaihi Wasallam (SAW), manusia pilihan yang telah diangkat oleh Allah Taala sebagai Rasul.
Tak lama kemudian, Muhammad SAW tiba bersama pamannya, Abbas ibn Abdul Muthalib. Lalu, sebagaimana ditulis oleh DR Mahdi Rizqullah Ahmad dalam buku Biografi Rasulullah, Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber Otentik, terjadilah dialog antara Rasulullah SAW dan penduduk Madinah.
“Aku akan meminta kalian berbaiat untuk melindungiku seperti kalian melindungi isteri dan anak-anak kalian,” kata Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Jabir.
Barra ibn Marur, salah seorang di antara penduduk Madinah, dengan cepat menjawab, “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran sebagai seorang Nabi, kami sungguh-sungguh akan melindungimu sebagaimana kami melindungi anak-anak dan isteri-isteri kami. Wahai Rasulullah, baiatlah kami! Demi Allah, kami adalah orang-orang yang akrab dan terbiasa dengan peperangan dan pertempuran dari generasi ke generasi.”
Namun, sebelum Rasulullah SAW membaiat mereka, tiba-tiba Abbas ibn Ubaddah ibn Nadhlah, salah seorang warga Madinah yang tahun sebelumnya telah masuk Islam, mengingatkan kembali kepada kaumnya tentang hakikat dari baiat agar mereka benar-benar yakin dengan baiat tersebut. Ia tak mau ada dalih lain selain mencari keridhoan Allah Taala dalam baiat ini.
“Wahai kaumku,” kata Abbas, “Tahukah kalian, atas dasar apakah kalian akan melakukan baiat terhadap orang ini (Rasulullah)? Ketahuilah sesungguhnya kalian akan berbaiat untuk siap memerangi orang-orang musyrik yang berkulit merah maupun yang berkulit hitam. Maka, bila kalian masih memandang terampasnya harta kalian sebagai musibah dan gugurnya para pembesar kalian sebagai petaka, urungkanlah baiat kalian. Sebab, demi Allah, bila kalian melakukannya maka hal itu akan menjadi ejekan di dunia dan di akhirat.”
“Namun,” kata Abbas lagi, “Apabila kalian yakin akan mampu memenuhi janji kalian kepadanya untuk siap sedia mengorbankan harta kalian dan kehilangan para pembesar kalian, maka lakukanlah (bai’at itu). Karena, demi Allah, tindakan itu akan memberikan kebaikan kepada kalian di dunia dan di akhirat.”
Lalu, dengan serta merta masyarakat Madiah yang hadir di Aqabah itu menjawab, “Kami siap untuk kehilangan harta benda kami dan juga kehilangan para pemimpin kami. Lantas, balasan apa yang akan kami dapatkan dari semua itu, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab singkat, “Surga!”
Inilah iman yang melahirkan keikhlasan untuk berkorban. Iman ini akan diuji seiring berjalannya waktu. Jika mereka mampu bersabar di jalan Islam bersama Rasulullah SAW, maka luluslah mereka.
Kita ketahui dalam lintasan sejarah betapa hebatnya pengorbanan kaum Anshar untuk membantu dakwah Rasulullah SAW. Mereka telah membuktikan keimanan lewat kesabaran setelah berkorban jiwa dan harta.
Sungguh beruntung orang yang bersabar. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang dianugerahi (oleh Allah) sesuatu yang lebih utama dari pada kesabaran,” (Riwayat Abu Ya’la al-Maushuli).
Senada dengan itu, Allah Taala juga berfirman dalam al-Qur’an surat Azzummar [39] ayat 10, “Sungguh hanya kaum yang bersabar yang dicukupkan pahala mereka tampa batas.”
Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah Taala untuk terus berjuang, berkorban, dan bersabar.*