Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Ilham Kadir
Memang, selama ini, Seljuk dan Abbasiyah yang Sunni (Ahlus Sunnah) selalu tidak akur dengan Fathimiyah yang berpaham Syiah, dan kedatangan pasukan Salib yang menguasai negeri-negeri Sunni adalah laksana hadiah dan bala bantuan bagi Dinasti Syiah Fathimiyah.
Karena itu, Dinasti Fathimiyah mencoba membujuk Kaum Salibis, bahwa ia ingin Yerussalem di bawah kendalinya, dan Pasukan Salib dapat masuk ke kota suci itu sebagai tamu terhormat. Tapi, pasukan Kristen itu menjawab, bahwa mereka tidak butuh perlindungan, untuk Yerussalem, mereka akan datang dengan ‘Pedang Terhunus’.
Pasukan Salib, datang melintasi kota-kota kosong sebelum sampai ke Yerussalem. Para penduduk lari bersembunyi ketika mereka lewat. Sesampai di Kota Suci, Yerussalem, mereka terkendala dengan dinding kota yang terkunci dengan tembok begitu perkasa dan tinggi. Pengepungan terjadi selama empat puluh hari, lalu mereka mencoba menggunakan taktik seperti sebelum masuk Ma’ara. “Buka pintu gerbang, tak seorang pun akan dirugikan, “ kata mereka pada Pemerintah Yerussalem.
Setelah masuk kota suci, Pasukan Salib terlibat pembantaian dan pertumpahan darah. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki di sepanjang jalan. Mereka menumpahkan darah ‘orang kafir’ (istilah mereka kepada umat Islam) hingga darah umat Islam kala itu digambarkan sampai selutut.
David M. Crowe dalam bukunya “War Crimes, Genocide, and Justice: A Global History” menggambarkan, setelah pertempuran Antiokhia, Tentara Salib membunuh semua orang di kota itu dan menjual perempuan dan anak-anak dalam perbudakan. Juga membunuh semua Muslim dan Yahudi di Jerussalem. Menurut catatan, Tentara Salib membantai lebih dari 70 000 Muslim dan Yahudi di kota itu dalam jangka hanya dua hari.
Awalnya orang Yahudi mencari aman dengan mengungsi ke sinagoge utama mereka yang besar, tetapi ketika kumpul di sana untuk berdoa dan keselamatan, Tentara Salib justru menutup semua pintu dan jendela, lalu membakar bangunan itu menghanguskan hampir seluruh warga Yahudi Yerussalem dalam sekali sambar.
Penduduk asli yang Kristen pun tidak benasib begitu baik. Ini karena tak satu pun dari mereka sebagai jemaat Gereja Roma, melainkan berasal dari gereja Timur seperti Yunani, Armenia, Koptik, atau Nestorian.
Pasukan Salib Franj memandang mereka sebagai sempalan dan ahli bid’ah akidah juga ibadah, dan sebagaimana mereka pandang, bid’ah kadang lebih buruk daripada kafir. Akhirnya, Franj menyita harta milik penganut Kristen Timur ini lalu mengirim mereka ke pengasingan.
Pencaplokan Yerussalem menjadi titik penting dalam invasi Franj. Pasukan Salib yang menang lalu memproklamirkan kerajaan Yerussalem tempat yang menduduki peringkat tertinggi di antara keempat negara lebih kecil yang berhasil direbut Tentara Salib Franj, lainnya adalah kerajaan Antiokhia, Kabupaten Edesse, dan Tripoli.
Itulah keempat negeri yang menjadi kerajaan Tentara Salib, berkembang dalam kemuraman selama beberapa dekade. Kedua belah pihak terus mengalami bentrokan secara sporadis selama beberapa dekade, Salibis Franj kerap memenangkan pertempuran melawan kaum Muslimin, tapi kerap pula menelam kekalahan.
Memukul umat Islam, atau terkena pukulan, dan mereka juga kerap bertengkar antar sesama, sebagaimana kaum Muslimin. Bahkan, kadang terpaksa akur dengan mengadakan kesepakatan bersama pengkhianat dari dari kedua belah pihak. Islam dan Kristen.
Dalam satu pertempuran Raja Tancred yang Kristen dari Antiokhia berperang melawan amir Muslim Jawali dari Mosul. Sepertiga dari pasukan Tancred saat itu terdiri dari prajurit Aleppo, yang bersekutu dengan Kaum Hashashin dan memiliki hubungan erat dengan para Tentara Salib.
Hashashin
Namun, tidak semua perang dan kekacauan antarsesama umat Nabi Muhammad berlangsung secara spontan, sebab, ada yang bermain di belakang layar, menjadi skenario dan produser, supaya umat terus menerus berada dalam kubang perselisihan.
Hashashin, sibuk di belakang layar, menjadi aktor dan produser kenistaan. Misalnya, tepat sebelum Perang Salib dimulai, Hassan Sabbah telah mendirikan basis operasi kedua di Suriah, dikelolah oleh bawahan yang kelak dijuluki oleh Tentara Salib sebagai Si Tua dari Gunung (the old man of the mountain).
Pada saat perang berlangsung hampir semua yang bukan Hashashin benci pada Hashashin, setiap kekuatan di negeri itu berusaha memburu mereka, musuh kaum Hashashin, termasuk Dinasti Fathimiyah yang berpaham Syiah, dan tentu saja negeri-negeri Sunni, seperti Turki Seljuk, dan Khalifah Abbasiyah. Pada saat yang sama, Tentara Salib pun berperang melawan seluruh musuh Hashashin. Maka secara de facto Hashashin dan Tentara Salib Franj memiliki himpunan musuh yang sama, sehingga mereka bersekutu, sebuah kolaborasi yang sempurna.
Hashashin yang lebih populer di Barat dengan sebutan “Assassin” adalah salah satu cabang dari Syi’ah Ismailiyah. Mereka mendirikan beberapa pemukiman di Suriah, Iran, Iraq, dan Libanon. Mereka mengirim orang yang berdedikasi untuk membunuh pemimpin dan takhta”, (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Hashashin). Tentu saja sangat keliru jika menyederhanakan Hashashin hanya sekadar ‘Pembunuh Bayaran’ seperti dimaknai dalam kamus Barat. [Baca juga: Assassin: Pemburu Maut dari Lembah Alamut (1)]
Mereka lebih pada kelompok teroris, mafia dan bandit dengan jumlah pasukan memadai, terorganisir dengan rapi, terlatih dengan apik, memiliki kemampuan membunuh siapa dan apa pun yang dapat dilihat mata kepala. [Baca: Korban-Korban Assassin]
Disebut teroris karena kerjaan mereka selalu menebarkan teror di seluruh penjuru negeri, sebagai mafia, mereka sangat oportunis, dapat bersekutu atau bekerja dengan siapa pun yang penting menguntungkan, termasuk jin dan iblis, dan sebagai bandit karena tidak ada hukum yang ia taati kecuali hukum sesuai dengan kepentingan, dan jika menguntungkan mereka.
Hashashin, lebih didorong oleh ideologi Syiahnya, yang memandang, bahwa umat Islam mana pun, selain dari sekte mereka sesat dan harus ditumpas. Maka, kolaborasi dengan para Kesatria Salib adalah sebuah kesempurnaan untuk menghancurkan umat. Hashashin (dari dalam) sementara kelompok Salibis Franj (dari luar).
Tidak ada yang tahu secara pasti, kapan Hashashin ini muncul, namun menurut Dr Syamsuddin Arif, yang pakar dalam segala aspek terkait Ibnu Sina (980-1037 M) menyebut bahwa Ayah Ibn Sina yang menjabat sebagai gubernur Bukhara di bawah Khalifah Al-Amir Nur bin Mansur, kerap menyetor upeti sebagai ‘jatah preman’ pada kawanan Hashashin. Lalu di sinilah muncul persepsi liar dari kalangan Syiah bahwa Ibnu Sina adalah penganut Syiah. Padahal tidak ada bukti dalam bentuk apa pun, jika ia menganut aliran menyesatkan tersebut, andai itu benar, maka pasti dapat dilacak dalam karya tulisnya yang mencapai 450 buah. Hanya saja, didapati beberapa pandangannya dalam ranah akidah dipandang menyimpang, namun tidak mengeluarkan dirinya dari Ahlus Sunnah apalagi sebagai Muslim.
Dalam situasi yang kacau balau di negeri-negeri Muslim. Seruan jihad di kumandangkan beberapa ulama dan pemimpin Islam. Tapi, sebagian besar umat melihat bahwa jihad adalah hal aneh, kata itu hanya ada dalam kitab dan diktat, bukan dalam realisasi dengan mengangkat senjata atau dalam arti qital. Perang, saat itu bagi umat Islam semacam perpecahan dan kekacauan yang terus terawat.
Selama abad pertama invasi Pasukan Salib Franj, setiap kali kaum Muslim mulai bergerak ke aras persatuan, Hashashin membunuh para tokoh kunci, yang memantik gejolak baru.
Misalnya, pada tahun 1113 M, Gubernur Mosul mengadakan konferensi para pemimpin Muslim, untuk mengatur serangan bersatu melawan Franj. Akan tetapi, tepat sebelum pertemuan dimulai, seorang pengemis mendekati gubernur dalam perjalanan ke masjid, pura-pura meminta sedekah, lalu tiba-tiba ia menikamkan sebilah pisau di dadanya dan, rencana serangan itu pun pupus.
Sebelas tahun kemudian, 1124, agen Hashashin membunuh ulama paling berpengaruh kedua yang menyerukan jihad. Tahun berikutnya, sekelompok yang diduga sufi menyerang dan membunuh seorang khatib yang selalu menyulutkan api jihad.
Tahun 1126, Hashashin kembali membunuh Al-Borski, raja tangguh Aleppo dan Mosul yang, dengan menyatukan kedua kota besar itu, dapat membentuk benih sebuah negara Muslim bersatu di Suriah.
Baroski bahkan telah berjaga-jaga dengan mengenakan baju besi di bawah pakaiannya, karena ia tahu, Hashashin mengintai. Tetapi saat beberapa sufi gadungan menyerangnya, salah satu dari mereka berteriak, “Sasar Kepalanya!” Rupanya, ,mereka tahu tentang baju besinya. Akhrinya, Baroski pun tewas.
Putra Baroski naik tahta, seperti ayahnya, ia kembali menyerukan persatuan untuk melawan Pasukan Salib, namun, Hashashin kembali membunuhnya. Lalu empat bersaudara mengklaim tahta kembali membenamkan Suriah dalam kubang perang antara sesama saudara.
Sejak awal Perang Salib, pembunuhan demi pembunuhan terhadap tokoh-tokoh kunci berpengaruh kerap terjadi, walaupun beberapa peristiwa tidak terbukti sebagai perbuatan Hashashin, namun ibarat sinetron yang diputar berulang-ulang, pembedanya hanya pada setting waktu dan sasaran. Namun aktornya cenderung itu-itu saja, maka masyarakat lambat-laun akan tahu dan mengarah pada satu muara: “Teroris Hashashin!” (Bersambung)
Peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) BAZNAS-DDII; Kandidat Doktor Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Bogor