WAHAB bin Munabbih’ –seorang tabiin– mengatakan, “Saya mendapati kandungan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berisi: setan tidak pernah menghadapi musuh terberat, selain daripada orang beriman yang berakal. Setan bisa saja menggiring seratus orang bodoh dan mengendalikan mereka hingga mereka benar-benar tunduk patuh mengikuti kehendaknya. Namun, setan akan merasa kesulitan dan berjuang keras menghadapi orang beriman yang berakal. Dia sangat kesulitan menaklukkan hamba Ilahi yang seperti ini meski hanya sedikit saja.”
Wahab melanjutkan, “Melenyapkan gunung setapak demi setapak jauh lebih mudah bagi setan ketimbang menghadapi orang beriman yang berakal. Dan, jika setan tidak mampu menaklukkannya, maka dia akan beralih kepada orang bodoh. Terhadap orang ini, setan akan berupaya keras untuk menawannya sehingga dia berhasil memperbudaknya. Dia mampu menjerumuskannya menuju kebinasaan dan kehinaan dunia, yaitu berupa dicambuk, dirajam, dipotong, disalib, dan dipermalukan di khalayak ramai. Sementara di akhirat kelak, orang ini akan menerima kehinaan, api neraka, dan bencana besar.”
Nilai kebaikan antara dua hamba Ilahi bisa saja sama, tetapi mengenai keutamaan akal pikiran di antara keduanya bagaikan antara timur dan barat. Tidaklah Allah disembah dengan sesuatu yang paling baik selain dengan akal.
Mu’adz bin Jabal –termasuk seorang sahabat pilihan dan ahli fikih– mengatakan, “Seandainya orang yang berakal mempunyai dosa berlipat seperti bilangan pasir di kala pagi dan sore hari, maka dia dapat dengan cepat menyelamatkan dan membebaskan dirinya dari semua dosanya itu. Seandainya orang yang bodoh mempunyai kebaikan dan amal saleh sejumlah bilangan pasir, namun bisa saja nanti tak tersisa sedikit pun untuknya.”
Kemudian ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Mu’adz menjawab, “Jika orang yang berakal bersalah dan melakukan dosa, dia akan menghapusnya dengan segera bertobat dan meminta ampun kepada Allah. Sementara, orang yang bodoh, dia laksana pekerja yang membuat bangunan lalu merobohkannya kembali, karena dengan kebodohannya dia merusak amal salehnya.”
Al-Hasan mengungkapkan, “Agama seseorang tidak akan sempurna hingga akalnya sempurna. Tidaklah Allah menganugerahkan akal kepada seseorang melainkan pada suatu saat nanti Dia akan menyelamatkannya berkat akal yang dianugerahkan-Nya itu.”
Seorang ulama menuturkan, “Seseorang yang tidak memanfaatkan akal pikirannya secara optimal, maka kebinasaan dan kehancuran akan senantiasa menyertainya.”
Yusuf bin Asbath mengatakan, “Akal pikiran adalah lentera bagi yang terselimuti, perhiasan bagi yang terlihat, komandan bagi tubuh, dan pemantau bagi urusan manusia. Kehidupan tak akan berarti tanpanya, dan segala sesuatu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya kecuali dengan menyertainya.”
Seseorang pernah bertanya kepada Abdullah bin Mubarak, “Setelah Islam, perkara apakah yang paling utama yang dianugerahkan kepada seseorang?” Abdullah lalu menjawab, “Akal pikiran.”
Orang itu terus-menerus bertanya padanya, “Kalau itu tidak ada?”
“Budi pekerti yang terpuji”
“Kalau itu tidak ada?”
“Saudara yang saleh, yang selalu menasihatinya.”
“Kalau itu tidak ada?”
“Berdiam yang lama.”
“Kalau itu juga tidak ada?”
“Kematian yang segera menjemputnya.”*/Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, dari bukunya Bercinta dengan Allah.