Sambungan artikel PERTAMA
Kondisi Internal Umat Islam
Tampilnya Tartar di panggung sejarah dunia sampai dimitoskan menjadi bangsa digdaya, bukanlah terjadi sekonyong-konyong. Selain faktor eksternal berupa hasutan tentara Salib terhadap Jengis Khan untuk menghancurkan eksistensi Islam melalu tangan tentara Mongol, di tubuh internal umat Islam sendiri kondisinya juga begitu memprihatinkan. Sebab, umat Islam hanya bisa dikalahkan ketika kekebalan tubuh internal mereka lagi menurun dan rentan.
Dr. Raghib As-Sirjani dalam buku Qishshatu al-Tatâr min al-Bidâyah ilâ Ain Jâlût (2006: 376-386) mendiagnosa sepuluh penyakit akut yang menggerogoti tubuh umat kala itu.
Pertama, tidak memiliki identitas (kepribadian) Islam yang jelas. Kedua, perpecahan umat Islam. Ketiga, gaya hidup mewah dan terpesona dunia. Keempat, meninggalkan etos jihad. Kelima, mengabaikan persiapan materil militer. Keenam, krisis keteladanan (kepemimpinan). Ketujuh, adanya para pemimpin berwala (loyal) dan bekerjasama dengan musuh-musuh umat Islam. Kedelapan, frustrasi. Kesembilan, menyerahkan urusan bukan kepada ahlinya. Kesepuluh, ketiadaan musyawarah.
Baca: Tragedi Aleppo: Antara Bashar al Assad dan Hulaghu Khan [1]
Kondisi umat yang sedemikian lemah ini tentu sangat memuluskan jalan Tartar menguasai wilayah umat Islam. Jatuhnya wilayah Khawarizmi Syah (617 H) hingga runtuhnya Baghdad (656 H) sebagai bukti nyata bahwa penyakit-penyakit yang mendera umat Islam sedemikian kronis.
Kemenangan berturut-turut ini tentu saja membuat Tartar besar kepala dan jemawa sehingga menyebar mitos bahwa Mongol adalah bangsa digdaya yang tidak mungkin dikalahkan. Bahkan, bangsa yang mendengar nama Tartar, sudah ciut lebih dulu.
Runtuhnya Mitos Kedigdayaan Tartar di Bulan Ramadhan
Setelah berhasil membumihanguskan Baghdad (atas kerjasama dengan Menteri Syiah Muayyiduddin Alqami), destinasi serbuan selanjutnya adalah Mamalik Mesir. Sebelum serbuan Tartar (dibawah pimpinan Kitbugha) dilancarkan, mereka mengirim utusan untuk menggertak dan menakut-nakuti Dinasti Mamalik.
Mengingat dinasti Mamalik pada waktu itu dipimpin oleh Sultan berusia belia. Namanya: Nuruddin Ali. Dengan terpaksa Saiduddin Quthz mengambil alih kendali untuk menghadapi serbuan Tartar.
Baca:Tragedi Aleppo: Antara Bashar al Assad dan Hulaghu Khan [2]
Menghadapi ancaman demikian, Saifuddin Quthz sama sekali tidak gentar. Malahan, utusan itu dibunuh karena dianggap sebagai spionase Kitbugha untuk menyerang Mamalik. Tentu saja perbuatan Saiduddin ini membuat orang Tartar naik pitam dan akan segera melakukan penyerbuan.
Dalam kondisi demikian, kita bisa melihat bagaimana kepiawaian figur Saifuddin Quthz ini. Sultan yang masih mempunyai hubungan darah dengan Sultan Muhammad Khawarizmi Syah ini dengan cekatan menstabilkan kondisi masyarakat.
Beliau membuat langkah-langkah strategis: bersinergi dengan ulama (waktu itu menggaet ulama kawakan Izz bin Abdussalam yang berusia 80 lebih), menyatukan umat, membesarkan jiwa mereka, menggalang dana (dimulai dari sendiri dan pejabat), menyulut kembali ruh hihad, dan taktik perang yang sangat cerdas.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sultan Saifduddin memilih strategi menyerang, dan memilih Ain Jalut sebagai medan pertempuran. Menariknya, beliau bukanlah tipikal pemimpin yang pandai berkoar, tapi turung langsung ke medan perang yang membuat semangat umat ikut berkobar.
Pada akhirnya, mitos kedigdayaan Mongol (yang menjadi negara adikuasa dalam waktu yang cepat dan singkat), seketika runtuh pada 25 Ramadhan 658 Hijriah atau bertepatan dengan 6 September 1260 Masehi.
Ramadhan menjadi momentum luar biasa yang semakin memupuk perjuangan mereka. Bulan agung ini mengingatkan mereka pada pertempuran Badar Kubra, Fathul Makkah, Pembebasan Andalusia dan lain sebagainya. Lawan yang dihadapi Mongol kali ini, sama sekali berbeda dengan lawan-lawan sebelumnya.
Dinasti Mamalik memiliki pemimpin yang kuat, persatuan umat yang mantap, serta didukung dengan ulama rabbani yang tidak takut mati. Dalam jiwa mereka hanya ada dua kemungkinan: hidup mulia atau mati syahid. Maka tidak mengherankan jika kemenangan gemilang bisa digapai mereka. Wallâhu alam.*/Mahmud Budi Setiawan