BERBAGAI musibah dan bencana yang bertubi-tubi menghantam bangsa ini, nampaknya bukan hanya memporak-porandakan harta dan jiwa saudara-saudara kita, tapi juga berpeluang menghancurkan mental dan motivasi. Bukan tidak mungkin bila masalah-masalah itu terus berlarut-larut, kita bisa merasa lemah dan tidak punya semangat untuk bangkit.
Padahal, sebenarnya kitalah yang menciptakan masalah melalui persepsi negatif terhadap kejadian-kejadian hidup; masalah yang besar bisa dikecilkan, jika kita mau mengecilkannya. Masalah yang kecil bisa dibesarkan, jika kita memang menghendakinya.
Jika kita terbiasa membesar-besarkan masalah kecil, maka semua masalah menjadi besar. Sebaliknya, jika terbiasa mengecilkan masalah dan membesarkan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT), maka kecillah semua masalah di dunia ini.
Jika kita memandang bangsa Indonesia adalah bangsa yang lemah, tidak memiliki potensi, tidak kredibel, dan tidak memiliki kemampuan untuk bangkit, maka percayalah, setiap hari kita akan senantiasa menjadi bahan ejekan. Kita akan menjadi bangsa yang rapuh, mudah menyerah, dan cepat merasa kalah.
Jika kita berpandangan bahwa bangsa ini memang pantas diberi azab oleh Allah SWT, maka Allah SWT juga akan terus mengazab. Kita memang layak diazab karena kita sendiri berprasangka buruk kepadanya, jika kita beranggapan bahwa musibah dan bencana yang datang silih berganti akhir-akhir ini sebagai isyarat akan hancurnya bangsa ini, maka Allah SWT pun akan mendatangkan kehancuran pada bangsa ini.
Allah SWT telah berfirman dalam hadits qudsi; “Aku berada dalam persangkaan hamba-ku kepada-ku.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Jika masalah bangsa ini kita bawa sedih, akan sedih. Jika dibawa susah, maka menjadi susah. Dibawa gembira, akan menjadi gembira. Semua tergantung pada cara pandang kita.
Oleh karena itu, cara pandang paling sesuai dengan nilai-nilai positif kita sebagai manusia, dan nilai-nilai kebenaran syariah adalah pandangan yang salah satu dimensinya menyakini bahwa segala sesuatu di dunia ini kecil, hanya Allah yang paling besar.
Takwa Sejati
Orang yang bertakwa sejatinya adalah orang yang bisa membesarkan Allah SWT di dalam hati, pikiran, dan seluruh perilaku hidupnya, dan ini dibangun dari interaksi yang mendalam dengan aktivitas ibadah yang sudah disyariatkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Ttulah sebabnya mengapa dalam shalat ‘Idul Fitri kita diperintah untuk bertakbir tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat kedua.
Begitu pula setiap hari, kita di-setting untuk bertakbir ketika melaksanakan shalat wajib maupun sunnah, selama menunaikan shalat lima waktu, “Allahu Akbar”. Seharusnya kalimat ini sudah cukup untuk selalu menyalakan kesadaran tentang kebesaran Allah SWT.
Ketika mengucapkan takbir, saat itu juga seharusnya kita bisa menghayati kebesaran Allah SWT. Saat itu pula kita lepaskan segala hal yang kecil, yakni belenggu persepsi buruk yang menghinggapi.
Lepaskan dan buang jauh-jauh pikiran negatif! Persepsi buruk dan pikiran negatif yang sering kali muncul dan tidak disadarkan oleh ilmu, sebenarnya merupakan sesuatu yang lebih sering membuat kita larut dalam masalah. Maka kita sebenarnya telah menganggapnya paling besar.
Kalimat takbir seharusnya menjadikan kita optimis, penuh percaya diri, dan bersikap positif terhadap segala sesuatu, bahkan terhadap kegagalan sekalipun. Kegagalan itu bukan berarti kematian, kehancuran, atau akhir dari segalanya. Kegagalan di masa lalu justru merupakan pelajaran berharga untuk kehidupan di masa depan.
Jika kita berpikir positif, kita akan mampu menghargai diri sendiri. Sikap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan hanya akan menimbulkan kelelahan mental dan rasa frustrasi yang dalam. Sungguh, sikap seperti itu merupakan kezaliman terhadap diri sendiri.
Allah SWT berfirman;
“Dan tidaklah mereka menganiaya kami (Allah), akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al-Baqarah: 57). */Muhammad Zul Arifin (dari buku Kepemimpinan Syura, penulis: Abdurrahman Muhammad)