Hidayatullah.com | PELAJARI ilmu dari buain hingga liang lahat. Begitulah kira-kira cara Islam memajukan kaumnya untuk membangun sebuah peradaban.
Islam menjunjung tinggi kegiatan ahli ilmu. Rujukan untuk mendapatkan ilmu dimulai dari cara mendapatkan ilmu hingga kesahihan ilmu itu teruji. Bahkan keilmuan yang didapat pun diuji dengan amal.
Walhasil, para ahli ilmu di kalangan Islam sangat mendambakan buku-buku rujukan. Menumpuk buku dan dipelajari dan mengklasifikasikan kedudukan ilmu. Mereka bisa berlama-lama di tumpukan ilmu. Area itu disebut dengan Bayt al-Hikmah, kemudian kita mengenalnya dengan sebutan perpustakaan.
Bayt al-Hikmah yang sangat terkenal dan penuh dengan pesona ilmu ada di Baghdad. Sifat akademis tampak dari fungsi perpustakaan ini yang tidak sekadar mengoleksi beragam buku-buku atau artefak-artefak berharga, melainkan juga pusat studi dan aktivitas penerjemahan.
Baca: Baitul Hikmah dan Peranannya Terhadap Peradaban Islam
Seperti ditulis Raghib as-Sirjani dalam Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2009) mengklasifikasi perpustakaan dalam konteks peradaban Islam, diantaranya:
Pertama, perpustakaan akademi. Perpustakaan yang seperti ini sebagai arena pelacakan akademis para ahli ilmu sebagai pusat studi dan perbandingan ilmu untuk dipilah-pilah dengan pisau analisi keilmuan yang dimiliki kaum muslimin. Para sarjana dari beragam bangsa dan agama, baik Muslim maupun non-Muslim, aktif di sana.
Kedua, perpustakaan khusus. Jenis ini lebih bersifat swasta atau privat.
Banyak ahli ilmu Muslim masa itu yang memiliki perpustakaan dengan koleksi yang berlimpah.
Tidak sedikit pula tokoh-tokoh Muslim yang meyakini derajat sosialnya terangkat bilamana mendirikan perpustakaan besar. Di antara mereka adalah Khalifah al-Muntashir dari Dinasti Abbasiyah, al-Fatah bin Khaqan, Ibnu al-Amid, dan Abu Matraf.
Meskipun hanya berkuasa enam bulan lamanya, Khalifah al-Muntashir merupakan pemimpin populer di tengah rakyat. Dukungannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan begitu besar, termasuk dengan mendirikan perpustakaan. Selanjutnya, Ibnu Khaqan dikenal sebagai politikus ulung dan juga pencinta ilmu pengetahuan.
Baca: Baitul Hikmah dan Tradisi Tartar
Mantan gubernur Mesir dan Suriah pada zaman Abbasiyah itu memiliki perpustakaan megah di pusat kota Samarra (Irak). Sementara itu, Ibnu al-Amid merupakan pakar tata kota dari Persia. Sosok yang wafat pada 970 itu mendirikan perpustakaan besar di Ray yang pengelolanya antara lain adalah filsuf Ibnu Miskawaih. Adapun Abu Matraf mempunyai perpustakaan pribadi di Andalusia dengan banyak koleksi langka pada zamannya.
Ketiga, perpustakaan umum. Ini merupakan kebalikan dari jenis yang kedua. Dengan sokongan pemerintah setempat, perpustakaan umum di zaman keemasan Islam berdiri untuk melayani masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam hal ini, umat Islam meletakkan dasar-dasar manajemen perpustakaan modern.
Perpustakaan umum didirikan hampir disemua sektor publik seperti rumah sakit, tempat-tempat umum, masjid dan lain sebagainya.
Sebagai contoh, Perpustakaan Kordoba yang berdiri sejak tahun 961 di Andalusia. As-Sirjani menuturkan, di sana negara mempekerjakan sejumlah pegawai sesuai spesialisasinya. Ada yang bertugas memelihara buku-buku, mengumpulkan naskah-naskah, atau menentukan kapasitas rak dan penggolongan genre. Dengan demikian, publik dapat mengakses semua koleksi yang terdapat di dalamnya dengan mudah.
Keempat, perpustakaan sekolah. As-Sirjani menerangkan, di negeri-negeri Islam semua sekolah dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan. Sultan Nuruddin Mahmud dari Dinasti Zengid, misalnya, membangun 42 unit madrasah di Suriah. Setengah dari jumlah tersebut bahkan didanai dari uangnya sendiri.
Pembangunan madrasah-madrasah itu seiring dengan penguatan jaringan perpustakaan. Contoh lainnya adalah seorang menteri Sultan Shalahuddin, al-Fadilah. Di Kairo, Mesir, dia menyumbang 200 ribu buku untuk penyelenggaraan perpustakaan yang terintegrasi dengan madrasah.
Baca: Perpustakaan sebagai Jendela Peradaban
Kelima, perpustakaan yang tumbuh dari masjid-universitas. Untuk diketahui, universitas pertama di dunia adalah Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, yang berdiri sejak tahun 859.
Sejarah Al-Qarawiyyin bermula dari sebuah masjid dan perpustakaan yang didirikan Fatimah al-Fihri. Setelah menerima warisan dari ayahnya, seorang pedagang sukses, dia berinisiatif mengukuhkan masjid sebagai pusat kegiatan keilmuan masyarakat.
Perempuan ini pun mengundang para sarjana terkemuka dari penjuru negeri ke Fez untuk mengajar. Selanjutnya, perpustakaan Al-Qarawiyyin dilengkapinya dengan buku-buku koleksi pribadi. Belakangan, tiap sultan penguasa Fez terus menyokong warisan keluarga Al-Fihri itu sehingga tumbuh besar. Langkah-langkah yang ditempuh Al-Qarawiyyin belakangan ditiru pelbagai lembaga pendidikan Islam dan Eropa Kristen.*/ Akbar Muzakki