Oleh: Musfi Yendra
SALAH satu hikmah kurban adalah ‘menyembelih’ sifat hewani pada diri manusia. Rakus dan tamak merupakan sifat binatang buas. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam buku “Madarijus Salikin” menjelaskan bahwa pemuasan nafsu merupakan perbuatan manusia yang membuat mereka tidak berbeda dengan semua jenis hewan. Di antara jiwa manusia ada yang menyerupai jiwa hewan. Bahkan lebih dari itu.
Allah mengatakan;
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah. Mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah. Mereka mempunyai telinga tapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS: Al A’raf : 179)
Manusia juga diistilahkan homo homini lupus, yaitu ‘manusia adalah serigala bagi yang lainnya’. Lupus merupakan nama hewan dalam bahasa Yunani berarti serigala. Serigala diibaratkan sebuah kelicikan dalam berinteraksi antar sesama. Mengambil kesempatan dalam kesempitan. Menyerang lawan atau buruannya dengan cara keji. Menyingkirkan saingan dengan cara jahat.
Kehidupan yang kita jalani sebagai manusia pun seperti itu. Seperti kehidupan binatang, di mana banyak ‘manusia serigala’. Mengejar kekuasaan dengan curang. Halalkan semua cara. Mengadu domba manusia. Menjadikan orang miskin sebagai komoditas politik. Jika kekuasaan sudah didapat, ia nikmati bersama kolega dan keluarganya. Tak cukup sampai jabatan di tangan, pencitraan bak pahlawan terus dikampanyekan. Penguasa terlena dengan kemewahan, rakyat menangis lapar dan kesakitan. Ia bernyanyi-nyanyi di saat rakyat merintih.
Suami yang menjadi penguasa, istri ikut ‘menjarah’ negara. Terungkap kasus, ada pejabat negara ditetapkan tersangka karena ulah sang istri. Anak pejabat menjadi pemain proyek di kantor bapaknya. Oknum menteri terlibat korupsi. Jabatan belum selesai, malah diseret ke pengadilan. Ketua partai saat menjabat pun terjerat. Partai Islam atau Nasionalis sama saja. Ada yang masih tersangka, terdakwah dan inkrah. Semua akan berujung di penjara.
Anggota DPR pusat hingga April 2014 lalu sudah 74 orang terlibat kasus korupsi. Berdasarkan surat izin pemeriksaan yang dikeluarkan Kemendagri pada akhir 2012 sebanyak 431 anggota DPRD provinsi terjerat kasus hukum. Jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang terseret kasus hukum lebih banyak lagi mencapai 2.545 orang. Hingga Mei 2014 sudah 325 kepala daerah yang terlibat kasus. Paling banyak indikasi korupsi. Apa mau dikata, inilah bangsa kita. Malu… ya begitu.
Jika hewan memangsa sesama, cukup mengenyangkan perut pada hari itu. Tapi manusia mengkorup uang negara tak habis tujuh keturunan. Duh. Lebih ganas lagi ya. Perintah Al-Qur’an tegas melarang sogok menyogok. Eh pengadaan Al-Qur’an saja dikorup pula. Kementerian Agama mengurus haji. Haji rukun Islam kelima. Malah pejabat yang mengurus haji terindikasi menilep uang jamaah.
Belum lagi kasus amoral. Selingkuh, pelecehan seksual, pemakai narkoba, judi dan sebagainya. Ada pula yang mengaku sebagai binaan Yahudi. Parah. Kalau kita sebut satu persatu perangai oknum pejabat tentu tak akan berkesudahan.
Sifat hewani manusia bukan sekedar bicara pejabat atau rakyat. Tapi ini urusan kita sebagai manusia. Hamba Allah. Termasuk saya dan anda semua. Kita kadang tak pernah merasa puas. Jarang bersyukur atas begitu banyak nikmat. Padahal hidup ini hanya sesaat. Setiap helaan nafas harus disadari sebagai pengurang usia. Ujung kehidupan adalah akhirat. Alam dimana semua perbuatan dan perkataan dipertanggungjawabkan.
Hewan dan manusia jelas diciptakan berbeda. Manusia dilengkapi akal dan hati. Akal sehat manusia bisa membedakan mana yang bermanfaat atau tidak. Mana yang baik atau buruk. Merugikan orang lain atau bukan. Merusak alam, bangsa dan negara. Dengan hati kita harus mengimani Allah.. Bukan menuhankan harta, pangkat atau manusia.
Ibadah kurban memberi hikmah bagi kita. Menyembelih hewan kurban bukan sekedar memotong lehernya. Pelajaran keikhlasan yang diwarisi Ibrahim melalui peristiwa kurban adalah membuang sifat hewani pada diri kita. Kuncinya adalah keikhlasan. Sifat hewani manusia bisa dikendalikan atau dibatasi dengan syariat agama.*
Penulis adalah Branch Manager Dompet Dhuafa Singgalang