Hamka pernah dituduh melanggar Undang-undang Subversif Pempres No. 11, bahkan dituduh merencanakan pembunuhan Soekarno
Hidayatullah.com | DALAM buku “Hurmatu Ahlil-‘Ilmi” (322-323) karya Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam disebutkan bahwa orang yang menikmati dalam menggunjing bahkan menghina para ulama hendaklah berhati-hati karena dia bisa mendapat “su`ul-khatimah” (akhir hayat yang buruk).
Beliau mengisahkan satu contoh yang dikemukakan oleh Jamal al-Mishri. Muhammad bin Abdullah Az-Zubaidi, sewaktu hidupnya sering mengumpat dan memfitnah Imam An-Nawawi. Di akhir hayatnya –sebagaimana yang disaksikan Jamal– lidahnya melet dan menghitam sebagai tanda akhir hayat yang buruk.
Terkait hal ini, Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah pernah berujar, “Daging ulama itu beracun. Barangsiapa menciumnya, maka dia sakit. Barangsiapa memakannya, maka dia mati.”
Senada dengan hal tersebut, suatu hari Makhlad membicarakan keburukan seseorang di sampng Hasan bin Dzikwan, kemudian ia langsung ditegur oleh beliau, “Berhentilah! Jangan menyebut ulama dengan sesuatu (yang memburukkannya). Nanti Allah bisa mematikan hatimu.”
Penulis jadi teringat dengan kasus Ulama Besar Indonesia, Buya Hamka. Pada sepenggal hayatnya, ada masa-masa sangat sulit di mana beliau difitnah, dijelek-jelekkan, bahkan dihancurkan citranya oleh lawan politiknya. Akhirnya, nasib buruk pun menimpa mereka di akhir hayatnya.
Nasib Buruk Bung Karno
Pada Era Demokrasi Terpimpin. Beliau difitnah sedemikian rupa oleh Rezim Soekarno. Dalam buku “Tafsir Al-Azhar Jilid 1” (1987: 51), Buya Hamka menceritakan beberapa fitnah yang dituduhkan kepada beliau. Pertama, pada saat memberikan kuliah di I.A.I.N. Ciputat (Oktober 1963), beliau dituduh menghasut para mahasiswa untuk meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureueh, M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara.
Kedua, perjalanan beliau ke Pontianak awal 1963 dituduh membuat kontak dengan kaki-tangan Tengku Abdul Rahman. Artinya, Hamka dituduh melakukan tindakan subversif. Bahkan menurut rumor yang berkembang saat itu, ada tuduhan terlibat dalam upaya pembunuhan Soekarno.
Secara ringkasnya, bisa dibaca dalam buku “Ayah: Kisah Buya Hamka” (2016: 255-257). Dalam buku itu dijelaskan bahwa Hamka ditahan atas perintah Presiden Sioekarno, selama dua tahun empat bulan (1964-1966). Beliau dituduh melanggar Undang-undang Subversif Pempres No. 11 yang merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno.
Tak hanya ditahan. Buku-buku karya Hamka dilarang terbit dan beredar. Sampai istri Hamka pun juga merasakan getir pahitnya. Untuk menyambung hidup, beliau sampai menjual barang dan perhiasan miliknya.
Menurut cerita Hamka dalam buku “Hidup Itu Berjuang 75 Tahun Kasman Singodimedjo” (1982: 376), saat ditahan beliau diinterogasi dengan kasar, didesak, dihardik, diancam siang-malam, sampai pada momen ketika beliau sudah tidak kuat lagi, maka dengan terpaksa berpura-pura mengakui tuduhan keji itu.
Atas semua fitnah yang dituduhkan kepada Hamka apa Allah tinggal diam? Tidak. Rezim otoriter Soekarno pada akhirnya tumbang, khususnya setelah gagalnya pemberontakan PKI pada tahun 1965. Pada akhirnya, Soekarno kehilangan kekuasaan dan pada akhirnya meninggal saat menjadi tahanan politik.
Apa Hamka dendam? Sama sekali tidak. Inilah kebesaran hati ulama. Bahkan, pada 16 Juni 1970, saat mendapat berita bahwa Soekarno meninggal dan ingin dishalatkan Hamka jenazahnya, maka dengan hati lapang beliau menshalatkan orang yang dulunya pernah memfitnahnya.
Ketika Hamka ditanya mengenai perlakuan Soekarno kepadanya dan adakah dendam terhadap Soekarno, beliau menjawab, “Hanya Allah yang mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya, dia tetap seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik. Saya tidak pernah dendam kepada orang yang menyakiti saya.” (Irfan: 2016)
Nasib Pramoedya Ananta Toer
Pada awal tahun 1963, dalam surat kabar berbau komunis Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur dengan gencar melakukan serangan kepada Hamka. Novel “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” dituduh sebagai plagiat. Hamka dituduh mencuri karya Alvonso Care seorang pujangga Perancis.
Bintang Timur dalam kolom Lentera rupanya diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer. Bukan hanya fitnah yang dilancarkan. Bahkan juga tak jarang menyerang pribadi Buya Hamka. Dan itu sangat gencar diberitakan.
Martabat Hamka ingin dibabat habis. Akibatnya, keluarga Hamka mengalamai tekanan. Misalnya anak-anaknya yang saat sekolah merasa tertekan dan terhina akibat pemberitaan itu dan perlakuan gurunya.
Ketika, upaya pemberontakan PKI gagal, tak jauh dengan nasih orang-orang Komunis, akhirnya Pramoedya ditahan di pulau Buru. Bertahun-tahun lamanya ia harus hidup dari tahanan ke tahanan.
Tapi, apa Hamka dendam? Sama sekali tidak. Malah, ketika putri Pram dan calon menantunya ingin belajar agama, beliau sambut dengan baik.
Sastrawan Taufik Ismali mengisahkan, pada tahun 1969 Hamka diundang ceramah oleh Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Di antara yang menarik dari acara itu adalah pada sesi Tanya-jawab. Waktu itu, yang terkait dengan tema bahasan ini, beliau ditanya dua hal.
Pertama, pendapat beliau mengenai pelarangan buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Kedua, mengenai sikap beliau kepada Pramoedya yang telah menghancuran citranya saat di Lentera atau Bintang Timur terkait kasus plagiasi hingga akhirnya beliau dipenjara akibat fitnah tentang percobaan pembunuhan Presiden Soekarno.
Apa jawaban Hamka? Ternyata di luar perkiraan. Orang yang pernah dizalimi, difitnah dan dicitrakan buruk, sah-sah saja membalas dengan yang setimpal. Tapi, tidak demikian dengan Buya Hamka. Beliau begitu berlapang dada dan luas hatinya.
Untuk pertanyaan pertama, Hamka menjawab dengan sangat tegas tidak setuju atas pelarangan buku Pram itu, meski pada masa sebelumnya buku-buku Hamka sempat dilarang di akhir Orla. Menurut ulama karismatik ini, filsafat Pramoedya adalah cinta.
Lebih lanjut beliau mendandaskan, “Kalau tidak suka pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku pula.” Dengan bahasa lain, ide mesti dihadapi dengan ide atau gagasan perlu dihadapi dengan gagasan, bukan tindakan-tindakan persekusi yang bertentangan dengan hukum.
Inilah salah satu bentuk kebesaran hati Hamka. Namun, dari kisah-kisah tadi menunjukkan fakta penting bahwa seberapa besar pun rasa maaf yang dimiliki Hamka, Allah tidak berdiam diri kepada orang-orang yang memfitnahnya. Fitnah dan tuduhan keji itu bahkan dibalas-Nya sejak di dunia. Ini sebuah pembelajaran luar biasa bagi siapa saja yang suka semena-mena menuduh, memfitnah, menjelekkan, mendiskreditkan dan mencela ulama. Sebesar apapun kekuasaan, tidak akan berlangsung lama. Allah Maha Melihat dan Membalas, dan Dia tidak akan membiarkan kekasih-Nya disakiti.*/Mahmud Budi Setiawan