Hidayatullah.com | KITA semua tahu bahwa kitab suci Al-Quran membagi watak dan karakteristik setan dalam kategori jin dan manusia. Jadi, ada setan jin dan setan manusia. Kalau setan jin tentu tak bisa disentuh dan diraba secara kasatmata.
Tapi kalau setan manusia, ya memang berwujud manusia, memiliki segala panca indera dan organ-organ tubuh layaknya manusia. Bisa disentuh dan diraba secara kasatmata, namun karakteristiknya tak beda jauh dengan setan dalam bentuk jin.
Karakteristik yang paling menonjol adalah sifat dusta pada dirinya. Bukan sekadar berbohong karena suatu keterpaksaan, tetapi kebohongan itu telah menjadi bagian dari kebutuhan hidupnya.
Orang yang sesekali berbohong tak bisa dikatakan pendusta, apalagi bohongnya itu adalah bohong putih demi kemaslahatan. Misalnya, mengatakan bahwa hasil masakan sang istri cukup nikmat dan lezat, padahal kurang manis atau terlalu asin dan seterusnya.
Tetapi, bohong yang sudah menjadi kebutuhan adalah pekerjaan orang lihai dan cerdik. Di mana-mana ia berdusta untuk memenuhi hasrat amarah maupun hawa nafsunya. Bohong ini bersifat politis untuk memenuhi nafsu-nafsu keduniaan yang dikejarnya, bisa dalam bentuk keserakahan pada harta, wanita, maupun pada kedudukan dan popularitas semata.
Tersebutlah dalam kitab Tanbihul Ghafilin, Abu Laits As-Samarkandi menceritakan kembali pengalaman Abu Hurairah, pernah mendapatkan seorang pencuri yang mengambil simpanan di Baitul Maal yang dikumpulkan dari zakat orang-orang mampu di bulan Ramadlan. Si pencuri terpergok oleh Abu Hurairah, lalu dinyatakan bahwa orang itu mau dilaporkan ke Rasulullahﷺ, tapi kemudian ia berkata:
“Hurairah, maafkan saya, baru kali ini saya mencuri karena saya sangat membutuhkan bahan pangan untuk kebutuhan anak-anak saya. Maafkan saya, dan jangan hadapkan saya ke Rasulullah.”
Abu Hurairah memaafkan lelaki itu. Namun, keesokan harinya ia ditanya oleh Rasul mengenai adanya lelaki yang masuk ke gudang Baitul Mal, “Siapakah orang itu, wahai Abu Hurairah?”
Karena Rasul sudah tahu perihal lelaki itu, maka Abu Hurairah pun akhirnya menjelaskan, “Saya kasihan melihat dia, ya Rasul. Katanya, dia mengambil gandum itu untuk kebutuhan anak-anaknya, karena itu saya biarkan saja dia.”
“Kemungkinan orang itu akan datang lagi nanti,” kata Rasulullah ﷺ.
Benar saja, lelaki itu datang lagi dan mengambil sekarung gandum lagi di gudang Baitul Maal. “Anak-anak saya banyak, Hurairah. Jadi saya mengambil ini untuk kebutuhan mereka. Tolonglah, jangan laporkan saya ke Rasulullah…”
Beberapa hari kemudian, Rasulullah bertanya pada Abu Hurairah, “Bagaimana? Apakah lelaki yang pernah mencuri itu datang lagi?”
Tak mungkin bagi Abu Hurairah untuk membohongi Rasul. Maka, ia pun mengatakan sejujurnya bahwa orang itu telah datang dan mengambil sekarung gandum lagi. Kemudian, Rasul pun menyatakan bahwa orang itu, boleh jadi akan datang dan mengambil lagi.
Tak berapa lama, Abu Hurairah pun mendapatkan lelaki itu masuk ke gudang Baitul Maal, dan mengambil sekarung lagi. Lalu, dengan tegas Abu Hurairah memegang tangannya, “Kali ini sudah tiga kali saya memergokimu mengambil barang milik para fakir miskin. Saya sudah tak mungkin memaafkan lagi, dan Anda harus dibawa menghadap Rasulullah.”
“Hurairah, ini yang terakhir kalinya, sumpah saya tak akan mengambil lagi karena kebutuhan anak-anak kami sudah cukup. Tapi tolonglah jangan hadapkan saya ke hadapan Rasulullah… tolonglah, Abu Hurairah….”
Lelaki itu menjelaskan mengenai keahlian dirinya, bahwa ia punya kemampuan untuk menyembuhkan orang dari gangguan jin, dan ia punya rahasia agar membuat orang bisa tidur dengan nyaman dan tenteram.
“Rahasia apa itu?” tanya Abu Hurairah.
“Bacalah ini sebelum Anda tidur, maka Anda akan dapat tidur dengan tenang dan damai. Percayalah pada saya, wahai Abu Hurairah….”
Lelaki itu menyodorkan suatu tulisan yang berisi ayat Kursi secara lengkap, dan bunyinya sebagai berikut: “Allahu la ilaha illa hual hayyul qayyum, la ta’khudzuhu sinnatun wala naum, dan seterusnya….
Keesokan harinya ia pun berkata pada Rasulullah perihal amalan yang diberikan lelaki pencuri itu untuk ketenteraman dan kedamaian hidupnya.
“Lalu, dengan memberi amalan itu, lantas kamu bebaskan dia?”
“Benar ya Rasulullah,” jawab Abu Hurairah, “bukankah amalan itu sesuatu yang baik?”
“Iya benar, amalan itu baik adanya, dan kali ini apa yang dia nyatakan ada kebenarannya, tapi selama ini tak ada lain yang dia katakan hanyalah bohong dan dusta belaka.”
“Kok bisa begitu, ya Rasulullah?”
“Perlu saya beritahu kepadamu, Wahai Abu Hurairah, bahwa lelaki yang selama ini berjumpa denganmu itu adalah Syetan.”
***
Jadi, dusta dan tipudaya setan itu tidak bersifat hitam-putih. Ada abu-abunya juga rupanya. Sesekali dia bicara benar, walaupun dusta dan kebohongan adalah sifat aslinya.
Sedangkan, orang-orang baik dan jujur, kalaupun ia terpaksa berbohong, namun kebohongan itu demi kemaslahatan, bukan untuk kepentingan diri dan anak-istrinya semata. Di sini ada karakteristik Syetan yang memang lihai beradaptasi dengan manusia yang ditipu dan diperdaya olehnya.
Ketika dia menggoda orang sekelas Abu Hurairah, tentu ia berpenampilan cerdas, menarik dan meyakinkan, bukan setan sekelas ecek-ecek yang dungu dan bodoh belaka.
Kenapa orang itu tak mau dihadapkan kepada Rasulullah? Ia takut karakteristiknya terbuka dan terbongkar habis di hadapan Rasul. Ia paham Rasulullah itu seorang ahli jiwa yang pandai membaca watak dan karakteristik, bahkan melampaui kemampuan para psikolog manapun.
Padahal, kalau ia manusia normal, mestinya ia senang dihadapkan kepada Rasulullah yang merupakan sumber ilmu dan hikmah. Orang yang berbuat salah tetapi menyadari kesalahannya, dan ingin membenahi sifat buruknya, tentu dia akan senang hati dihadapkan kepada Rasulullah.
Adapun orang yang tak punya hati, dan tak punya itikad baik sama sekali, ia enggan untuk menyadari kekhilafannya. Dengan demikian, ia enggan pula untuk bertobat atas segala dosa dan kesalahan yang dilakukannya. Karena itu, para koruptor yang terbiasa mencuri dan merampok uang rakyat, tentu akan konek dengan orang pintar sekelas dukun atau kiai yang minim ilmu dan hikmahnya.
Tetapi, kiai yang berilmu, zuhud dan wara’, tentu figur-figur yang mendatangi dirinya adalah orang-orang yang butuh ilmu dan hikmah bagi perbaikan moral dan kemaslahatan dirinya dan orang banyak. Wassalam./ Enzen Okta Rifai